[caption id="attachment_209887" align="aligncenter" width="412" caption="Ilustrasi/ Admin (Sumber: http://budisansblog.blogspot.com)"][/caption]
Nampaknya persaingan menulis di koran semakin ketat beberapa tahun belakangan ini. Agresifitas ditunjukkan oleh beberapa kalangan, antara lain: akademisi, peneliti, pengamat, mahasiswa dan masyarakat umum yang memang berprofesi sebagai penulis. Dari beberapa kelompok tadi, akademisi menunjukkan dominasinya dalam ranah penulisan di koran. Hal ini tak lepas adanya stimulus dari Diknas yang memberi kredit poin buat kenaikan pangkat (dan tunjangan) bagi kalangan akademisi (dosen) untuk menulis di koran. Gejala itu mulai nampak 4-5 tahun belakangan. Akibatnya rubrik-rubrik di koran pada kurun waktu ini nyaris dikuasai oleh kalangan dosen. Bagi para dosen, menulis di koran jelas mendatangkan dua keuntungan sekaligus, yaitu honor menulis dan kredit poin untuk kenaikan pangkat. Trend kepenulisan sekarang dikuasai oleh para akademisi. Akibatnya, muatan tulisan (OPINI) sekarang nyaris seperti bahan perkuliahan di ruang kuliah. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana tema dan konten tulisan lebih variatif. Hingga tahun 90-an begitu banyak kalangan dengan beragam profesi yang menulis di koran. Justru saat itu kalangan akademisi tak begitu banyak yang tertarik menulis di koran. Saat itu kepenulisan di koran didominasi seniman, budayawan dan mahasiswa.
Tak bisa dipungkiri, dibanding jaman dulu, persaingan penulis agar tulisannya dimuat koran, sekarang ini super ketat. Terkadang itu memunculkan tujuan menghalalkan cara. Ada beberapa akademisi dan pejabat tertentu yang mempush agar namanya nongol terus di koran ternyata memakai jasa "penulis hantu". Honor diberikan kepada "sang hantu" bahkan masih dikasih honor tambahan dari sang pemesan.
Ada juga yang agresif menulis di koran , dengan motif popularitas dan mungkin juga honor. Terkadang si penulis saking agresifnya hingga menabrak rambu-rambu redaksi koran. Salah satunya dengan mengirim artikelnya ke lebih satu koran. Ini dikenal dengan istilah "artikel ganda". Bagi penulis demikian ada sanksi yang bakal diterima, yakni black list dari koran yang dimadukan (diduakan). Black list bisa bersifat ringan, lamanya 6 bulan, hingga yang berat tanpa batasan waktu (tergantung belas kasihan redaktur). Meski ada sanksi demikian, tak membuat penulis yang punya kebiasaan buruk (mengirim artikelnya di lebih satu koran) menjadi jera.
Dua hari lalu (29 Agustus 2012) saya mendapati adanya artikel ganda (satu artikel untuk beberapa koran) di dua koran nasional sekaligus! Hebatnya, artikel ganda itu itu muncul di hari yang sama (29 Agustus 2012).
Dua koran yang menjadi korban artikel ganda itu adalah KORAN TEMPO dan Jawa Pos. Penulis artikel ganda di dua koran nasional tersebut adalah Jusman Dalle.
Di Opini KORAN TEMPO tanggal 29 Agustus, Jusman memberi judul tulisannya: Menjaga Pesona Desa. Sedang di opini Jawa Pos tanggal 29 Agustus, judul tulisannya: Studi Banding Desa Masa Depan.
[caption id="attachment_209889" align="aligncenter" width="412" caption="Ilustrasi/ Admin (Sumber: http://budisansblog.blogspot.com)"]
Artikel ganda itu mengkritisi kunjungan dinas Pansus RUU Desa DPR ke Brasil tanggal 26 Agustus 2012.
Secara kronologis dari tanggal kejadian yang menjadi tema tulisan dan tanggal pemuatan sepertinya ada kesengajaan penulisnya sedari awal untuk mengirim artikel tersebut ke lebih satu koran.
Pada akhirnya, kita lihat saja reaksi KORAN TEMPO dan Jawa Pos, apakah sanksi yang akan diberikan kepada Jusman Dalle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H