Mohon tunggu...
Bernabas Ambon
Bernabas Ambon Mohon Tunggu... Guru - Orang Biasa

Berdoa dan bekerja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membudayakan Rasa dalam Mendidik Manusia Muda

22 September 2022   20:39 Diperbarui: 22 September 2022   20:58 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa Mendahului Ilmu 

Sebelum menjelaskan lebih jauh hal ihwal pedagogi hati, saya akan mengungkap duduk perkara di atas dengan serentak pula mengajukan dua pertanyaan mendasar, (1) mengapa kekerasan itu bisa membudaya?; (2) apa raison d'etre (alasan adanya) kekerasan yang dibudayakan? Istilah "budaya" yang disematkan dalam kekerasan berarti bahwa adanya upaya untuk melanggengkan kekerasan itu dengan pola kebiasaan dan mentradisikannya dalam pola balas membalas. 

Pola tersebut tentu kurang sesuai dengan adab ketimuran, terlebih dalam konteks ke-Indonesiaan. Kekerasan bisa membudaya karena adanya pola patriarki dan tradisi untuk membalas kekerasan dengan kekerasan. 

Patriarki lebih mengedepankan bahwa mereka yang lebih tua menjadi dominan dan bisa menjadikan kekerasan menjadi hal lumrah bila dikenakan pada orang yang berusia lebih muda. Alasan adanya kekerasan muncul lebih karena langgan budaya ketimuran di Indonesia yang kurang dimengerti dan tidak dilaksanakan hidup keseharian yaitu: rasa mendahului ilmu (sense precedes science).

Konsepsi mendasar "rasa mendahului ilmu" tampaknya mesti dimengerti dalam ruang kultur ketimuran. Budaya Barat adalah sebaliknya, "ilmu mendahului rasa". Komparasi antara Timur dan Barat memang agak berbeda. 

Sejarah pemikiran Barat memang lebih mengedepankan keilmuan ketimbang perasaan, terutama bagi negara-negara yang sudah merdeka dan menganut sistem demokrasi liberal. Perasaan bagi mereka tidak kompatibel dengan sistem demokrasi, terutama dalam pengambilan beragam kebijakan. 

Rasa-perasaan seperti intuisi tidak bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan baik oleh para pemimpin di pemerintahan, di parlemen, atau di ranah hukum. Kebijakan mensyaratkan adanya ilmu, yang dibaliknya rasionalitas menjadi titik tumpu. 

Sebaliknya, di Asia, rasa tertambat dalam adab ketimuran yang bercampur dengan tradisi dan tingkah laku untuk memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri sendiri.

Mengefektifkan Altruisme

Rasa dalam konteks ini bukanlah rasa yang melulu dimengerti secara naif, melainkan rasa dijangkarkan pada diri individu (personal) dalam kebersamaannya dengan orang lain (komunal). Rasa yang bisa bisa membatin dalam nurani, tetapi yang jauh lebih penting lagi rasa itu terarah pada tindakan kebaikan yang altruistik. 

Kebaikan altruistik itu hanya bisa diefektifkan dengan mengajak peserta didik untuk berjumpa dan hidup bersama (live together) dengan orang-orang marginal yang terpinggirkan, seperti orang miskin yang tinggal di kolong jembatan, tukang sampah hidup dan tinggal bersama sampah, para penduduk miskin di kampung yang dilanda kekeringan yang panjang, tukang gali kubur yang kesulitan memperoleh nafkah hidup, dan sejenisnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun