Tapi ketika salah seorang senior punya "proyek kecil-kecilan" mereka yang diikut sertakan, yah sudah biasa memang begitu. Belum lagi jika momen pemilu raya, seringnya yang terpilih untuk maju sebagai calon di organ internal untuk menjabat ketua HMJ, DPM, BEM adalah mereka yang popular tapi kadang minim pengalaman soal kerja-kerja organisasi, atau mereka yang ikut organ eksternal itu hanya sebagai sarana untuk mengantarkan mereka menuju kekuasaan internal lalu setelah di dukung, di dorong dan terpilih lupa pada rumah.
Bahkan saat momen konsolidasi antar organ, sebelum tahapan koalisi, jarang sekali perempuan dilibatkan untuk melakukan "obrolan-obrolan" dibalik layar. Seringnya hanya diberitahu ketika sudah terjadi kesepakatan yang lebih mirip pengumuman ketimbang musyawarah.
Jadi, untuk urusan hubungan eksternal selalu saja yang melakukan para laki-laki. Alasannya? karena perempuan tak kuat bergadang, kasihan kalau pulang malam, kasihan karena kena asap rokok. Ah lagi-lagi diskusi berpanjang lebar soal kegenderan itu omong kosong!
Padahal pada saat konsolidasi lah momen penting untuk berdiplomasi, melakukan kesepakatan politik itu terjadi, namun hanya dilakukan dan diketahui oleh laki-laki. Jadi, perempuan tak cukup dipercaya untuk bisa beradu gagasan dengan para punggawa tiap organ itu. Sudahlah, memang patriarki kan begitu, para perempuannya sendiri nyaman dengan status quo, sehingga tidak berani mempertanyakan apalagi mengejar jawaban dan memperjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H