Stereotipe masyarakat mengenai gender adalah laki-laki maskulin dan tentu perempuan itu feminin.Â
Masyarakat cenderung mempersepsikan bahwa gender itu kodrat, padahal gender terbentuk melalui konstruksi lingkungan dan dapat dipertukarkan. Sedangkan yang jelas merupakan kodrat adalah jenis kelamin.
Selama ini stigma gender yang berkembang dalam masyarakat adalah laki-laki berperan di ranah publik dan perempuan di ranah privat.Â
Ditambah dengan kuatnya budaya patriarki sehingga apabila ada perempuan atau laki-laki yang bersikap antitesis dari stigma tadi maka dianggap tidak normal.
Untuk itu perlu adanya dekonstruksi mengenai pemahaman gender dan bedanya dengan kodrat (jenis kelamin dan proses biologis).
Seperti kata Derrida, bahwa dekonstruksi sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran atau kesimpulan yang baku. Dimana dekonstruksi ini menjadi strategi dalam pembongkaran teks atau pembalikan demi mempertanyakan kembali kontruksi yang ada.
Salah satunya yang sering mengganjal di hati saya adalah stigma negatif yang kerap melekat pada perempuan yang cenderung bersikap atau berpenampilan maskulin. Yang sering dikenal dengan istilah "tomboy" atau dalam bahasa psikologi disebut sebagai "androgini".
Perempuan berpenampilan  maskulin (tomboy atau androgini) sering diasosiasikan dengan penyimpangn orientasi seksual seperti lesbi, padahal itu persepsi yang keliru.
Sebagai contoh, kita bisa melihat dalam film "get merried dan Heart" yang kebetulan keduanya dibintangi oleh aktris berbakat Nirina Zubir.Â
Dalam kedua film tersebut Nirina berperan sebagai perempuan tomboy (maemun dan rahel), tapi dalam film itu menunjukan meski penampilan dan sikap Nirina maskulin tapi dia perempuan normal seutuhnya yang tertarik dan jatuh cinta pada laki-laki.
Perlu adanya pemahaman bahwa perempun tomboy atau androgini berarti bahwa seseorang memiliki karakteristik secara psikologi feminin dan maskulin. Artinya, menolak asumsi tradisional bahwa maskulin itu baik bagi laki-laki dan feminin itu baik bagi perempuan.
Beberapa hari yang lalu saya mencoba bertanya kepada beberapa kawan laki-laki untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka terhadap perempuan yang berpenampilan maskulin.Â
Ada yang merespon cukup baik dan memberikan jawaban jujur ada yang bahkan hanya diam mengabaikan, kurang kooperatif.
Hasilnya, sebagian besar kebanyakan laki-laki memberikan jawaban bahwa mereka kurang nyaman melihat perempuan berpenampilan maskulin meski mereka mengakui  bahwa itu adalah hak pribadi dan juga bagian dari gender.
Artinya, stereotipe maskulinitas dan feminitas erat kaitannya dengan jenis kelamin (kodrat) dan bukannya gender (peran sosial-kultural) masih mengakar kuat.Â
Tentu saja ini juga bagian dari budaya patriarki dimana masih menjunjung tinggi "ego maskulinitas" hanya milik laki-laki.Â
Yang mana laki-laki identik dengan kuat baik secar fisik maupun mental, tegas, dan penguasa ranah publik. Dan perempuan identik dengan lemah, lembut, letih, lesu dan  lunglai (ini istilah saya saja sih).
Dampak dari kurangnya simpati terhadap perempuan berpenampilan maskulin ini menyebabkan mereka kadang terkucilkan dalam lingkup masyarakat.
Bahkan, kadang meski secara pergaulan laki-laki menghargai mereka tapi justru karena mereka dianggap bukan sebagai perempuan, padahal mereka perempuan seutuhnya yang juga menyukai laki-laki.
Entah siapa yang memulai menjenis-kelaminkan pakaian bahwa celana dan kemeja itu untuk laki-laki. Dan rok atau gamis itu untuk perempuan.Â
Saya tidak ingin berdebat soal dalil agama, kesimpulannya maskulin dan feminin itu bukan kodrat tapi gender, bisa dipertukarkan seiring perkembangan sosial-budaya.Â
Seperti olahraga sepak bola contohnya, yang identik dengan laki-laki sekarang sudah ada sepakbola perempuan, kan tidak lucu kalau mereka lari-lari pake rok atau gamis.
Wallahu'alm Bishowab
Bebas untuk tidak sepakat
Cilegon, 06 oktober 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI