Mohon tunggu...
imam masrur
imam masrur Mohon Tunggu... -

Lahir di Lembah Gunung Semeru, 45 tahun silam. Pernah menjadi guru SD, tenaga sukarelawan BUTSI. Aktif menulis, pernah menjadi wartawan di beberapa harian dan majalah (Merdeka, Surabaya Post, Surya dan D&R). Sekarang sebagai penulis lepas dan mengkonsultasi sesama yang lagi gundah. dll

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngedan (Mengarus)

13 Mei 2010   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arus, secara harfiah berarti gerak air yang mengalir (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Air yang mengalir secara kodrati, apa itu jatuh dari lereng gunung atau lembah, apa itu jatuh dari ngarai atau punggung bukit yang terjal, tak berkonotasi buruk. Naluri air tidak pernah mendaki tapi menurun. Arus punya energi, bisa lembek bisa dahsyat. Dalam debit tertentu arus bisa dibendung, diarahkan. Meski, sebaliknya, arus air bisa menjadi bencana, bah, dan meluluhlantakkan apa saja.

Arus air bersifat pisik dan teknis. Bagaimana dengan arus-arus yang lain? Arus memang tak melulu bersifat teknis dan inderawi. Dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, mental dan spiritual, dalam semua lapisan sosial ini terdapat arus. Semua ini adalah arus nonteknis dan noninderawi.

Ada arus bawah, ada arus reformasi, arus revolosi, dan arus budaya, serta arus-arus yang lain. Arus yang demikian oleh George Simmel dikatakan sebagai the rushing of social trend atau kekuatan yang menerpa dari kecenderungan arus masyarakat.

Arus itu sendiri adalah dinamika, energi dan motivasi. Apa juga bisa dibendung, dijinakkan? Arus mempunyai energi yang sama dengan tekanan suhu yang panas. Harus dicarikan semacam katup pelepas atau outlet yang dapat mengatur tekanan arus atau suhu. Jika tidak, maka terjadilah ledakan reaksi yang tak terkontrol.

Kehidupan adalah deburan dari berbagai arus. Dalam diri kita terdapat arus. Dan arus yang paling dahsyat ialah lampiasan hawa nafsu paling vulgar. Tanpa hawa nafsu sudah tidak manusiawi lagi. Tapi menjadi budak hawa nafsu membikin manusia tercabik dan porak poranda.

Arus tak perlu kita benci, tak perlu kita takuti, apalagi kita larikan. Terhadap arus kita harus alternatif. Caranya sederhana saja. Kita harus tahu persis, kapan sebaiknya dan kapan seharusnya melawan arus. Melawan arus? Ya, pada suatu saat harus ada keberanian melawan arus. Ambil saja contoh yang sederhana. Ketika semua rizki hanya bisa diperoleh dengan cara mencuri (korupsi) kita tetap memilih rezeki yang baik dan halal (halalan thayiban). Saat arus budaya masyarakat begitu mengalir ke goyang ngebor, goyang gergaji, goyang politik, dan goyang-goyang yang lain, kita tak serta merta ikut goyang atau menggoyang.

Dalam praktek arus dalam masyarakat tidak selamanya baik. Ada kalanya, bahkan sering buruk, jahat dan menghanyutkan. Tak bisa diarahkan atau dibendung. Itulah yang oleh Simmel disebut the justified misconnduct of social trend atau tingkah laku buruk yang direstui masyarakat. Restu di sini tidak berarti "yes" atau anggukan kepala. Restu di sini berarti ketidak berdayaan kita terhadap arus yang melanda. Sebab kita biasa tokh cuma bisa bilang ," yaah, memang beginilah zaman sekarang. Zaman edan. Mau bilang apa lagi".

Ciri zaman edan menurut ramalan Jayabaya ialah kekacau-balauan yang total luas - mendalam. Alam dihajar kelainan. Kehidupan sarat penyimpangan. Alam memunculkan gejala aneh-aneh. Matahari marah. Anak kambing makan tokek. Ular mandi api. Keledai jadi raja hutan. Kera naik kuda. Dan sebagainya. Yang mengerikan, penyimpangan dalam kehidupan kompleks, yang berpangkal pada tiga hal, artati (uang), nistana (kemelaratan) dan jutya (kriminalitas). Mata kontan jadi hijau ketika melihat uang. Orang jadi rakus. Kemelaratan dalam arti luas menyebar ke mana-mana. Maling berkhotbah menjadi nafas sehari-hari. Pembohonhg, penipu, penindas dan sejenisnya bertebaran di mana-mana.

Kompleksitas keadaan ini melahirkan bendhu (kemarahan). Cirinya, mayoritas orang marah-marah. Angkara murka jadi raja. Orang sibuk demi kepentingan sendiri, berderma satu juta sambil mencuri satu triliun. Segala cara dihalalkan. Uniknya, yang aneh-enah itu mendapat ‘restu' masyarakat. Restu itu datang tiba-tiba, melembaga menjadi sikap ketidakberdayaan ( a state of permissiveness).

Zaman mungkin memang sudah edan. Mengapa tidak ikut edan saja. Edan kan tidak selalu buruk. Lumrah karena banyak yang melakukan. Kita cuma diminta pandai melihat situasi dan kondisi. Hidup dalam arus dan bersikap luwes serta ‘arif'. Pandai bergaul. Sebab kepiawaian bergaul dalam arus menjadikan kita mahir mencari peluang dan kesempatan. Tidak edan kok. Kita hanya ikut arus kok. Ingat, lingkungan hidup kita punya standar tersendiri. Apakah hidup layak dan bergaya urban sama dengan orang edan?

Tentang jenis edan yang begini Thomas Paine membikin sindiran yang jenaka. The real fools among the artistic fools are the human fools. Artinya, orang edan yang benar di antara orang edan yang artistik ialah yang edan manusiawi alias ngedan (ikut arus). Iku..ikut..ikut.. yuuuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun