Dengan begitu keris tilam sari pamor tunggak semi adalah suatu harapan tercapainya kondisi hidup tentram atau tenang disangga daya hidup menyala-nyala tanpa akhir. Lantas, secara aktual apa maknanya bagi pemiliknya?
Untuk memudahkan melihat makna ini, ada baiknya kita meminjam bagan analisis Kantian.[3] Di sini keris tilam sari pamor tunggak semi adalah membawa nilai-nilai (moral) “imperatif hipotetis”. Ini adalah suatu kewajiban yang bersifat hipotetis (jika..., maka...), yaitu bahwa pelaksanaan kewajiban nilai-nilai tersebut hanya sejauh terkait dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai. Artinya, kondisi itu sendiri sebagai sebuah tujuan atau harapan sudah tentu memprasyaratkan adanya nilai-nilai tertentu.
Kondisi hidup nan tentram dan tenang dengan disangga daya hidup menyala-nyala tentu memprasyaratkan adanya nilai-nilai kepercayaan diri, etos kerja keras, totalitas, keteguhan, keberserahdirian (pasrah), kesetiaan pada cita-cita, adanya tanggung jawab dan lain sebagainya. Ini adalah prasyarat yang tidak bisa tidak harus ada (sine quo non) sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai “imperatif hipotetis” tersebut. Tanpa adanya nilai-nilai (moral) itu semua, sebaik apapun kualitas sebuah keris dibuat sang empu, ia tidak akan bermakna apa-apa alias pepesan kosong belaka.
Bagi orang Jawa, hidup adalah penuh dengan perlambang yang harus dicari maknanya. Keris juga merupakan sebuah sistem simbol yang bermaksud menuntun manusia hidup di jalan yang benar. Dengan begitu keris juga sebuah perlambang tersendiri yang harus dikuak kedalaman maknanya. Dalam lanskap kebudayaan yang memayungi keberadaan keris sebagai sistem simbol, berdampingan dengan itu juga tersimpan sistem nilai (sipat kandel) dan sistem pengetahuan (kawruh laku atau samadhi), ketiganya membentuk keutuhan makna sebuah kebudayaan yang membentuk sistem makna orang Jawa mempersepsi dunianya.
Keris sebagai sipat kandel atau pusaka adalah berbeda dari keris sebagai sebuah jimat. Keris sebagai sipat kandel sudah pasti juga berbeda dari keris sekadar sebagai benda artistik atau estetik. Demikianlah keris sebagai sipat kandel adalah sebuah upaya manusia mengafirmasi nilai-nilai adiluhung (virtue) sebagai tujuan dan harapan hidupnya. Namun bersamaan itu, secara dialektis keris sengaja dibuat sekaligus dengan maksud memberi landasan kokoh pada pembentukan karakter jatidiri individual sebagai prasyarat tersendiri dalam mewujudkan nilai-nilai itu sendiri.
Dengan begitu prasyarat menginterpretasi dan mengapresiasi sebuah keris ialah, melihat hubungan ketiga unsur yakni keris sebagai sistem symbol itu sendiri, adanya sistem nilai-nilai yang dihayati, dan kompleksitas sistem pengetahuan yang melingkupinya. Ketiganya tidak bisa dilihat secara tidak terpisah-pisah. Ketiga unsur tersebut mencipta semesta pemaknaan yang utuh, yaitu sebuah nafas kebudayaan tempat di mana kita bergerak dihidupi dan menghidupi dunia. Seberapa mendalam ketiga hal tersebut berdialektika membentuk karakteristik jiwa pemilik sebuah keris, sudah tentu berpulang pada seberapa mendalam ketiga hal itu telah terpahami dan terhayati pada masing-masing pribadi.
*****
[1] Secara teknis, motif pamor pun dapat dibedakan yaitu pamor mlumah, pamor miring dan pamorpuntiran. Dengan begitu motif pamor sebuah keris pun dapat dibedakanmenjadi pamor tiban dan pamor rekan (by design).
[2] http://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/38-kamus-dan-leksikon/226-kawi-jarwa-dirjasupraba-1931-1263
[3] Immanuel Kant membedakan realisasi moralitas (nilai-nilai) dalam dua model, yaitu imperatif hipotetis danimperatif kategoris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H