Mohon tunggu...
Wasugi Sundanese
Wasugi Sundanese Mohon Tunggu... -

Hanya manusia biasa...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

HIV dan Menyusui: Menimbang Pencapaian AFASS

22 Agustus 2010   08:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1997 UNAIDS, WHO, dan UNICEF mengeluarkan kebijakan tentang HIV dan pemberian makan bayi  “Sebagai prinsip dasar, di semua lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat infeksi HIV, pemberian ASI  harus selalu dipertahankan, dipromosikan dan didukung.” Salah satu rekomendasi  Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi (DEPKES RI 2006). Apa itu AFASS? A : ACCEPTABLE                : mudah diterima F : FEASIBLE        : mudah dilakukan A : AFFORDABLE: terjangkau S : SUSTAINABLE: berkelanjutan S : SAFE                                : aman penggunaannya Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman. Sudahkah Indonesia mencapai AFASS. Dalam konteks diterima. Masyarakat Indonesia terkenal dengan kultur social yang baik, interaksi social diantara penduduk sangat dekat, sehingga tidak jarang apabila ada salah satu ibu tidak menyusui sebagian kelompok masyarakat akan bertanya “kenapa tidak menyusui?”. Disisi lain ibu dengan HIV positif mempunyai karakter tertutup pada masyarakat perihal penyakit yang dideritanya, untuk menutupi hal tersebut tidak jarang ibu HIV positif mencampur antara menyusui dan memberikan susu formula. Menyusui parsial atau mencampur antara menyusui dan memberikan susu formula justru meningkatkan resiko terinfeksi HIV lebih besar. Belum adanya control di masyarakat bahwa ibu benar-benar menyiapkan dan memberikan susu formula dengan benar. Suplay susu formula untuk keadaan khusus yang sering dilakukan justru tidak disertai dengan cara bagaimana menyiapkan susu formula dengan benar, ibu hanya disodorkan sebungkus susu formula untuk mereka berikan pada bayinya, hal ini yang menjadi kendala bahwa ibu mempunyai waktu, keterampilan, dan pengetahuan bagaimana cara menyiapkan dan memberikan susu formula. Sedangkan kita mengetahui bahwa 60% kematian balita akibat kekurangan gizi dan 2/3nya adalah karena tidak tepatnya praktik pemberian makan pada bayi dan anak. Belum lagi harga susu formula,kalau kita kalkulasi dalam 6 bulan saja, bayi membutuhkan sekitar 55 dos susu formula ukuran 400gram. Apabila harga susu formula itu Rp. 30.000 maka dalam 6 bulan dibutuhkan uang Rp. 1.650.000. Dengan pendapatan Rp.900.000/bulan maka sekitar 30% dari gajinya selama 6 bulan digunakan untuk  membeli susu formula. Bagaimana kebutuhan  lainya? Seperti air, bahan bakar, kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan keluarga lainya. Itu pada kehidupan keluarga “normal” mungkin akan lebih sulit bagi keluarga ODHA, bisakah mereka menjangkaunya? Kendala lain adalah, keberlanjutan adanya susu formula. Susu formula ibu HIV positif harus selalu dipastikan ada untuk mencukupi kebutuhan bayi. Kalau kita mengingat kembali Tsunami Aceh atau Gempa Bumi di Jogja, adakah bantuan yang berkelanjutan? Artinya tidak jarang ibu diberi 1-2 dos susu formula beserta botolnya, dan saat bayi tidak dapat menyusu kembali bantuan itupun tidak ada. Begitu juga dalam kasus ibu HIV positif, akankah ada bantuan yang siap menjami ketersediaan susu formula untuk ibu dengan HIV positif? Susu formula dianjurkan diberikan pada bayi apabila ibu HIV positif mampu menyiapkan dan memberikannya dengan aman, yang mengandung gizi yang cukup dan higienis. Pemberiannya memerlukan cukup air bersih, sabun untuk membersihkan peralatan susu formula, pengetahuan tentang tata cara penyiapan dan pemberiannya, dan ketersediaan bahan bakar untuk memasak air. Karena kita tahu bahwa pemberian susu formula meningkatkan resiko kematian bayi karena diare sampai 16x lebih besar dari pada menyusui. Relative risk of death from diarrhoea Brazil; infants 8 days to 12 months Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (Mother-to-Child Transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.

Disarikan dari presentasi dr. Dian Nurcahyati, IBCLC. Pada acara Lokakarya Penelitian HIV dan AIDS 13 Desember 2007 Oleh Wasugi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun