Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Keadilan Gender bagi Aktivis Kampus Itu Omong Kosong

8 Mei 2024   09:23 Diperbarui: 8 Mei 2024   09:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar:https://dp2pa.luwuutarakab.go.id

Bagi seorang mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan terlebih organisasi eksternal yang berbasis nasional seperti HMI, PMII, IMM, GMKI, PMKRI, GMNI, dan KAMMI pasti sudah tak asing dengan kajian keadilan gender dan feminisme, apapun sebutannya yang jelas saya yakin dalam setiap organisasi tersebut pasti ada bidang atau departemen khusus keperempuanan.

Seperti di HMI yang ada Kohati, di PMII ada Kopri, Immawati di IMM, juga organisasi lainnya yang sadar akan keadilan gender, pasti ada wadah khusus untuk pengembangan potensi perempuan, meski sesekali ini juga menimbulkan perdebatan. Bahwa pembentukan bidang khusus perempuan dianggap bentuk ketidaksetaraan terhadap perempuan sendiri, karena seharusnya baik laki-laki maupun perempuan berkreativitas dalam wadah yang sama dengan kesempatan yang sama.

Untuk menjaga keberlangsungan regenerasi organisasi maka, lumrah diadakan yang namanya kaderisasi, seperti di PMII namanya MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), kaderisasi ini dilakukan mulai dari tingkatan rayon (fakultas) hingga komisariat (kampus). Untuk jenjang atau tingkatan kaderisasi di PMII sendiri ada empat tahapan, yaitu Mapaba, PKD (Pelatihan Kader Dasar), PKL (Pelatihan Kader Lanjutan) dan PKN (Pelatihan Kader Nasional).

Faktanya, dalam setiap proses kaderisasi baik yang diadakan oleh organ internal maupun organ eksternal mengenai pengamalan keadilan gender itu omong kosong. Berdasarkan pengalaman saya sendiri di kampus saya yaitu kampus Untirta, setiap ada kegiatan yang selalu menjadi panitia konsumsi adalah perempuan, jarang laki-laki dimasukan dalam seksi komsumsi seringnya mereka di bagian Pubdekdok, logistik, humas, sekretaris dan ketua pelaksana.

Sehingga urusan perperutan dan perdapuran tetap saja perempuan, terlebih jika di organisasi eksternal yang seringnya kekurangan dana, maka sebagian besar untuk konsumsi tidak selalu cukup untuk membeli nasi bungkus, jadi seringnya membeli bahan mentah dan memasak sendiri oleh panitia konsumsi. Sudah jelas kan siapa yang "dipercaya"? tentu saja anggota perempuan.

Ironisnya, ketika sebagian kecil perempuan sibuk masak, badan keringetan, baju bau bawang, muka berminyak, disebelah ruangan, tengah berlangsung materi studi gender, tapi ternyata itu hanya sebatas materi saja tapi tidak pada tahap implementasi, wong ketika ada para senior saja yang datang sebagai tamu undangan dan yang membuat kopi masih juga perempuan yang "diminta" tolong.

Sementara para laki-laki? wah mereka sibuk menemani "ngobrol" para senior. Sesekali sambil "ngecap" ke senior yang sudah jadi Anggota Dewan misalnya, siapa tahu ada proyekan kecil-kecilan dan bisa di ajak. Kebanyakan ingin tampil di depan layar, karena bisa terlihat. Jarang yang mau di tempatkan di belakang, bahkan seringnya mereka yang di dibelakang ini memang tidak dikenali, padahal yang paling banyak kerja-kerja justru mereka inilah.

Saya sendiri termasuk orang yang tidak terkesan jika ada senior atau sesama anggota yang punya kedudukan tertentu katakanlah Ketua Bem fakultas atau bahkan Ketua Bem Kampus (Presma), atau senior yang telah jadi Pejabat Politik, jadi ASN di Kementerian Pusat misalnya.

Karena jika tolak ukur sense of belonging terhadap organisasi itu adalah seberapa mereka mau berkorban untuk organisasi yang jelas bukan soal materi semata tapi juga kehadiran untuk berjuang bersama. Sedangkan mereka yang hanya hadir di saat momen tertentu saja (special moment) maka saya tidak terkesan sama sekali.

Belum lagi soal jaringan atau link dari para senior yang biasanya hanya memilih orang-orang yang kebanyakan ngecap di depan padahal tidak ada kerjanya di organisasi, mereka adalah yang hadir saat momen penting saja, tapi tidak mau ikut mengurus organisasi, merawat kader, menjaga keharmonisan antar anggota, bahkan pekerjaan yang dianggap sepele seperti melipat surat undangan dan mengantarkan surat undangan saja mereka tidak pernah dan tidak mau.

Tapi ketika salah seorang senior punya "proyek kecil-kecilan" mereka yang diikut sertakan, yah sudah biasa memang begitu. Belum lagi jika momen pemilu raya, seringnya yang terpilih untuk maju sebagai calon di organ internal untuk menjabat ketua HMJ, DPM, BEM adalah mereka yang popular tapi kadang minim pengalaman soal kerja-kerja organisasi, atau mereka yang ikut organ eksternal itu hanya sebagai sarana untuk mengantarkan mereka menuju kekuasaan internal lalu setelah di dukung, di dorong dan terpilih lupa pada rumah.

Bahkan saat momen konsolidasi antar organ, sebelum tahapan koalisi, jarang sekali perempuan dilibatkan untuk melakukan "obrolan-obrolan" dibalik layar. Seringnya hanya diberitahu ketika sudah terjadi kesepakatan yang lebih mirip pengumuman ketimbang musyawarah.

Jadi, untuk urusan hubungan eksternal selalu saja yang melakukan para laki-laki. Alasannya? karena perempuan tak kuat bergadang, kasihan kalau pulang malam, kasihan karena kena asap rokok. Ah lagi-lagi diskusi berpanjang lebar soal kegenderan itu omong kosong!

Padahal pada saat konsolidasi lah momen penting untuk berdiplomasi, melakukan kesepakatan politik itu terjadi, namun hanya dilakukan dan diketahui oleh laki-laki. Jadi, perempuan tak cukup dipercaya untuk bisa beradu gagasan dengan para punggawa tiap organ itu. Sudahlah, memang patriarki kan begitu, para perempuannya sendiri nyaman dengan status quo, sehingga tidak berani mempertanyakan apalagi mengejar jawaban dan memperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun