Dan kemudian ia melanjutkan pembicaraan dengan topik yang lain.
Ketika saya mendengar kalimat pertama dari si Bapak, saya mengira bahwa ia sedang meminta nasehat dari temannya. Dan karena itu, saya memasang telinga berharap bisa mendapatkan info yang berguna tentang kesehatan dan penyakit pinggang. Tetapi dari pembicaraan yang terjadi, saya menyadari bahwa si Bapak tidaklah sedang mencari masukan atau nasehat. Usulan dan masukan dari temannya bukan saja tidak ditanggapi, tetapi ia seakan sudah memutuskan solusi terhadap masalahnya sebelum temannya itu memberikan masukan.
Apakah mungkin tujuan dari Bapak ini berkonsultasi dengan temannya hanya untuk mendapatkan jawaban yang bisa mendukung keputusan yang sudah dibuatnya, yaitu ingin ke fisioterapi? Apakah ia ingin mendengarkan temannya berkata: “ke fisioterapi saja, pasti bisa sembuh?” Usulan dari teman untuk melakukan check up secara keseluruhan untuk mencari penyebab sakit pinggang tidak ia tanggapi, karena menurut dia, penyakit pinggang itu bisa disembuhkan dengan fisioterapi, bahkan ketika ia tidak paham benar penyebab dari sakit pinggangnya itu.
Percakapan singkat ini menyadarkan saya bahwa sebagai pemimpin, tidak jarang saya memiliki sikap yang sama dengan Bapak itu. Saya teringat masa-masa ketika menghadapi sebuah masalah dan saya harus mengambil keputusan yang penting. Mentor dan pemimpin senior menyarankan saya untuk meminta masukan dari beberapa orang lain sebelum memutuskan hal tersebut. Dan demi menghormati mentor tersebut, saya mengiyakan dan bertemu dengan orang yang dimaksud.
Walau demikian, saya memasuki percakapan tersebut bukan dengan hati dan telinga yang siap mendengar, tetapi dengan sebuah ketetapan hati bahwa saya sudah tahu solusinya dan saya akan memecahkan masalah itu dengan cara saya. Jadi masukan dan pertimbangan yang diberikan dalam percakapan itu seakan masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri saja. Hanya ketika masukannya itu sejalan dengan solusi yang saya pikirkan, barulah saya terima. Dan bila itu terjadi, saya akan kembali kepada mentor saya dan berkata bahwa si A dan si B juga setuju dengan ide dan solusi yang saya pikirkan.
Sedihnya, hal itu sering sekali terjadi dan masalah yang dihadapi akhirnya tidak jarang menjadi bertambah keruh karena diputuskan tidak dengan bijak.
Saya sekarang belajar untuk mau menerima masukan dan nasehat dari orang lain, terutama di masa-masa ketika saya merasa sangat yakin dengan solusi yang saya pikirkan. Dan bila saya cukup bijak untuk mau benar-benar mendengarkan, saya akan mendapati bahwa pandangan yang berbeda itu bisa memperkaya pemahaman saya dan memperlihatkan sudut baru dari masalah yang sama, sehingga saya bisa membuat keputusan yang lebih baik.
Buat rekan-rekan yang sedang mendaki gunung karir dan keluarga ini, buat rekan-rekan yang sedang berjuang untuk menjadi pemimpin yang lebih baik, maka sikap belajar untuk mendengarkan ini sangat berguna untuk kita miliki. Sikap untuk mau menahan diri dan mau mendengarkan masukan dari pihak lain akan memperkaya kita dan membuat kita menjadi lebih bijaksana dalam membuat keputusan kita. Mari kita semua, khususnya pemimpin-pemimpin muda, berusaha untuk mengembangkan disiplin mau mendengarkan, karena lewat mendengarkan, hikmat akan datang.
Sekitar 3000 tahun yang lalu, seorang raja yang bijaksana berbicara demikian tentang hikmat kepada anak-anaknya:
Karena itu, dengarkanlah aku [hikmat], hai orang muda!