Kini aku terjebak terlalu jauh kepada hal yang bersifat supra natural, klenis  bahkan menjurus kepada syirik.  Benar, rasa penasaranku telah menjebakku menjadi  bagian dari takhayul itu sendiri.
Aku paksakan  memulai pagi dengan cerah. Dua botol air putih langsung saja aku teguk sampai habis seperti anjuran orang-orang.
Aku  menikmati diri dalam ruang mandi seperti biasanya. Tak ada pelepasan. Suasana kembali membosankan. Menarik diri  dari kegalauan selama ini dari  ruang terdahulu selalu saja gagal. Aku kembali menikmati siksa pagi.
"Oi lepaslah.....lepaslah...bangsat",
Aku memaki tembok, sikat gigi, cermin, bak mandi dan lobang WC. Semuanya begitu  menyiksa.  Suara gemericik air mestinya menjadi sumber pencerahan diri, kembali menusuk-nusuk pikiranku.
"Kemelut",
"Tentu, tapi mestinya diolah terus hingga menjadi enak, menjadi nikmat, tanpa beban,  dan lepas begitu saja....terus memulai dari  baru lagi... tak ada sisa pelepasan esok... besok...tetaplah besok...bukan hari ini,  jika tidak begitu, nikmatilah ketergilasan  oleh waktu".
Aku mencoba mengingat-ngingat kata-kata motivasi diri. Aku harus menghargai waktu. Karena waktu seperti roda  buldozer yang  berputar cepat, kapanpun bisa menggilas siapa saja yang dihadapinya. Artinyanya, tak ada waktu  untuk tak memanfaatkan waktu.
Pagi masih menyisakan semangat serta beban. Tapi aku  tetap mencoba melepas beban. Meninggalkan ruang mandi  dengan semangat  baru.  Menghirup udara pagi yang tersisa.Â
Segelas kopi  dan berita  pagi  tetap harus berubah  menjadi ruang penuh warna.  Kemarin adalah tetaplah seperti dokumen, kapan-kapan akan dibuka jika dibutuhkan. Jika tidak, biarlah menumpuk  di gudang bacaan atau  terbuang percuma di toilet umum.
 Jambi, Juni 2003