Musim hujan tiba, banjir dan macet di mana-mana. Ada yang murni musibah, ada banjir dan macet yang disengaja.
Kok bisa? Ya, banjir dan macet di Jalan Raya Rancaekek, perbatasan Kabupaten Bandung-Sumedang contohnya. Jalan raya yang menghubungkan Bandung, Sumedang dengan Garut-Tasik ini termasuk jalan kelas utama sekaligus juga uratnadi perekonomian masyarakat Jawa Barat.
Namun kondisinya setiap hari tahun ke tahun sungguh memprihatinkan dan cenderung dibiarkan oleh Pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, jalan raya tersebut salah satu penghubung utama Jawa Barat dengan provinsi Jawa Tengah.
Di Jalan raya Rancaekek itu pula sejak puluhan tahun lalu beroperasi PT Kahatex, pabrik tekstil dengan lebih dari 35 ribu karyawan yang banyak memberi warna kehidupan di kawasan tersebut.
Saya harus menyebut Kahatex karena pabrik ini bisa menjadi benang merah ruwetnya persoalan banjir dan macet parah di kawasan ini.
Dengan puluhan ribu karyawan, setiap pergantian shift akan selalu ada belasan ribu manusia keluar masuk pabrik, menyebrang jalan, nyegat angkot, belanja di kakilima, yang tentu saja menyebabkan jalanan macet.
Meski saat ini sudah era perbankan modern, sistem penggajian di Kahatex masih sangat primitif. Karyawan menerima upah tunai setiap dua pekan sekali. Ada gula ada semut. Karena memegang uang saat keluar pabrik, jalanan di sekitar pabrik Kahatex pun tak ayal dipenuhi pedagang kakilima yang menjajakan makanan, minuman, pakaian, pulsa, hingga perabot rumahtangga.
Namanya kakilima, mereka menguasai tidak hanya trotoar, namun juga seperempat badan jalan. Ditambah angkot dan bus yang ngetem menunggu karyawan pabrik, kemacetan pun bisa berlangsung berjam-jam dan mengular bahkan hingga pintu tol Cileunyi sekira 5 kilometer dari pabrik.
Macet saja? Tidak hanya itu. Pedagang Kakilima di kawasan Kahatex juga sama saja tabiatnya dengan pedagang liar kebanyakan, membuang sampah seenaknya. Silakan tengok jam-jam setelah bubaran karyawan pabrik, sepanjang area dipenuhi tumpukan aneka macam sampah. Saat hujan tiba sampah itu semuanya hanyut dan menyumpal saluran air dan menyebabkan banjir.
Pergerakan manusia yang begitu banyak pada tiga shift pabrik dan deretan pedagang kakilima serta angkutan umum ngetem menyebabkan lalulintas macet parah. Saat musim hujan tiba banjir pun terjadi karena hak asasi air untuk sekadar numpang lewat dirampas sampah yang dibuang semena-mena oleh manusia di sana. Banjir dan macet pun tak terelakkan. Itu terjadi setiap hari setiap bulan setiap tahun.
Tidak terhitung kerugian yang ditanggung masyarakat, terutama para pengguna jalan yang harus merelakan waktunya terbuang sia-sia didera kemacetan. Ada yang dalam perjalanan liburan, ada yang sekadar mau pulang atau berangkat kerja, ke sekolah, pulang kampung, ada pula yang tengah meregang nyawa dalam perjalanan ke rumahsakit. Menyedihkan...
Pemerintah tahu? Tentu saja. Mulai dari Pemerintah Kabupaten Sumedang di sebelah utara jalan, Pemerintah Kabupaten Bandung di seberangnya, serta Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahu persis masalah ini. Mereka yang berkuasa di daerah ini sejak rezim Soeharto hingga kini rezim Jokowi pun tahu apa akar masalah macet dan banjir di kawasan Kahatex, Rancaekek ini.
Namun hingga tulisan ini dibuat tidak ada upaya konkret untuk membenahinya. Bukan mereka tidak mampu. Bukan sama sekali. Akan tetapi karena mereka tidak mau. Kalau mau, mudah bukan? lha, akar masalahnya saja sudah terang benderang begitu. Dan bukti mereka mampu pun ada...
Lihat kalau mau musim mudik Lebaran, karena volume kendaraan meningkat pedagang kakilima pun ditertibkan. Aparat berjaga di sana. Selama dua pekan sebelum dan sesudah musim mudik Lebaran jalanan bisa bebas dari pedagang kakilima. Macet parah pun sedikit berkurang. Ini satu bukti, Pemerintah, Aparat Berwajib ternyata mampu menertibkan yang tidak tertib.
Sayangnya setelah itu keadaan dikembalikan seperti semula. Saya katakan sekali lagi, setelahnya KEADAAN DIKEMBALIKAN SEPERTI SEMULA. Jadi, ketertiban dan keteraturan ternyata bisa diciptakan, kalau mau. Demikian pula sebaliknya, mereka mampu dan mau melestarikan banjir dan kemacetan entah untuk apa.
Yang lucu, setiap musim banjir dan macet tiba di kawasan Kahatex, para pejabat baik di pemerintahan maupun di DPRD ramai berwacana di media massa tentang akar masalah dan usulan solusinya. Setiap tahun pula semuanya lewat hanya sebatas wacana.
Di tengah masyarakat pun kondisinya sami mawon. Setiap musim banjir dan macet tiba seperti sekarang ini (Desember 2014), mereka kembali melontarkan sumpah serapah tapi --lagi-lagi-- tidak ada yang peduli. Mereka kembali mengeluh baik lisan di jalanan maupun di media massa dan media sosial. Namun seperti angin sepoi-sepoi di Bukit Kintamani, keluhan dan caci maki mereka sekadar berembus sejuk di telinga para pihak yang mestinya bertanggungjawab.
Sungguh bikin kelu hati. Mengapa banjir dan macet di kawasan Kahatex seakan dilestarikan? Apakah karena kuatnya tarik menarik aneka kepentingan dan uang di sana? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Ebiet G.Ade). (efh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H