Mohon tunggu...
Wasillatun Nazjah
Wasillatun Nazjah Mohon Tunggu... Mahasiswa - belajar, belajar dan terus belajar......

bismillah berkah, manfaat...amin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai Keislaman pada Tradisi Petik Laut Nelayan Pesisir Utara di Lamongan

28 Desember 2021   13:13 Diperbarui: 28 Desember 2021   14:10 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam dan Budaya

Wasillatun Nazjah

Tradisi pengamalan ajaran Islam di Jawa memang unik dan berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat lain, meskipun sumber ajarannya sama, akan tetapi dalam praktik keagamaannya dapat berbeda-beda. Perbedaan dalam pengamalan ajaran ini disebabkan karena  adanya aspek-aspek yang selalu berhubungan dengan pemahaman teologi, ritual, bentuk-bentuk mistik, dan kesalehan. Islam normatif yang melahirkan beragam tipe Islam lokal di Jawa (Woodward, 2012: 83). Perkembangan Islam di daerah pedesaan Jawa yang berdekatan dengan pesantren atau kyai yang menyebarkan Islam melalui lembaga pesantren memiliki peluang yang besar bagi pesantren dan santri-santri untuk memperkenalkan dan menyebarkan Islam yang berorientasi syari’ah (Burhanudin, 2017: 332). Masyarakat pesisir Jawa memiliki mata pencaharian yang dominan, yaitu sebagai nelayan yang mencari ikan di laut.

Mayoritas nelayan memiliki praktik sosial keagamaan yang dibedakan menjadi dua yaitu nelayan abangan dan nelayan santri. Nelayan abangan melakukan praktik keagamaan untuk mendukung pekerjaannya melalui bantuan ritual orang pintar (dukun). Sementara itu, nelayan santri melakukan praktik keagamaan untuk mendukung pekerjaannya dengan berpedoman pada ajaran Islam normatif dengan menghindari praktik-praktik di luar ketentuan agama yang menyesatkan (Addini & Sadewo, 2016: 1). Pertemuan antara ajaran Islam dengan budaya lokal adalah salah satu bentuk dialog budaya yang melahirkan ekspresi Islam ketika bertemu dengan unsur-unsur lokal (Sutrisno, 2009: 171). Masyarakat pesisir Jawa yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan melakukan praktik keagamaan dengan berpedoman pada ajaran Islam disebut sebagai nelayan santri, dan yang cenderung mengabaikan ajaran Islam disebut sebagai nelayan abangan (Addini & Sadewo, 2016: 1)

Kegiatan praktik keagamaan yang dilakukan oleh nelayan pesisir Jawa yang bersifat keyakinan, pada awalnya masih bercampur dengan tradisi atau keyakinan yang berkembang pada zaman dahulu yaitu ritual-ritual peninggalan yang berasal dari nenek moyang mereka. Masyarakat nelayan pesisir Lamongan melakukan tradisi petik laut yang dilakukan di setiap akhir tahun atau pada bulan Desember saat bersamaan dengan datangnya angin laut dari barat karena pada masa ini, adalah masa paceklik bagi para nelayan karena musim cuaca di laut yang kurang bagus untuk melakukan miyang atau mencari ikan di laut. 

Ritual petik laut ini, dilakukan dengan sesajen yang menggunakan kepala kerbau atau sapi sebagai bentuk pemberian sesajen yang diperuntukkan bagi kekuatan gaib, dewa, dan roh-roh dengan tujuan menyenangkan mereka. Sesajen digunakan sebagai sarana untuk menolak pengaruh negatif dari kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam penangkapan ikan (Suyono, 2009: 131-132). Tradisi petik laut ini dapat disebut sebagai bentuk tasyakuran laut setelah nelayan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak selama satu tahun. Clifford Geertz menamakan istilah ini dengan slametan atau kenduren yaitu suatu upacaya keagamaan yang sederhana, formal, tidak dramatis, dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dalam kegiatan tersebut (Geertz, 1983: 13). Selanjutnya, dengan seiring perkembangan syi’ar agama Islam, ritual penyembelihan kepala kerbau atau sapi dalam tradisi petik laut di daerah pesisir Lamongan telah berhenti pada tahun 1970-an. Setelah itu, pada tahun 1970-an sampai sekarang ritual petik laut mengalami perubahan menjadi kegiatan yang bersifat perayaan sebagai tanda suka cita bagi para nelayan (Pratiwi, 2014: 28) Tradisi petik laut mengalami transformasi menjadi ajang pesta rakyat (Sawiji, Mauludiyah, & Munir, 2017: 68)

Perkembangan syi’ar Islam yang diperuntukkan bagi para nelayan, yang dilakukan oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Metode dakwah yang dilakukan oleh Kiai Pesisir Lamongan yaitu, yang pertama, dakwah bi al-Lisan yang dikenal sebagai dakwah tatap muka, dalam pembahasan dakwah dikenal dengan model dakwah konvensional. Kedua, dakwah bi allisan, dilakukan melalui kata-kata yang lemah lembut dan mudah dipahami oleh jamaah, dan tidak menyakitkan hati mereka (Sukardi, 2014: 138). Ketiga, dakwah bil al-a’fal yaitu seperti dalam etos kerja, penyeimbangan antara urusan duniawi (bekerja) dan pelaksanaan ibadah keseharian. Selain itu, sebagian ustadz juga melakukan kerjasama dengan para nelayan, dengan menanamkan saham dalam bentuk kepemilikan kapal atau mesin para nelayan untuk melakukan aktivitas kerjanya melaut. Keempat, dakwah bil kitabah yang dalam pandangan Kuswandi (2016) tidak hanya dilakukan kiai melalui tulisan kitab, sebagaimana para ulama zama dahulu, namun juga dilakukan media komunikasi massa, seperti di majalah, bulletin dan lain-lain.

Nelayan pesisir ini, mengalami tranformasi substansi nilai kekuatan sesajen yang beralih menjadi kekuatan ilahiyah, yaitu keyakinan tentang ke-Esa-an dan kekuasaan Allah SWT. Ajaran tauhid yang diajarkan oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tentang larangan menyekutukan Allah berhasil mengubah pola pikir nelayan dari sesajen ke tauhid NU dan Muhammadiyah. Kehidupan sosial nelayanpun di bingkai atas kesadaran beragama yang berdasarkan paham organisasi keagamaan yang diikuti yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Konstruksi kehidupan sosial nelayan dapat tercipta dengan membangun hubungan harmonis dalam keluarga, tetangga, dan bermasyarakat. Implementasinya dapat berupa kegiatan saling membantu, gotong royong, saling memelihara dan menjaga kehidupan bermasyarakat (Herlina, 2018: 12). Di kalangan nelayan yang mengikuti paham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). kehidupan sosial dibangun melalui kegiatan rutin seperti jama’ah yasinan, tahlilan, slametan, istighosah yang secara rutin diadakan dalam mingguan atau bulanan. Kegiatan ini diyakini dapat meningkatkan silaturahmi, kesadaran, dan kepekaan sosial nelayan dalam bermasyarakat. Nelayan yang berpaham Muhammadiyah memiliki kelebihan dalam bidang amaliyah sosial atau shodaqoh. Secara umum, warga Muhammadiyah dikenal memiliki keunggulan dalam hal infaq dan shodaqoh untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adannya kegiatan syiar keagamaan yang berhaluan NU dan berhaluan Muhammadiyah, Kegiatan praktik keagamaan yang dilakukan oleh nelayan yang dahulunya sering melakukan ritual “sesajen” dengan tujuan agar usaha menangkap ikan mendapatkan hasil ikan yang banyak. Seiring dengan perkembangan pemahaman keagamaan yang kuat dan ikut serta dalam pengajian-pengajian atau majlis taklim, nelayan sekarang sudah tidak melakukan ritual sesajen. Selain itu, kesadaran sosial bagi masyarakat nelayan juga semakin tinggi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Sumber Rujukan

Nurdin, A. (2020). Budaya Islam Nelayan Pesisir Utara Lamongan Jawa Timur. IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 18(1), 118-138.

Farihah, I., & Ismanto, I. (2018). Dakwah Kiai Pesisiran: Aktivitas Dakwah Para Kiai di Kabupaten Lamongan. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 12(1), 46-60.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun