Mohon tunggu...
Bernabas Ambon
Bernabas Ambon Mohon Tunggu... Guru - Orang Biasa

Berdoa dan bekerja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Anak Negeri Zaman Now Alami Disorientasi

15 Maret 2020   20:12 Diperbarui: 15 Maret 2020   20:16 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang gadis kelas II SMP menuliskan kegelisahannya via Twitter kepada sang pacar tentunya salah seorang teman kelasnya yang terus mengganggu dan menggodanya agar mau menjadi kekasihnya. "padahalkan aku sudah jadi pacar kamu" kicaunya di gadget. "kurang ajar, biar nanti gw yang tabok bola-bali tu cowok!" twit balasan dari sang pacar. "ya, pukulin aja say sampai abis." Sergah sang gadis kembali berkicau.

Cerita di atas mungkin mengasyikan, entah bagi kalangan remaja atau pemaca umumnya. Semua itu memang cerita, tetapi bukan fiksi atau imajinasi penulis. Kisah di atas merupakan realitas yang benar terjadi, bukan hanya dua remaja yang menjadi ihwal kisah di atas. Namun, boleh jadi juga pada jutaan anak-anak kita, generasi muda Indonesia yang menjadi penjaga Ripublik dan bangsa ini di kemudian hari.

Kekerasan sudah bersemayam dan hampir permanen dalam kepala mereka, dalam pikiran mereka dan di sudut-sudut ruang imajiner mereka. Apa yang sebenarnya terjadi? Yang terjadi adalah sebuah proses internalisasi kekerasan (juga vandalisme, seksualisme, veralisme/analisme, dan lain-lain). Fisik dan psikis, virtual dan imajinatif, kedalam diri anak-anak kita secara intens hampir tiada henti, setiap hari bahkan mungkin setiap jam di sekujur usia mereka

Anak-anak di negeri ini, terutama di daerah urban, sudah cukup lama mengalami semacam disorintasi sebagaimana dikonstatasi bayak pihak, lantaran mereka kehilangan figur yang dapat mereka gugu (percaya) maupun tiru (ikuti langkah dan perbuatannya) alias guru.

Tiga kekuatan tradisional yang selama ini bertugas menjaga nilai dan menjadi contoh dari kemuliaan dan keluhuran sebuah adab atau budaya adalah Negara (yang direprenatasikan oleh sekolah formal), agama (oleh guru agama atau guru mengaji), maupun adat (orang tua/keluarga) ternyata tidak berdaya mengadapi hanya satu lawan yaitu: Lingkungan.

Bila kekuatan tradisional itu lekat dengan stigma yang kaku, lokal, struktural-feodal, menjemukan, cendrung otoriter dan fundamentalistik, tertutup dan membentengi diri (seperti umumnya bangunan sekolah, masjid/gereja, dan rumah-rumah modern) juga lamban, dalam arti berkemang dengan kecepatan yang kecil, maka sebaliknya berbeda dengan lingkungan lawan. Lingkungan sebagai lawan mereka adalah ruang begaliter, terbuka, kosmopolit, global, fun, entertaining, fresh alias segar atau selalu baru serta bergerak dengan velocity tinggi, yang tak habis menggoda siapapun yang berkemang di dalamnya.

Sebenarnya tiga lembaga tersebut telah mencoba mempertahankan daya hidupnya lewat trasmisi nilai, moralitas, etika dan estetika yang dikemangkan ratusan bahkan ribuan tahun oleh nenek moyang. Namun realitasnya, tiga lembaga yang hanya mampu termangu menyaksikan hidup anak-anak bilogis dan kurtural mereka tiap menit tenggelam dalam gelombang virtual yang bercahaya di layar LCD mereka.

Mereka berenang pergi meninggalkan orang tua, sosial-spiritual-kultural mereka tanpa ngeri dan sesal sama sekali. Mereka bahagia, kita sebagai orang tua  pun terseret ikut "berbahagia". Bagaimana tidak, realitas hyper modern itu menjadi orang tua terdekat karena mendapat realitas baru jauh lebih tinggi dibandingkan siapapun yang mewakili lembaga-lembaga tradisi di atas, bahkan termasuk orang tua biologis sendiri. Apa sebenarnya yang mereka dapatkan dari dunia atau guru-guru baru itu? Tidak lain adalah spekulasi-spekulasi khayalan yang mengisi lorong dan sudut-sudut ruang imajiner, intelektual, mental, bahkan spiritual anak-anak kita.

Komunikasi Dialogis

Bila kemudian muncul berbagai kasus mengiriskan yang semua menjadi preseden dalam kehidupan sosial kita, dia hanya menjadi konsekuensi logis dari kenyataan baru yang tak kita sadari dan tak mampu diatasi. Dengan kondisi fisik dengan psikisnya yang memang rapuh dan labil, anak-anak yang tidak cukup ketat mendapat pengawasan itu akan mendapat dorongan yang tidak kuasa mereka tahan untuk mengekspresikan dunia  imajiner itu dalam kenyataan.

Pada awalnya ia berbentuk spekulasi-spekulasi dalam kepala, lalu muncul dalam verbalisme seperti kisah di awal tulisan ini, dan jika ada situasi yang mendorong dan menekan mereka akan merealisasikannya, kadang tanpa mereka pahami atau sadari kenapa dan apa akibatnya (sosio-kultur) dari semua tindakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun