Mohon tunggu...
Waskito Giri Sasongko
Waskito Giri Sasongko Mohon Tunggu... -

senang tulis-baca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tri Sakti (Pak Jokowi) : Kebudayaan sebagai Panglima?

29 April 2014   08:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soekarno mencanangkan Tri Sakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tri Sakti adalah prinsip dasar tafsiran implementatif sekaligus metodelogis terhadap ideologi Pancasila. Tri Sakti adalah skema pembumian ideologi Pancasila menjadi praktis.

Oleh spirit zamannya, prinsip berdaulat dalam politik diterjemahkan menjadi politik sebagai panglima; prinsip berdikari dalam ekonomi mawujud dalam bentuk penolakan utang luar negeri dan sistem kapitalisme, beserta upaya merumuskan model pembangunan sosialisme Indonesia; sedangkan prinsip berkepribadian dalam kebudayaan diejawantahkan dalam proyek nation character building.

Sayangnya proyek ambisius Indonesia melakukan lompatan besar mengejar seluruh ketertinggalan dari bangsa-bangsa maju jauh dari kisah sukses. Proyek Indonesia meraksasa gagal total jauh-jauh hari, bahkan ketika ide Tri Sakti itu sendiri belum tumbuh mekar sebagai wacana dominan. Alih-alih, aspek politik sebagai panglima sukses membawa elan determinan pada sikap (attitude) berdaulat diri sebagai karakter bangsa, sebaliknya tanpa disertai tumbuhnya jatidiri keindonesiaan malah membuat atmosfir politik jadi demikian keras dan licin. Rumus politik sebagai panglima malah membawa Soekarno tergelincir jatuh.

Soeharto naik tampuk kuasa. Jendral murah senyum ini mencanangkan Trilogi Pembangunan: stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Demi stabilitas, rumus politik sebagai panglima diakhiri. Rute pembangunan ekonomi yang dipilih Soeharto lebih bersifat pragmatisme daripada nasionalisme ekonomi. Utang luar negeri dan integrasi ekonomi ke dalam sistem kapitalisme ditempuh sebagai rute singkat (shortcuts) daripada kesabaran mendidik kesadaran bangsa dan menumbuhkan spirit enterpreuneur borjuasi nasional. Meski tanpa rumusan verbal, adagium ekonomi sebagai panglima ialah aspek determinan perilaku rezim.

Waktu itu negara Orde Baru hadir sebagai penentu tunggal arah politik dan desain kebijakan. Juga oleh spirit zamannya negara kemudian didudukkan sebagai agen pembangunan. Maka dalam catatan kesejarahannya berlakulah adagium “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. 32 tahun kekuasaan Orde Baru mengkontruksi pelembagaan KKN (korupsi, kolosi dan nepotisme) secara sistemik. Juga membudayakan perilaku KKN dalam kinerja mesin birokrasi negara laiknya sistem birokrasi-amtenar (beamstate) di zaman kolonial Belanda.

Celakanya, proyek politik kebudayaan sebagai dasar dan bingkai kohesivitas negara-bangsa dirumuskan Orde Baru secara dogmatis melalui aparatus kekerasan negara. Pancasila dan tafsirannya yaitu P4 dimaknai secara mana-suka (arbitray) dengan perspektif alam budaya feodalisme Jawa-sentrisme. Ujung-ujungnya pembangunan Orde Baru malah menciptakan kesenjangan sosial yang semakin menganga; kontraksi hubungan Pusat dan Daerah semakin menjadi-jadi; praktik kekuasaan militeristik terlihat semakin jumawa dan jauh dari prinsip demokratis dan nilai-nilai keadilan; dan toleransi semu dibangun di atas fondasi seragamisasi terhadap keragaman sosial budaya. Dengan begitu ikatan kohesivitas negara-bangsa bukan dikontruksi bersifat solidaritas organik, melainkan sekadar bersifat mekanik sehingga mudah terburai lepas.

Walhasil, kepemimpinan rezim Orde Baru terjebak pada kontrasnya perkataan dan perbuatan. Artikulasi ideologi Pancasila dan realitasnya jauh panggang dari api. Rumus ekonomi sebagai panglima tanpa praktik demokrasi dan pendidikan politik yang mampu mentransformasikan kesadaran bangsa menuju tatanan masyarakat industri yang notabene rasional, akhirnya justru membawa kekuasaan Orde Baru limbung dan ambruk.

Walau begitu toh nasib Indonesia sebagai bangsa sebenarnya masih relatif beruntung. Sentralisasi kekuasaan dan sentralisasi pembangunan di Jawa selama masa Orde Baru tidak berakhir pada kondisi self destruction. Meskipun di sana-sini muncul konflik primordial antar etnis dan agama atau kombinasi keduanya, toh Indonesia tidak mengalami sejarah balkanisasi. Nasib Indonesia tidak senaas Yugoslavia atau Uni Soviet, misalnya. Barangkali saja balkanisasi Indonesia tidak serta merta terjadi lebih karena ikatan tradisional pra-Indonesia, sedikit atau banyak masih berfungsi sebagai salah satu penopang kohesivitas sosial masyarakat Indonesia-modern.

Kini satu dasawarsa lebih masa pemerintahan Orde Reformasi. Ironisnya arah politik dan desain kebijakan Indonesia justru nampak semakin pragmatis, bahkan melebihi Orde Baru yakni sekadar mengikuti dinamika eksternal berupa kekuatan hukum pasar dibandingkan memiliki visi dan misi agenda internalnya sebagai juru-mudi. Orang ramai mentengarai munculnya fenomena auto pilot. Pasar mengambil alih juru-mudi dan penentu kebijakan satu-satunya dan negara sekadar jadi fasilitator bagi bekerjanya “tangan gaib” kebijakan pasar.

Dalam Orde Reformasi tidak terlihat adanya fenomena politik sebagai panglima. Namun juga tidak muncul determinasi ekonomi sebagai panglima. Juga tidak kita saksikan negara memiliki fokus dan concern menggarap wilayah kebudayaan secara serius. Selama satu dasawarsa lebih, Indonesia seperti kehilangan fokus dan prioritas dirinya sendiri. Auto pilot!

Kebudayaan Sebagai Panglima

Bercermin dari kaca sejarah, dapat kita lihat sejak Indonesia merdeka sebenarnya kita belum pernah mendudukkan agenda nation character building sebagai sebuah proyek raksasa. Patut kita namai “proyek raksasa” karena seharusnya negara memberikan fokus dan concern pada bidang pendidikan sebagai fondasi dan sekaligus bentuk pembangunan itu sendiri. Kita sebut “proyek raksasa” karena transformasi kesadaran dari mental masyarakat terjajah menjadi merdeka adalah hasil kerja pendidikan yang ekstra keras pada diri sendiri.

Tanpa bermaksud nyinyir pada diri sendiri, patut kita ingat Preambul UUD 1945 alinea keempat tentang salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dus, adanya mental inlander sebagai problem kolektif bangsa Indonesia paska kolonialisme secara psiko-analisis sebenarnya sangat disadari oleh para founding fathers ketika mereka tengah menyusun konstitusi UUD 1945. Dan suka atau tidak suka, nampaknya problem mental inlander ini kini masih menghinggapi kepala bangsa kita.

Pada titik ini kita harus belajar pada proyek modernisasi pendidikan (Pembaratan) yang dilakukan Jepang dengan gagasan Restorasi Meiji dan China dengan gagasan Revolusi Kebudayaan. Restorasi Meiji adalah katalis bagi kemajuan Jepang menuju negara industri maju. Revolusi Kebudayaan adalah katalis bagi kemajuan China menuju negara industri maju. Diakui atau tidak—kecuali diukur dengan capaian keberhasilan China—keberhasilan Restorasi Meiji tidak ada bandingannya di seluruh dunia. Dalam jangka waktu 30 tahunan Jepang secara akseleratif berhasil membawa bangsanya keluar dari kebudayaan yang tertutup, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang sebanding negara-negara Barat. Jepang berhasil menemukan kembali spirit Bushido yang asketik/hemat, berdisiplin tinggi, menjunjung tinggi etik dan tata karma pergaulan serta tumbuhnya iklim rasionalitas modern.

Sementara China, ide Revolusi Kebudayaan setidaknya diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang membekali akar rumput dengan kemampuan metode menggali fakta-fakta, mengemukakannya dan mendiskusikan berbagai upaya pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Seperti halnya Jepang, rasionalitas modern dipadu dengan etik Konfusianisme berhasil membawa bangsa China tumbuh menjadi negara industri maju hanya dalam waktu yang relatif singkat.

Apa yang patut kita catat ialah, bahwa baik agenda Restorasi Meiji oleh Jepang maupun Revolusi Kebudayaan oleh China dimaksudkan untuk membatinkan (internalisasi) ruh nasionalisme ke dalam kesadaran bangsanya. Jalan rasionalisme dan Pembaratan serta modernisasi nilai-nilai spirit Bushido ditempuh Jepang secara sangat serius untuk dapat berdiri sejajar dengan negara-negara Barat. Sedangkan China, meskipun adalah negara yang mengklaim berideologi klas proletar, namun dalam praktiknya mudah kita lihat negara tirai bambu ini lebih memompakan kesadaran nasionalisme dan kebangsaannya melalui kombinasi rasionalisme Barat dan modernisasi nilai-nilai spirit Konfusianisme. Apa yang mengemuka jelas adalah keberhasilan kedua negara tersebut menerapkan norma kearifan kuno sebagai pandu gerak dialektika sejarahnya: “ambil yang baik dan buang yang buruk”. Denganmendudukanbidang pendidikan sebagai salah satu fokus dan prioritas pembangunan secara par excellence, Jepang dan China berhasil mensinergikan unsur-unsur progresif dari kebudayaan Barat dan Timur.

Belum lama berselang, Capres dari PDI Perjuangan yaitu Joko Widodo mencanangkan Revolusi mental sebagai visi misi ke depan membangun bangsa (26/4/2014). Apa maksudnya? "Kita ini kan selalu bicara mengenai fisik dan ekonomi. Padahal, kekurangan besar kita character building. Oleh sebab itu saya sebut revolusi mental," ujar Jokowi.

Menurut Jokowi, seorang pemimpin bukan hanya menjalankan proyek-proyek pembangunan fisik semata, melainkan mampu membangun pola pikir sekaligus karakter positif di tengah masyarakat. Jokowi mengatakan, percuma pembangunan fisik tanpa membangun pola pikir masyarakat. Masyarakat bisa hanya menjadi 'follower'. "Kalau pemimpinnya bisa memberikan contoh, bisa menginspirasi supaya rakyat itu jangan terdorong untuk tidak pesimis. Itulah yang akan saya mulai kali ini," ujar mantan Wali Kota Surakarta.

Revolusi mental adalah ide yang menarik ketika pembumian gagasan itu tidak didasarkan pada asumsi bahwa problem mental atau mindset adalah satu-satunya aspek determinan yang menjadi akar persoalan bangsa kita. Pasalnya selain adanya problem kebudayaan yaitu mental inlander—yang diterjemahkan Pak Jokowi sebagai sikap pesimisme—bangsa kita senyatanya juga dihadapkan pada adanya problem dominasi dan hegemoni struktural sistem kapitalisme. Di sini kita memang bisa berpolemis perihal mana yang lebih dulu antara telur dan ayam, yaitu apakah mental pesimisme adalah penyebab dari dominasi dan hegemoni kapitalisme ataukah justru sebaliknya. Namun terlepas daripada itu, revolusi mental yang kata kuncinya adalah memprogresifkan pendidikan pada masyarakat akar rumput merupakan jalan satu-satunya upaya merentas putus lingkaran setan tersebut.

Tugas Indonesia ke depan tidak sekadar mengejar seluruh ketertinggalan dari bangsa-bangsa maju, melainkan lebih dari itu “melompat” bersanding sejajar dengan negara-negara maju. Indonesia sebagai nation-state adalah sebuah kapal besar. Indonesia memiliki aneka kekayaan sumber daya alam yang memungkinkan bangsa kita tumbuh menjadi negara industri besar. Indonesia memiliki luas tanah dan bentangan samudra yang sangat luas, jumlah populasi dan tenaga kerja yang sangat besar, memiliki ragam kebhinekaan budaya yang majemuk. Ini semua adalah modal sosial dan bentuk keunggulan komparatif bangsa Indonesia, yang jika kita piawai mengolahnya memungkinkan bangsa kita tumbuh sebagai negara produsen daripada sekadar konsumen; negara inisiator daripada sekadar follower.

Juga tanpa terkecuali posisi geopolitik strategis sebagai bentuk (potensi) keunggulan absolut dan sekaligus kata kunci signifikan Indonesia sebagai penentu percaturan politik dan perdagangan global di masa depan. Posisi geopolitik ini membuat semua negara adidaya pasti membutuhkan keberadaan Indonesia. Dengan begitu Indonesia sebagai nation-state seharusnya sanggup merumuskan visi dan misi berikut agenda internal bangsa (national interest) untuk membawa kapal besar menuju tanah harapan, Indonesia Raya.

Kata kuncinya sederhana, yaitu tinggal pintar-pintar saja membawa kapal besar ini berlayar di tengah-tengah arus kepentingan berbagai negara besar yang saling bersaing memperebutkan pengaruh justru dengan cara membuat keseimbangan-keseimbangan politik baru. Di sini kita harus belajar pada kegagalan Soekarno dengan agenda GNB (Gerakan Non-Blok) dan argumentasi politik bebas aktif-nya. Kita tahu tujuan agenda GNB ialah mendesain terjadinya keseimbangan politik baru di antara kepentingan Kapitalisme Barat dan KomunismeTimur demi memajukan kepentingan negara-negara berkembang/miskin termasuk Indonesia.

Pada aras ini kita butuh desain pendidikan yang memberi porsi besar pada upaya membatinkan kesadaran politik-identitas KeIndonesiaan sebagai nation-state. Proyek nation character building harus menjadi “proyek raksasa” sebagaimana eksperimen Restorasi Meiji di Jepang atau Revolusi Kebudayaan di China dulu. Ini jelas bukan model pendidikan yang membesar-besarkan unsur primordialisme (suku, ras dan agama) maupun nasionalisme-chauvinistik (fasisme), melainkan justru harus diarahkan pada pembangunan mental rasional dan spirit homo-faber tanpa menanggalkan akar dan nilai-nilai kearifan lokal/nusantara itu sendiri yaitu Pancasila.

Selain itu, yang lebih penting ialah, bahwa konsep pembangunan nasional itu sendiri harus didasarkan pada perspektif kebudayaan sebagai panglima. Ini dapat diwujudkan dengan memberikan perspektif kebudayaan sebagai desainer untuk menerjemahkan program pembangunan yang disusun secara bottom up ketimbang top down. Di sini kata kuncinya ialah munculnya kepemimpinan nasional berjati diri nasionalisme. Bagi masyarakat Indonesia yang model hubungan sosialnya masih memiliki pola patron-klien, maka fungsi kepemimpinan nasional adalah sebuah sebuah suri tauladan yang lazim dianut. Pepatah “Guru kencing berdiri, anak kencing berlari” masih relevan memotret model relasi patron-klien antara negara dan masyarakat. Artinya ketika jalannya tatakelola negara atau pemerintah berjalan dengan baik (good and clean governance), maka warga negara/masyarakat luas pun cenderung turut menjadi baik. Pun demikian sebaliknya.

Sebagai penutup tulisan, kita bersama Pak Jokowi harus menoleh pada konsepsi revolusi mental-nya Soekarno:“Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dahulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Soviet-Rusia merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Soviet-Rusia satu per satu” (Sumber: Pidato Soekarno di BPUPKI, 1 Juni 1945).

Benar, konsep revolusi mental Bapak Jokowi masih terkesan abstrak. Tapi, siapa bilang konsepsi kebudayaan dalam rumusan Tri Sakti-nya Soekarno (baca: berkepribadian dalam kebudayaan) pun bukan entitas abstrak, sehingga waktu itu malah tergelincir menjadi reduksi politik sebagai panglima? Wilayah mental atau kesadaran massa rakyat, world of view atau ideologi, tentu adalah wilayah abstrak. Namun demikian justru ruang abstrak yaitu kesadaran atau mental bangsa ini harus dididik secara sangat sangat serius. Tanpa itu, kita pasti akan gagal lagi.

Pertanyaannya apakah Pak Jokowi sanggup menjadi Ibn Saud yang memerdekakan rakyat Arabia atau Stalin yang memerdekakan rakyat Soviet-Rusia? Jawabannya tentu wait and see! Tapi, saya pribadi percaya kemampuan adaptasi beliau untuk tugas khusus itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun