Mohon tunggu...
Marlin Bato
Marlin Bato Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Sesungguhnya Dalam Kesalahan Aku Diperanak - Dalam Dosa aku Dikandung Ibu"\r\n\r\nTaurat------

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perburuan Capres Minus Malum di Negeri Khatulistiwa

16 Mei 2014   06:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14001694801939377659


Gambar hanya ilustrasi


Oleh Marlin Bato
Jakarta, 12/05/14

Kilas Balik Entitas Nusantara

OPINI - Selebrasi demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden sudah sangat nampak depan mata. Eskalasi perpolitikan mulai mencuatkan tensi yang cukup tinggi, panas bak merapi yang sedang meletupkan lava pijar. Aroma persaingan pun semakin sulit dikontrol bahkan menjadi konsumsi empuk bagi khalayak publik setiap saat melalui berita di berbagai media. Semua calon presiden merasa yakin bisa memenangkan hati konstituen. Bahkan, masing-masing mengaku akan memenangkan pemilihan presiden tahun 2014. Hal ini lantas menguatkan credo seolah hanya dirinyalah calon yang terbaik dan mampu mengemban visi kebangsaan yang diamanatkan sekitar 250 juta rakyat Indonesia.

Kendati belum memasuki masa kampanye, namun ketegangan dan tensi konstelasi politik sangat terasa melalui berbagai manuver-manuver maupun retorika. Ada pun beberapa elit politik secara terang-terangan melancarkan manifesto baik pro maupun kontra terhadap calon-calon presiden yang nama-namanya telah mencuat. Ada pula elit-elit partai politik yang masih larut dalam kegelisahan karena terguncang 'conflict of interest'.

Suasana semacam ini rupanya sangat bertolak belakang bila kita mengenang pemilu perdana pada penghujung september dan medio desember tahun 1955. Betapa aman, tenteram, damai, serta sejuknya cuaca ketika itu, hampir tak nampak suasana saling serang dan saling sindir kala itu di negeri yang mengaku nusantara ini. Pada saat yang sama, Sang Hyang Widhi menebarkan pelangi dan kabut tipis di bumi khatulistiwa, di kawasan subtropika pada september dan desember nan sejuk. Itulah sebabnya kaum saudagar dari Jazirah menyamakan negeri nusantara ini ibarat taman di bukit kintamani.

Kedamaian, ketenteraman dan suasana aman seperti dicontohkan di atas sedapat mungkin dilengkapi hal-hal lain. Melihat perkembangan bumi nusantara kini, ada yang nyaris kebalikan dari yang taman eden nusantara ribuan tahun lalu, sebagian wilayahnya di zaman ketika pujangga Walmiki dalam ciptaan Ramayananya dinamakan 'Suwarnadipa', yang makna harfiahnya adalah kepulauan emas .

Refleksi ini, membawah kita sesaat pada sebuah locus mana yang lebih pantas disebut taman eden. Nusantara yang hingga abad ke-21 sekarang masih dibanggakan dunia sebagai “surga yang hilang”, seperti ditulis Prof Arysio Nunes Santos dalam bukunya berjudul Atlantis : Benua Yang Hilang, yang juga diyakini Stephen Oppenheimer seperti penjabarannya dalam buku "Eden in the East".

Siapa pun yang mengaku anak nusantara, tiada satu pun yang hendak menafikan kenyataan tersebut seperti yang digambarkan Multatuli melalui karya Max Havelaar sebagai “rangkaian zamrud di khatulistiwa”. Siapa pun tak akan sanggup mengingkari realita keilahian bahwa nusantara ini memang diliputi bagian dunia yang sungguh sangat indah. Sejak ribuan tahun tak bisa dipungkiri, penduduk nusantara ramah, dan cinta damai pada sesama. Kekayaan flora dan fauna serta khazana seni budayanya pun turut menyempurnakan harkat dan martabat manusia Indonesia.

*****

Ironi Di Negeri Khatulistiwa

Bertolak pada uraian diatas, tercuat sebuah ironi ketika melihat dinamika dan dialektika politik di pilpres tahun 2014 ini. Predikat surga di timur, kini ternyata telah direduksi oleh koloni borjuisasi Indonesia yang tidak lagi menggenggam hakikat tenteram, damai dan cinta terhadap sesamanya. Manusia-manusia Indonesia telah berubah menjadi sosok 'homo homini lupus', bahkan saling membunuh [character assasination] demi sebuah taktah dan harta serta kekuasaan. Sejak abad ke-20, kontestasi pilpres Indonesia telah banyak mengubah jalannya sejarah lewat pemilu perdana pada tahun 1955. Sejak saat itu, potret koloni borjuisasi telah dibangun dan tumbuh begitu pesat secara masif berkarakter Brutus melawan kekuatan-kekuatan revolusioner. Dinamika demi dinamika dalam pemilu menjadi ajang bargaining power dan saling tikam antar masing-masing kepentingan. Rakyat selalu tertindas didalam konspirasi para elit. Intimidasi dan intervensi politik tak dapat terlepas dari bayang-bayang kekuatan rezim. Nampak aksi antagonis dan protagonis terekam sangat jelas.

Pada pemilu presiden kali ini, kendati belum tiba masa kampanye, para kontestan beserta pendukungnya mulai memperlihatkan kreatifitas dan agretifitas melalui metode kampanye terselubung dengan berbagai cara baik melalui media cetak, media televisi maupun media sosial lainnya.

Hal yang paling menarik dalam pemilu kali ini adalah ada capres yang mengaku jujur dan bersih seolah tanpa cela. Ada pula capres sangat percaya diri dan mengaku merakyat sehingga perjalan karosel selalu ditempu demi meraih simpatik dengan juga menggunakan metode penyamaran. Ada yang berjanji akan menyejahterakan rakyat dengan menjual jargon. Ada pun yang mengaku macan sang raja rimba gagah perkasa yang ingin mengubah jalannya sejarah dunia. Banyak ragam yang diperlihatkan calon-calon presiden tersebut. Namun ketika dicecar dengan berbagai pertanyaan bagaimana itu terjadi? Jawabannya pasti seragam; itu lihat nanti! Jawabannya selalu normatif dan bermakna ganda. Semua memproklamirkan diri sebagai sosok yang terbaik. Alhasil, masyarakat pun sukses dibuat bingung. Sudah 10 kali [periodisasi] pemilu dalam 69 tahun pasca kemerdekaan, rakyat belum pernah mengenyam sebuah kalimat manjur: "adil dan sejahtera". Kalimat-kalimat propaganda yang terucap, tak lebih hanya pendulum sukma. Ironis...!!

Tak sampai disitu, pemilu kali ini pun turut berandil mengubah jalannya peta sejarah. Banyak hal-hal baru muncul akhir-akhir ini seperti kampanye hitam [black campaign] yang mengatasnamakan 'sara' [suku/etnic, agama & ras], bahkan tragis lagi muncul gambar-gambar sindiran antar calon di media sosial. Entah, apakah ini bentuk kreatifitas dan ekspresi pendukung?? Hanya masing-masing pihaklah yang mampu mengamini. Fenomena paling anyar terkait kampanye masif ini adalah munculnya foto yang menyatakan ketiadaan [wafat] salah satu capres. Sungguh naif !! Entalah, masyarakat sudah dirasuk dan dididik dengan tradisi baru yang salah kapra, melindas batas naluriah manusiawi, jauh dari jati bangsa yang konon cinta damai. Hal ini seolah melukiskan bahwa, jika hal ini dibiarkan justru memperburuk citra masing-masing kandidat itu sendiri. Alhasil, tak ada satu pun calon yang dianggap baik dalam pemilu kali ini. Dengan kata lain, semuanya mempunyai catatan buruk, pun sejarah kelam.

Pada hakikatnya, bagaimana pun latar belakang para kandidat, selalu mengacu pada beberapa kriteria dan persyaratan sesuai regulasi penyelenggara pemilu. Pemilu, tak lebih sebagai ajang pertaruhan prestis, perjudian tentang nasib kartel politik berwajah partai. Jika jatuh ditangan yang salah, bangsa ini akan mengalami kejatuhan di berbagai bidang, baik bidang ekonomi, budaya, sosial pilitik dan lain sebagainya. Sebaliknya jika mandat rakyat jatuh kepada sosok yang baik, maka adalah sebuah keniscayaan bangsa ini akan dibawah keluar dari berbagai krisis multidimensi yang terus menjadi beban berat. Oleh karenanya, kita sebagai masyarakat Indonesia dituntut untuk memilih pemimpin yang setidaknya lebih baik diantara yang buruk.

*****

Sosok Capres Minus Malum

Seperti apakah sosok capres minus malum?? Mari kita kupas satu persatu! Minus malum, senyatanya berasal dari bahasa Latin untuk mendeskripsikan sosok yang terbaik diantara yang terburuk. Atau sosok yang mempunyai cacatan buruk paling minim. Pilihan minus malum bermakna pilihan di antara calon yang paling kecil keburukannya, juga tidak mempunyai beban sejarah masa lalu. Adalah suatu kewajaran jika hampir semua calon presiden masing-masing mempunyai catatan buruk, sebab manusia tidak pernah lepas dari kekhilafan. Semua pasti mempunyai kekurangan, juga masing-masing kelebihan sesuai karakter dan talentanya.

Kekinian, negara Indonesia adalah negara yang dikuasai kaum borjuis bersama komprador dan tuan tanah, sifat dan kedudukannya hari ini takkan mampu menjalankan aspirasi dari mayoritas rakyatnya. Panggung pemilu hanya akan ganti posisi dari satu faksi ke faksi lainnya, dan sekali lagi ini bukan berganti klas penguasa kepada klas proletariat. Rakyat acapkali ditipu, dicekoki dengan iming kelayakan hidup sebab mereka meyakini bahwa pemilu adalah personifikasi demokrasi, selayaknya sebuah pesta maka gegap gempita akan mengiringi setiap episode-episode yang ada dipanggung. Kendati demikian, harapan-harapan akan sosok baru penghapus dahaga selalu dinantikan untuk mengubah segala hasrat cemas yang menggelayut.

Akhir-akhir ini, sejak runtuhnya Orde Baru, figur Soekarno kembali mencuat, dirindukan juga dikagumi. Tidak sedikit pula sosoknya terus dipuja. Terutama dalam ajang kontestasi pilpres seperti ini. Bahkan ada pula tokoh politik sekarang yang krisis identitas kerap mencaplok ciri Soekarno, namun tak satupun dari mereka mewarisi apinya. Api adalah nyala yang berkobar membakar spirit. Spirit yang meletup dari jiwa-jiwa marhaenis. Begitupun seharusnya sosok calon presiden saat ini. Ia harus mampu mengalgoritmakan laut dan hujan, api dan air, bumi dan jagat, juga bentuk-bentuk materialis lain yang terspektrum dalam dialektis kehidupan jagat pertiwi nusantara.

Saat ini, kita dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan kita adalah perburuan calon presiden minus malum, yang mendapat tempat tersendiri dihati rakyat di negeri khatulistiwa ini. Pilihan kita hanya ada tiga macam yaitu; yang pertama, berdasarkan sikap emosional, yang mengedepankan kedekatan pribadi dan ikatan emosional. Namun sikap emosional ini tidak merepresentasikan pilihan yang tepat. Kedua, sikap pragmatis yang mengedepankan 'take anda give', atau mencari keuntungan materalistis. Itupun juga tidak mampu merepresentasikan pilihan yang tepat pula. Ketiga, pilihan yang bijak menurut penulis adalah pilihan rasional, yang menggunakan nalarisasi yang cerdas demi sebuah perbaikan hajat hidup masyarakat Indonesia yang utuh penuh seluru. Dan itu, hanya ada pada sosok yang terbaik dari yang terburuk. Mari, kita sukseskan perburuan capres minus malum dengan sikap yang rasional, yang mampu membangkitkan api spirit bagi negeri surga di timur ini demi sebuah kata kunci; Adil dan Sejahtera. Maka, siapaun yang terpilih sebagai pemimpin nusantara ini, dia adalah bagian dari sosok minus malum itu sendiri. Proficiat....!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun