Beberapa waktu lalu begitu semaraknya perayaan "Gong Xi Fa Cai", padahal dulu amatlah jelas sebelum era "Gus Dur" akan ada kaum minoritas keturunan China dapat melakukannya bukan!!! Kemeriahan itu membuat kilas balik ingatan saya tertuju pada hal-hal yang bersifat hubungan antar manusia yang penuh dengan nilai-nilai kemanusian serta hubungan manusiawi yang terjalin sekian tahun lamanya dengan beberapa orang dari kalangan warga negara Indonesia keturunanan China tersebut terlintas kembali.
Kenapa saya ingat akan "jasa/peran “mereka itu? Karena dengan tangan-tangan mereka lah saya sangat terbantu secara tidak langsung melalui sisi-sisi lain hubungan manusia yang mungkin kelihatannya sangat biasa dan sepele tapi begitu "luar biasanya"menyentuh batin saya . Herannya semakin lama peristiwa ini lewat membuat, saya semakin merasa mempunyai kenangan pembelajaran batin tersendiri sebagai seorang muslim atau bahkan jika dilihat dari sisi kulit bangsa yang berbeda(Melayu-Ind).
Ternyata pembelajaran batin itu tidak pernah saya bayangkan sebelumnya… apalagi jika isu pembauran warga pribumi dan non pribumi dijadikan hal yang kontra maka bagi saya akan berbalik menjadi pro akan hal tersebut (Insya Allah). Meskipun “beberapa orang yang ingin saya ceritakan ini” tidak selalu berinteraksi sering atau bahkan dekat sekali dengan saya.
“Flashback” pertamayang terlintas dalam ingatan saya, memang berinteraksi sangat intens dan dekat dengan keluarga kami….dia adalah Lelaki berwajah keturunan China yang sangat “njawani”. Tentu saja saya lebih menghormati dengan sebutan “beliau” dari pada “dia”. Perilaku yang sangat “njawani” itu memang memang didasarkan asal beliau yang dari pesisir utara di salah satu kota di Jawa Tengah dan tentu saja yang cukup membedakan hanyalah fisiknya yang memang masih tampak garis-garis keturunan tersebut…!
Tutur katanya halus, sopan, sabar dan tidak merasa sebagai China keturunan (Itu kata saya) dan dia tidak beragama Kong Hu Chu sebagaimana layaknya keturunan China tetapi beragama Nasrani yang cukup taat. Walau secara fisik kecil dan pendek tapi kelincahannya sebagai seorang “sopir” sewaan tidak tertandingi sekalipun dengan bawaan mobil tuanya.
Beliau bertahun2 lamanya bahkan seingat saya sudah belasan tahun mengantar ayah kami kemana dia pergi dan keluarga kami bila ada keperluan (Memang ayah saya orang yg tidak mau memiliki kendaraan sendiri karena katanya pernah “trauma”bukan karena tidak bisa membeli tapi tidak mau membeli, hal ini terbukti dari asset tidak bergerak ayah yang cukup banyak berupa tanah). Ayah lebih senang memanfaatkan atau mempekerjakan orang yang punya kendaraan. Seingat saya, sang sopir ayah itu, tidak pernah tidak masuk karena sakit atau lelah, bahkan tersinggung apalagi risih sebagai warga Keturunan China yang bekerja untuk Pribumi seperti kami. Berangkat pagi dan sudah “standby” didepan rumah sudah menjadi hal yang rutin,…walaupun ayah kami berangkat siang atau pagi dalam beraktivitas kemana saja tetap setia menanti. (maklum ayahku sebelum dan setelah pensiun berwiraswasta, sehingga membuat jadwal kegiatannya menjadi tidak menentu)
Saya ingat sekali beliau selalu membukakan pintu mobil ketika kami (siapapun diantara keluarga) akan masuk atau turun kendaraannya. Apa yang dikerjakan beliau juga lebih dari sekedar seorang sopir… seperti setiap ada hal diluar konteks mengantar tidak pernah beliau hanya sekedar “berkegiatan”itu saja! Misal ketika kami atau ayah kami belanja..belanjaan selalu dibawakan pula, ketika saya kuliah di Yogya kira-kira 20 tahun lalu… saat saya harus naik kereta api, beliau pula yang mengantar ke stasiun..., bila tiket habis atau belum didapat beliau selalu mencarikan, padahal Ayah saya saja tidak pernah mengantar membeli tiket apalagi mengantar saya ke stasiun.
Pekerjaan diluar fungsinya membuat beliau tidak ada batas lagi dan layaknya seperti bagian dari keluarga kami padahal Ayah kami tidak pernah memberikan imbalan yang berlebih-lebihan tapi hanya sekedar pengganti bensin, dan uang lelah saja. Sebenarnya ada banyak sekali bentuk “ke-ringantanganan” beliau yang tidak bisa satu persatu saya ungkapkan dan sampai kinipun saya hanya bisa bertanya-tanya apa yang membuat ia begitu setia pada Ayah saya dan saya tidak pernah mengetahuinya sampai kini.
Seringkali pula karena kendaraan tua maka ada saja gangguan mogok atau hal yang mengganggu terjadi tapi beliau cepat sekali menanganinya walaupun hanya mobil tua. Fisik boleh tua sama tua dengan sang supir dan penumpangnya tapi..semangat boleh juga….tentunya! Sekian tahun dengan setianya mengantar ayah kemana saja….sampai…ketika…Ayah kami sakit…..karena stroke ..beliau pula yang mengantar ke dokter saat itu Ayah tiba-tiba ambruk dan tidak bisa berjalan. Kemudian selang beberapa waktu setelah perawatan di rumah sakit ….ayah butuh perawatan 1 tahun dan tidak pernah beraktivitas keluar rumah lagi… sampai ajal menjemputnya…dan kegiatan antar jemput itupun terhenti total …tapi keberadaan ”sang sopir ayahku” tetap setia menjenguk jikalau beliau sempat.
Ironinya…ketika Ayah kami jatuh sakit karena stroke…terdengar rumor dari beberapa orang yang dekat keluarga kami bahwa Ayah kami jatuh sakit mendadak karena ..Ayah telah tertipu oleh seseorang keturunan China pula …tetapi bukan warga negara Indonesia…. setelah kejadian dimana Ayah mengeluarkan uang cukup banyak sampai menjual beberapa tanah kami demi usahanya membantu ..orang tersebut….yang ternyata bantuannya ….dibalas dengan tipuan yang menyakitkan..!.
Mungkin itu bukan kenangan yang baik buat kami dan tidak perlu mengingat hal yang buruk dan telah lewat….Cuma ..yang kami ingat..khususnya saya….bahwa kebaikan dan ketulusan tidak datangdari suku bangsa tertentu yang sama dengan kitaatau sama dalam beberapa hal dengan kita seperti, golongannya, rasnya atau agamanya sekalipun, bahwa hal-hal yang positif bisa datang dari mana saja, siapa saja, dan kapan saja akan menghampiri kita lewat jiwa-jiwa yang menakjubkan. Bahwasanya ada warga keturunan yang berbuat negative bukan berarti yang lain juga memiliki bentuk kelakuan hal yang sama seperti itu!
Sungguh saya menyesal sekali… ketika tahun berganti tahun… setelah Ayah kami meninggal…tentu saja kami kehilangan kontak dengan beliau….! Sungguh menyesakkan lagi …ketika kabar beliau meninggal- “sang asisten “ ayah itu…, kami sekeluarga tidak tahu sama sekali … dan tanpa kami sempat berterima kasih pula atas pengabdian, bantuan dan ketulusannya..!
Begitulah kita umumnya…ketika hubungan silaturahmi terputus karena salah satu bagian dari kita meninggal dunia…kita seakan lupa ada yang perlu dijalin kembali akan ikatan kekeluargaan itu!! Sebelum kita menyesal tiada tara…telah kehilangan orang yang sepatutnya diberi perhatian dan balasan yang layak. Sampai hari ini…setelah 15 tahun Ayah meninggal…dalam hati saya terselip syukur, doa dan harapan…semoga…. kebaikan “Sang Sopir sekaligus Asisten Ayahku” diberikan balasan oleh Yang Maha Kuasa…dan…semoga hadir makin banyak pula orang-orang dengan hati seperti Beliau..!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H