budaya yang disebut dengan Subak. Berdasarkan prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka tahun 994 Saka atau 1072 M, disebutkan kata “Kasuwakan” yang kemudian menjadi kata “Suwak” atau “Subak”.
Aktivitas pertanian di Bali tidak pernah lepas dari adanya sebuah sistem yang mengatur pertanian berbasis agama danDalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1982 dirumuskan pengertian Subak sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat sosial religius secara historis tumbuh dan bekembang sebagai oragnisasi dibidang tata guna air di tingkat usaha tani. Hal ini terlihat jelas bahwa sistem Subak tidak hanya membidangi pengelolaan pertanian, tetapi juga bersifat sosial religius yang mengedepankan kearifan lokal.
Pujian terhadap sistem Subak telah banyak disampaikan oleh para ahli internasional, salah satunya John S. Ambler, pada tahun 1990 menyatakan bahwa Subak adalah alat keirigasian yang nampaknya sangat sederhana, namun salah satu pengaturan air yang paling canggih di seluruh dunia.
Dalam menjalankan aktivitas pertanian, Subak berlandaskan pada konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah tiga hal penyebab kesejahteran diantaranya yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan atau Parhyangan, hubungan yang harmonis antara sesama manusia atau Pawongan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan atau Palemahan.
Penerapan konsep ini bertujuan agar keseimbangan hidup dalam ajaran agama Hindu tetap terjaga. Oleh karena adanya konsep yang snagat kompleks ini dalam Subak, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Budaya atau UNESCO telah menetapkan Subak menjadi warisan budaya dunia (World Herritage) pada tahun 2012. Hal ini juga didukung oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Apabila dicermati konsep luhur Tri Hita Karana yakni tiga hal yang menyebabkan keharmonisan yang dipedomani masyarakat Bali yaitu Parahyangan (hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara sesama manusia), dan Pelemahan (hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan) terdapat pada Subak dan seluruh komponen di dalamnya.
Pada bidang Parahyangan, sistem Subak memiliki ritual khusus untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai dewa kemakmuran dan kesuburan. Dengan adnya aktivitas ritual petani, maka akan dibangun pula sarana pemujaan lainnya seperti tempat suci yaitu Pura Subak atau Ulun Suwi, terdapatnya alat upacara atau banten, serta munculnya tradisi-tradisi yang berkaitan dengan Subak. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan ini akan dapat memotivasi masyarakat untuk selalu melestarikan sistem subak.
Pada bidang Pawongan, sistem Subak merupakan suatu organisasi yang mengatur segala hal tentang pertanian di suatu wilayah yang dipimpin oleh seorang Pekaseh yang beranggotakan Krama (Warga) Subak atau petani. Organisiasi ini pula mengatur para petani anggota Subak tersebut. Dalam organisasi Subak juga terdapat peraturan yang mengikat yang disebut dengan Awig-awig. Awig-awig ini merupakan salah pedoman dalam menjalankan aktivitas pertanian yang wajib diikuti oleh seluruh petani. Hubungan yang harmonis sesama petani tentu saja kan berdampak positif pula dalam perkembangan pertanian pada wilayah Subak
Pada bidang Palemahan sangat jelas terlihat di dalam Subak karena lingkungan itu adalah tempat padi itu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu terdapat pengaturan pendistribusian air, pemeliharan bendungan, pemeliharan tanah dan lain-lain. Bahkan, masyarakat Subak tersebut memodifikasi lahan pertanian tersebut dengan membuat terasering di lereng bukit sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi. Hubungan yang harmonis antara petani dengan areal perawahan akan dapat menghasilkan pertanian yang melimpah dan memberi kemakmuran kepada masyarakat.
Konsep harmonisasi Tri Hita Karana dalam Subak tersebut kini sedang digoyahkan oleh alih fungsi lahan yang menyebabkan kondisi Subak tidak seperti dahulu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, alih fungsi lahan paling massif di Bali, rata-rata lebih dari 380 hektar per tahun persawahan hilang. Jika kondisi ini terus menerus terjadi maka lambat laun Subak pun akan hilang, sehingga eksistensi Subak sebagai Warisan Budaya Dunia pun lenyap.
Hal yang sangat jelas terlihat adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. Hampir disetiap kota-kota besar di Bali terdapat lahan sawah yang dikonversi menjadi perumahan. Harga tanah yang sangat tinggi, membuat pemilik tanah tergoda untuk menjual tanahnya. Ironisnya, dengan dibangunnya perumahan ini, persedian air pun ikut berkurang, karena dialirkan menuju perumahan tersebut. Sehingga lahan pertanian yang masih ada di sekitar perumahan tersebut kesulitan memperoleh air.
Padahal hal terpenting dari pertanian dan Subak adalah irigasi atau air tersebut. Hal ini pula menyebabkan pemilik lahan pertanian tersebut terpaksa menjual tanahnya, ketimbang menggarap sawah yang tanpa hasil. Disamping itu, sistem sekaa atau organisasi Subak pun akan hilang. Jabatan Pekaseh, Kasinoman, Juru Arah, dan sebagainya akan tidak ada lagi. Konsep saling bantu membantu atau menyama braya sebagai ciri khas masyarakat pertanian pun akan hilang.
Hal yang lebih berbahaya lagi, Pura Bedugul atau Pura Subak sebagai tempat suci di areal lahan pertanian pun akan terlantar. Upacara Agama dan Tradisi pun juga akan punah. Lalu dimanakah Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan kesejahteraan berstana? Tentunya akan kembali ke alam para dewa, sehingga wajarlah jika tingkat kesejahteraan masyarakat saat ini mulai menurun. Seluruh fenomena tersebut menunjukkan jika sistem Subak musnah, maka konsep Tri Hita Karana pun akan hilang.
Adapun upaya-upaya yang sebaiknya dilakukan untuk mempertahankan Subak dan Tri Hita Karana, diantaranya sebagai berikut.
- Pemerintah bersama-sama dengan pihak terkait hendaknya membuat kebijakan mengenai pembatasan alih fungsi lahan atau penetapan Ruang Khusus Terbuka Hijau (RKTH). Jika regulasi tersebut sudah ada, seperti Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang Subak dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali sebaiknya dipantau dan ditegaskan kembali untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan tersebut sehingga konsep Tri Hita Karana dalam Subak tetap terjaga.
- Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat hendaknya turut mendukung Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengingat Subak merupakan warisan budaya tak benda yang dilindungi oleh undang-udang dan wajib dilestarikan keberadaannya.
- Pihak-pihak terkait hendaknya bisa memberikan subsidi kepada petani mengenai harga kebutuhan pertanian seperti pupuk, pajak tanah, dan lain-lain. Terlebih lagi bisa menaikkan harga gabah di pasaran. Hal ini dapat menjadikan bertani sebagai pekerjaan utama, sehingga Subak pun akan tetap lestari dan konsep Tri Hita Karana tidak akan hilang.
- Melaksanakan pelestarian lingkungan. Contohnya pelestarian kawasan hulu seperti Danau Buyan dan Danau Tamblingan, karena di kawasan tersebutlah asal sumber air untuk irigasi sawah. Begitu pula pelestarian kawasan gunung dan hutan sebagai daerah tangkapan air hujan yang juga dapat mengaliri air menuju lahan persawahan. Selain itu dapat pula melaksanakan upacara Danu Krtih dan Wana Krtih, sebagai simbol pelestarian air dan lingkungan sekitarnya.
- Membuat kreatifitas dan inovasi di lahan Subak. Contohnya adalah menjadikan Subak sebagai kawasan eco-eduwisata atau wisata lingkungan dan pendidikan yang berbasis Tri Hita Karana seperti kawasan Subak Sembung, Peguyangan, Denpasar. Hal ini dapat menarik minat wisatawan sehingga pemilik lahan enggan menjual lahan sawahnya.
- Cara terakhir adalah kita sebagai masyarakat Bali yang sangat bergantung pada hasil pertanian, hendaknya tetap berpegang teguh pada penerapan konsep Tri Hita Karana dalam segala hal mengingat banyaknya manfaat positif yang diperoleh.
Seluruh upaya tersebut tidak akan berguna apabila tidak adanya rasa kesadaran akan memiliki dan tanggung jawab. Oleh karena itu, marilah bersama-sama kita mulai dari masing-masing diri pribadi untuk ikut menjaga kelestarian Subak ini yang sarat akan filosofi Tri Hita Karana. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk melestarikan sesuatu yang adi luhung yang diwariskan oleh leluhur kita, terlebih lagi hal tersebut menjadi jati diri masyarakat Bali dan menjadi identitas nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H