Minggu, 11 Agustus 2019 ini terasa betul  perbedaan yang aku rasakan dari tahun-tahun sebelumnya. Peringatan hari raya Iduladha atau Idul Kurban, yang harusnya kutekuri dengan syahdu mengenang pengorbanan Nabi Ibrahim AS kala berhasil memegang teguh keimanannya kepada Allah SWT dengan menunjukkan keiklasannya untuk mengorbankan putra satu-satunya (Ismail AS), kini tidak bisa kurayakan dengan gempita lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Musibah lingkungan kembali menimpa kota ini. Kepungan asap terasa begitu menyesakkan dada. Menghalangi kami merayakan Iduladha dengan sempurna, terutama kekhusyukan shalat Iednya, begitupun dengan ritual penyembelihan hewan kurban seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pekanbaru, kota yang menjadi tempat tinggalku, adalah Ibu kota provinsi Riau yang pernah di kenal dengan ekspor asapnya hingga ke negeri Jiran sana. Memalukan sebetulnya, tapi apa mau di kata.Â
Bukan hanya TKW yang mereka kenal dari Indonesia saat ini, tapi asap pun sudah menjadi hal yang membuat mereka ingat ketika mendengar nama negara dengan populasi hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018 ini.Â
Hal terakhir inilah yang pernah membuat pemerintah Singapura ingin turun tangan membantu mengatasi masalah asap yang seperti tak berkesudahan ini. Ya, mungkin saja di mata mereka saat ini Indonesia sudah terlanjur dikenal dengan dua hal ini, TKW dan asap. Ah, miris sekali.
Sebetulnya, suasana mencekam di Pekanbaru, Ibu kota provinsi Riau ini telah kurasakan sejak tadi malam. 10 Agustus 2019. Tak terdengar kumandang takbir keliling dari anak-anak yang biasa memenuhi jalanan, satu hal yang sebetulnya menjadi penanda Iduladha akan tiba.Â
Sebuah momen yang kurindukan berulang, bukan aku saja, mungkin tetanggaku, juga warga Pekanbaru lainnya juga ikut menantikan saat-saat takbir keliling itu di kumandangkan.
Sunyi, sepi, mengiringi malam takbiran tahun ini. Kami seolah harus manjadi tumbal, akibat kabut asap yang menutupi setiap jengkal udara kota kami. Tak lama setelah kebakaran hutan kembali melanda provinsi ini.
Terkait sesaknya udara kota ini. Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru telah mengeluarkan surat edaran tertanggal 07 Agustus 2019 dengan Nomor surat : 443.33 / Dinkes -- P2P / tentang  Tindakan Pengamanan Dampak bahaya Asap.  Salah satu pointnya adalah menghimbau agar warga kota Pekanbaru kususnya mengurangi aktifitas di luar gedung / Ruangan. Dan, menurutku inilah yang  menjadi salah satu alasan kenapa anak-anak tidak ada yang melakukan kegiatan takbir keliling seperti biasa, takut sesak nafas. Jadilah malam takbiran semalam, terasa begitu sunyi tidak seperti tahun-tahun yang sebelumnya. Hanya sayup takbir  bergema dari beberapa musholla.
![surat edaran. (dok. pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/11/surat-edaran-dinas-kesehatan-kota-pekanbaru-5d4fd456097f3658605887b2.jpeg?t=o&v=770)
Dampak langsung yang kurasakan adalah, mata terasa perih dan tenggorokan terasa kering saat sedang melakukan aktifitas kegiatan di luar ruangan. Seperti yang kurasakan tadi pagi. Saat sholat Iduladha.
Situasi semalam, suara takbir sayup-sayup masih terdengar dari Mushola yang berada tidak jauh dari tempat kediamanku saat ini. Â Saat itu notifikasi WhatsApp berbunyi beberapa kali, menandakan ada beberapa pesan masuk. Pukul 23.00 WIB kutengok penunjuk waktu di gawai.Â
Istri dan anakku telah tertidur pulas di dalam kamar, sementara aku masih terjaga di dalam rumah, dengan gawai di tangan menemani. Susah tidur, terasa tak nyaman dengan udara yang aku hirup saat ini.
Kubuka satu persatu pengirim chat, saling berbagi kabar terkini kondisi buruknya kepungan asap di luar rumah yang sama-sama kami rasakan saat ini.Â
Beberapa gambar dikirim oleh teman-temanku yang tinggal tidak jauh dari tempat terjadinya kebakaran hutan dan lahan itu. Mereka masih terus memberi kabar tentang perjuangan mereka di dalam memadamkan api, serta upayanya mencegah agar kebakaran yang terjadi di daerah mereka saat ini tidak sampai meluas ke tempat lainnya.
![kebakaran hutan (dok. pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/11/karhutla-yang-menjadi-salah-satu-penyebab-kabut-asap-di-provinsi-riau-iwan-5d4fd4ce097f3668cb079973.jpeg?t=o&v=770)
![kebakaran hutan (dok. pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/11/karhutla-yang-terjadi-di-kawasan-tntn-iwan-5d4fd4e0097f3674034e7072.jpeg?t=o&v=770)
Sebagaimana ditulis Detik.Com, Gubernur Riau Syamsuar mengimbau umat Islam berdoa minta hujan usai melaksanakan salat Iduladha. Dia juga meminta Kementerian Agama dan MUI segera menggelar salat Istisqa untuk meminta hujan.
"Untuk mengimbau (pada) salat Iduladha tanggal 11 Agustus 2019 atau 10 Zulhijah 1440 H besok, dimohon juga agar seluruh jamaah berdoa supaya Riau segera turun hujan," kata Asisten I Sekretariat Daerah Pemprov (Setdaprov) Riau, Ahmad Syah Harrofie, seperti dilansir dari Antara, Sabtu (10/8/2019).
Seperti diketahui, asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menyelimuti Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru menyatakan polusi asap atau jerebu tidak hanya menurunkan jarak pandang, karena sudah sangat mencemari udara ke status tidak sehat.
![tangkapan layar hasil AirVisual](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/11/kualitas-udara-yang-sudah-semakin-memburuk-di-kota-pekanbaru-hr-5d4fd50d0d8230435a52b802.jpeg?t=o&v=770)
Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Sumatra. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur Pulau Sumatra. Dengan nama ibu kota provinsinya adalah Pekanbaru.Â
Dan provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang berdasarkan Citra Satelit menunjukan sebagai salah satu wilayah yang pernah masuk ke dalam zona merah dari dampak kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terlihat hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
Riau merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat.Â
Penebangan hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78% pada 1982 menjadi hanya33% pada 2005. Dengan rata-rata 160,000 hektare hutan habis ditebang setiap tahunnya itu saat ini hanya meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada tahun 2009.
Pembukaan kebun-kebun kelapa sawit serta Industri pulp dan kertas diduga telah menjadi salah satu penyumbang kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun lamanya.
Berbanding terbalik dengan tema hari jadinya yang ke -- 62  tahun ini, yakni 'Riau Hijau dan Bermartabat'. Dengan tema itu harusnya, tak ada lagi perusakan terhadap hutan menyertai. Sebab unsur hijau sebagai ikon Riau adalah hutan. Alangkah tak layak mengumandangkan Hijau dan bermartabat, sementara lahan hijau terus saja diusik, dibabat, secara tidak bermartabat. Atau mungkin tema itu diusung sebagai satu upaya perjuangan melawan tangan-tangan kejam yang terus melakukan perusakan hutan? Semoga saja.
Sebagai salah satu masyarakat yang tinggal di provinsi ini. Saat melihat anak-anak sekolah diliburkan karena kabut asap, aku kembali bertanya pada diri sendiri. Sampai kapan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan terus menyelimuti kota ini? Harapan terlepas dari sesaknya  kabut asap terus kami dengungkan saat ini.Â
Meski dengan kenyataan, hari raya Iduladha atau Idul Kurban tahun Ini, kami masih Jadi Korban asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang masih saja terus terjadi di provinsi ini.
Pekanbaru, 11 Agustus 2019.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI