Bangsa yang besar pasti juga diuji dengan cobaan yang besar juga. Dan bilamana bangsa itu mampu melewatinya dengan baik, maka derajatnya akan melesat naik jadi bangsa yang jauh lebih baik lagi. Tak terkecuali dengan Indonesia. Sebagai bangsa yang besar, saat ini bangsa ini sedang diuji dengan ujian yang tak ringan dan jikalau bangsa ini lulus, maka niscaya dunia akan berdiri dan memberi applause.
Dengan apakah bangsa Indonesia diuji? Menurut Presiden Jokowi, bangsa ini diuji dengan demokrasi yang sudah kebablasan. Demokrasi yang kebablasan, lebih lanjut Jokowi, telah membuka peluang terjadinya praktik artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme dan terorisme.
"Ada yang tanya ke saya, apakah demokrasi di Indoenesia sudah kebablasan, saya jawab, ya demokrasi kita sudah kebablasan," ujar Jokowi seperti dikutip dari detikcom.
Apa contoh paling nyata dari demokrasi yang kebablasan menurut Jokowi, "Seperti kita lihat saat ini, ada politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ini harus kita ingatkan, hindari, Banyaknya kebencian, fitnah, saling memaki, menghujat yang kalau kita teruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita."
Pernyataan Jokowi jadi diskursus
Jika Jokowi yang berbicara, wajar jika kemudian memicu berbagai komentar dari berbagai kalangan. Ada yang mengamini mutlak pernyataan Jokowi, “demokrasi Indonesia sudah kebablasan.” Ada yang setengah mengamini dengan berbagai catatan, dan ada juga yang melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Pakar tata negara Refly Harun misalnya, mengatakan demokrasi Indonesia tidak kebablasan, namun Indonesia asih belajar demokrasi. Lalu ada ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan demokrasi kebablasan Indonesia konsekuensi dari sistem pemilu yang “one man one vote.”
Ada juga Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, yang menilai pernyataan Jokowi keliru. "Yang bisa kebablasan itu adalah sisi mata uang demokrasi, yaitu kebebasan atau hukum. Yang bisa kebablasan itu adalah kebebasan. Muncul istilah kebebasan sudah kebablasan, itu boleh," ujar Fahri dikutip dari detikcom.
Pro-kontra silakan saja dalam menanggapi pernyataan Jokowi. Justru itulah strategi Jokowi agar demokrasi di negara ini yang belakangan terkesan “tak ramah” mendapat perhatian seluruh elemen masyarakat. Setelah menjadi perhatian, maka akan menjadi diskursus. Ini lebih baik ketimbang demokrasi demikian saja dipahami seperti sekarang adanya.
Artinya, demokrasi sudah disepakati sebagai alat mencapai kesejahteraan di negeri ini. Itu sudah final. Namun diskursus perihal demokrasi harus terus dijaga agar ia tak menjadi “berhala” yang tak lagi bertuah dan diperlakukan seenaknya.
Optimisme Jokowi
Terlepas dari itu, dalam pidato yang sama seperti saat menyatakan “demokrasi telah kebablasan,” Jokowi menggarisbawahi dengan optimisme bahwa bangsa Indonesia akan mampu lulus dengan baik dari ujian terberat sekalipun. Dan setelah lulus, bangsa Indonesia akan lebih naik lagi derajatnya.
"Kalau bisa kita lalui dengan baik akan menjadikan kita dewasa, semakin matang, tahan uji. Bukan justru melemahkan," pungkas Jokowi.
So, be positive dan selalu jaga kondusifitas negeri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H