Mohon tunggu...
Octavianus Gautama
Octavianus Gautama Mohon Tunggu... Suami/Ayah/Pengusaha/Penulis/Pelatih/Pencetus Ide/Anak/Pembicara -

Seorang suami dengan dua anak yang masih terus belajar untuk menjaga keseimbangan antara keluarga dan karir, antara hidup dengan fokus dan hasrat untuk mengambil setiap kesempatan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Maksud Hati Mau Gitu!

11 Desember 2015   15:23 Diperbarui: 11 Desember 2015   15:34 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Malino yang asri dan sejuk"][/caption]

Pada kesempatan baru-baru ini, saya mengajak istri dan anak saya berlibur ke Malino, daerah pegunungan yang terletak sekitar 2 jam dari Makassar. Seperti Puncak untuk warga Jakarta dan Tretes untuk warga Surabaya, demikian Malino untuk orang Makassar. Tempat ini menjadi daerah wisata favorit sejak saya masih kecil. 

[caption caption="belanja di pasar Malino"]

[/caption]

Kami pun ke pasar untuk berbelanja jajanan lokal, dan pada kesempatan kali ini, kami singgah ke salah satu rumah tempat mereka membuat tenteng, kacang yang dibungkus dengan gula merah. Ketelatenan dalam kesederhanaan mereka membuat kami tersentuh. Mereka dengan ramah menyambut kami dan mempersilahkan kami mencicipi jajanan hasil karya mereka.

[caption caption="proses pembuatan tenteng Malino"]

[/caption]

Selain pasar, kami juga pergi ke hutan pinus, area wisata keluarga. Dalam hutan pinus ini, anak-anak bisa berlari-lari, bermain-main dan menyewa kuda untuk diajak berkeliling. Di hari-hari raya, para pemuda/i berkesempatan untuk melepaskan jiwa petualang mereka dengan berbagai permainan rintangan yang ada, salah satunya adalah flying fox.

Demi menjaga kebersihan lingkungan, maka di beberapa bagian hutan itu terpasang papan: Buanglah Sampah Pada Tempatnya! Kami sangat senang dengan papan himbauan ini, karena tanda-tanda semacam ini akan mendidik orang untuk terbiasa menjaga kebersihan lingkungan dan membuang sampah pada tempatnya.

Sambil menikmati jagung bakar, kami menemukan satu pondokan yang disediakan di sana. Kamipun masuk dan berhenti sejenak di sana sambil menghabiskan jagung yang ada. Tidak butuh waktu yang lama untuk kami mengamati sesuatu yang janggal. Di sekitar tempat itu banyak sampah yang berserakan. Ada gelas plastik, bungkuan kue dan sisa makanan yang dibuang di sekitar kaki kursi. Kami mulai mencari tempat sampah tetapi tidak menemukannya. Di saat itu, saya teringat dengan pesan di papan yang baru saya baca dan merasakan ironi yang ada.

Di satu sisi, managemen tempat wisata ini menganjurkan orang untuk membuang sampah pada tempatnya. Di sisi lain, mereka tidak menempatkan tempat sampah di daerah pondokan, tempat dimana wisatawan duduk dan makan. 

Saat itu, jagung yang ada ditangan sudah habis dimakan. Saatnya buat kami untuk mencari tempat sampah untuk membuang sisa makanan ini. Kamipun mengayuhkan langkah kami meninggalkan pondokan yang ada dan melihat lagi tanda yang terpasang di tempat lain, yang melarang orang untuk membuang sampah sembarangan. Tidak lama kemudian, kami menemukan tempat sampah berupa potongan drum oli bekas yang berwarna coklat dan membuang sisa makanan di sana. 

Dalam sisa waktu di hutan pinus itu, mata saya mulai mencari posisi tempat sampah yang ada. Saya melihat ada tempat sampah yang disimpan bersebelahan satu dengan yang lain, sementara di lokasi lain, tidak ada tempat sampah yang tersedia sejauh mata memandang. Karena warnanya yang mirip dengan warna tanah, maka terkadang mata ini kurang awas dan tidak menemukannya.

Dan kondisi ini bukanlah kondisi yang aneh, bukan? Tidak butuh waktu lama untuk pikiran ini membawa saya berpetualang ke tempat yang lain dengan dilema yang mirip. Saya mengingat bagaimana banyak orangtua yang meminta anaknya untuk lebih sering membaca buku, tetapi bukannya rak buku yang tersedia di dalam kamarnya melainkan sebuah TV atau sebuah iPad. Atau dalam sebuah organisasi, bagaimana banyak pimpinan yang mengharapkan anggotanya bisa bersikap pro-aktif dalam bekerja, tetapi ketika berada situasi yang beresiko, bos ini segera turun tangan dan mengintervensi usaha pro-aktif dari bawahannya. 

Situasi memang berbeda, tetapi seperti papan tanda dilarang membuang sampah secara sembarangan, setiap anjuran yang diberikan itu tidak didukung oleh strategi yang tepat. Saya percaya bahwa setiap orang yang masuk ke hutan pinus itu ingin melihat dan menikmati hutan yang bersih dan indah. Saya juga percaya tidak ada dari antara pengunjung yang dengan sengaja ingin membuang sampah secara sembarangan. Tetapi motivasi ini dikalahkan oleh susahnya mencari tempat sampah ketika mereka dan saya ingin membuang sampah. Bila seorang anak harus berdiri dan pergi ke ruang sebelah untuk mencari buku padahal ada iPad di depan matanya, maka kecil kemungkinan ia akan bisa mencintai buku. Demikian juga seorang pegawai yang berniat pro-aktif akan menjadi pegawai yang pasif bila bosnya tidak mau mempercayai mereka untuk membuat keputusan.

Hal yang menarik sehubungan dengan perilaku membuang sampah bisa terlihat jelas dari wisatawan Indonesia yang berlibur ke Singapore. Ketika mereka dan saya berada di Singapore, maka perilaku membuang sampah pada tempatnya menjadi suatu perilaku yang pasti. Orang yang sama yang mungkin membuang sampah secara sembarangan ketika berada di negeri sendiri ini secara otomatis memilih untuk membuang sampah pada tempatnya ketika berada di Singapore. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah yang mempengaruhi perubahan perilaku itu? Mungkinkah perilaku itu ditiru dan dijadikan kebiasaan juga ketika berada di tanah tercinta ini?

Beberapa perbedaan yang terlihat dari cara pemerintah Singapore mengusahakan lingkungan yang bebas sampah ada pada jumlah, warna, kualitas, dan posisi penempatan tempat sampah yang mereka lakukan. Tempat sampah yang disediakan bukan hanya banyak dan terawat, tetapi tersedia di tempat-tempat yang strategis. Dengan warna yang menyolok, kita bisa langsung melihat posisi tempat sampah terdekat ketika kita ingin membuang sampah. Jadi pemerintah Singapore bukan hanya memasang tanda agar kita membuang sampah pada tempatnya, tetapi mereka mempelajari perilaku konsumen dan mengantisipasi kebutuhan orang akan tempat sampah. Setelah itu, mereka mengambil strategi dan menguji strategi itu untuk mendapatkan hasil yang optimal sambil tetap menempatkan petugas kebersihan dengan frekuensi yang tinggi. Semua tindakan ini memperlihatkan kepada orang-orang bahwa pemerintah Singapore serius dengan usaha untuk menciptakan negara yang bersih dari sampah.

[caption caption="kondisi di salah satu trotoar di Singapore"]

[/caption] 

Tidak lama lagi kita akan menutup tahun ini dan buat sebagian orang, inilah masa-masa kita mengevaluasi kembali program dan kegiatan yang sudah kita lakukan selama setahun ini. Berapa banyak dari rencana kita yang berjalan lancar dan berapa banyak yang berhenti di tengah jalan. Dan disaat-saat seperti itu, ada baiknya kita melihat bukan hanya dari rencana yang kita buat, tetapi juga langkah-langkah strategis yang sudah/belum kita ambil untuk mendukung keberhasilan rencana itu.

Mungkinkah, seperti harapan agar orang membuang sampah pada tempatnya, rencana kita menemui jalan buntu di tahun ini karena strategi yang salah? Mungkinkah kita perlu kembali mempelajari “jumlah, warna, kualitas dan posisi” yang perlu kita ambil agar harapan itu bisa tercapai di tahun yang baru?

Harapan saya adalah bahwa rencana Anda bisa meraih kesuksesan yang lebih baik di tahun yang akan datang, baik itu untuk pribadi Anda, untuk keluarga Anda, maupun untuk usaha pekerjaan Anda.

Masa depan yang lebih baik, entah itu dalam bentuk seorang anak yang suka membaca buku, seorang karyawan yang bisa mengembangkan potensinya dan pro-aktif dalam pekerjaannya, atau sebuah hutan pinus yang tetap indah dan bersih di tahun-tahun mendatang bergantung pada rencana yang baik dan strategi yang tepat yang bisa mendukung kesuksesan rencana itu.

Marilah kita bertumbuh menjadi generasi pemimpin yang mampu peka terhadap hal itu.

Demi hari esok yang lebih baik.

Demi alam Indonesia yang kita cintai ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun