Mohon tunggu...
Waskito Giri Sasongko
Waskito Giri Sasongko Mohon Tunggu... -

senang tulis-baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keris : Semesta Makna dan Upaya Pemaknaan

13 Agustus 2014   18:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:39 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, pada titik inilah tulisan ini bermaksud melengkapi kekurang-utuhan gambaran tersebut. Karena banyaknya varian keris, sengaja tulisan ini kita batasi pada konteks keris dapur tilam sari pamor tunggak semi. Pilihan subyektif penulis sudah tentu didasari pertimbangan karakteristik dapur (model) dan pamor itu sendiri, yang sadar atau tidak sadar mencerminkan sistem nilai dan pengetahuan—baik itu pada keris itu sendiri secara khusus maupun lanskap kebudayaannya secara luas—yang membentuk semesta pemaknaan yang penulis hanyati selaku penggemar tosan aji.

Bagaimanapun, dibandingkan senjata tradisional bangsa lain kekhasan keris adalah justru pada bentuknya yang tidak simetris. Pada sisi vertikalnya keris memiliki derajat kemiringan tertentu terhadap garis horisontalnya. Bagian pangkal yang melebar (gonjo), bilahnya bisa lurus (lajer) atau berlekuk (luk), namun tidak sepenuhnya memiliki garis tegak (vertikal). Kita mengenal karakteristik ini dengan istilah condong leleh.

Selain itu, banyak di antaranya memiliki pamor, yakni gradasi warna yang membentuk semacam hiasan pada bilah keris. Pamor dibentuk oleh proses tempa-lipat berulang-ulang, yang karena perbedaan bahan komposisi material logamnya kemudian membentuk sebuah gradasi warna dan pola (pattern) tertentu. Orang Barat gegabah menyamakan hal ini sebagai model pedang Damascus. Padahal jelas berbeda, apa yang disebut orang Barat sebagai “Damascus steel” sebenarnya hanyalah salah satu teknik pembuatan pamor pada tradisi keris nusantara. Kita mengenalnya dengan istilah sinarasah, yang proses pembuatannya dikerjakan pada sentuhan akhir sebuah keris (sumber: Ensiklopedi Keris, Bambang Harsrinuksmo 2004). Sedangkan pamor pada keris dikerjakan sejak awal proses tempa lipat. Jumlah motif pamorpun tak terkira ragamnya.[1]

Diakui atau tidak, keris sebagai tosan aji dan sipat kandel adalah benda pusaka yang memiliki nilai-nilai spiritual atau sakralitas. Tentu saja hal ini bukan mitos belaka. Para empu di zaman dahulu, selain dikenal sebagai praktisi rohani (ascetic), ia sangat memperhatikan detail garap baik itu bentuk, model, hingga pernak-pernik ornamental (ricikan) kecil hiasannya. Setiap detail pada keris memilki makna masing-masing sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh empu. Seorang empu menciptakan keris dengan ketekunan, totalitas diri dan cipta rasa yang tinggi. Keris diciptakan untuk memberi landasan bagi tumbuhnya karakter jiwa pemiliknya, menumbuhkan wibawa, rasa percaya diri, dan bukan sebagai piranti membunuh.

Lantas, pertanyaannya ialah apakah makna filosofis sebuah keris sebagai sipat kandel? Secara umum filosofi keris, baik itu terkait material bahan maupun konstruksi modelnya (dapur), mengandaikan konsepsi theologis sebagai tujuan tertingginya. Penggabungan material besi dan baja yang diambil dari unsur-unsur bumi di satu sisi dan material besi, nikel dan titanium (meteor) yang diambil dari unsur angkasa di sisi lain, jelas mengambarkan harapan bersatunya agregasi kekuatan langit dan bumi. Dari pemilihan bahan sendiri sudah mengambarkan harapan bersatunya mikro-makro kosmos, yakni jumbuhnya unsur immanensi dan transendensidalam kesadaran insani.

Tanpa terkecuali juga bersatunya gonjo dan wilah yang adalah simbolisasi bersatunya lingga-yoni; selain bermakna pemuliaan terhadap keberlimpahan alam semesta, pemuliaan terhadap keagungan cinta dan proses penciptaan, lebih jauh juga bermakna sebagai simbolisasi makna jumbuhing kawula-Gusti.

Artinya, di sini secara umum filosofi keris adalah sebuah pesan akan keberadaan nilai-nilai moral adiluhung (virtue). Keris berfungsi sebagai pengeling-eling akan nilai-nilai (moral) itu. Kaidah estetiknya mengejawantahkan simbolisasi nilai-nilai tersebut. Demikianlah keris dibuat dengan harapan sanggup memberi aspek edukasi yaitu menuntun manusia pada realisasi nilai-nilai (virtue) itu sendiri.

Dengan begitu keris secara inheren sesungguhnya menyimpan konsepsi ideal tentang nilai-nilai filosofi manusia Indonesia: ialah menjadi manusia sempurna (insan kamil) yang telah mengenal arti dan tujuan kelahirannya (sangkan paraning dumadi). Dalam arti umum inilah, apapun modelnya (dapur) sebuah keris baik itu lurus (lajer) maupun berlekuk (luk), konsepsi filosofis-etisnya adalah adanya sistem nilai terkait tujuan realisasi diri menjadi manusia sempurna, sebuah kondisi (state of being) jumbuhing kawula-Gusti.

Sedangkan problem epistemologi terkait bagaimana memawujudkan nilai-nilai (menjadi) manusia sempurna itu sendiri, jelas dibutuhkan adanya sistem pengetahuan tersendiri. Kawruh laku atau Samadhi sebagai sistem pengetahuan, misalnya, tentu hal ini tidak terejawantahkan secara simbolis pada ricikan bilah keris. Namun sikap jujur atau rendah hati sebagai prasyarat nilai-nilai (moral) manusia mencapai jumbuhing kawula-Gusti, misalnya, secara semiotik sudah terangkum pada kaidah ornamental (ricikan), seumpama pada makna lambe gajah dan condong leleh sebuah keris.

Nah, pertanyaannya ialah apakah makna keris tilam sari pamor tunggak semi? Dapur dan pamor adalah sebuah pola rancang bangun yang dibuat si empu untuk tujuan khusus. Secara leksikon, kata tilamsari adalah berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti “paturon”.[2] Paturon (tempat tidur) jelas menggambarkan tercapainya kondisi kententraman atau ketenangan. Orang bisa tidur pulas tentu setelah seluruh beban hidupnya tanggal. Keris model tilam sari dengan begitu menggambarkan harapan dan tujuan terbangunnya ketenteraman atau ketenangan sebuah keluarga.

Motif tunggak semi bermakna sebuah spirit optimisme. Arti leksikon tunggak semi adalah"pangkal persemian". Jelas, tersirat dari namanya menggambarkan harapan yang selalu hidup. Bentuknya yang mirip sebuah api yang menyala-nyala dan tepat berada pada bagian bawah bilah (sor-soran) menggambarkan sesuatu yang tumbuh atau berkembang dari bawah menjadi sesuatu yang besar. Tidak ada kata mati bagi sebuah harapan. Bahkan, kematian pun bukanlah sebuah kondisi terputusnya harapan sama sekali. Selalu ada pembaharuan; selalu ada kelahiran kembali. Pamor tunggak semi dengan begitu bermakna daya hidup menyala-nyala (elan vital).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun