Bidadari kuning emas menatap pilu ke arah reruntuhan bekas kota tempat tinggalnya bersama para penyair dulu.
“Tidak! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi meninggalkanmu sendirian di tempat ini.”
“Dia akan dengan mudah membunuhmu di tempat ini Mas! Ini dunia-nya. Di dunia Syair ini kekuatanmu yang berasal dari dunia Cerpen itu tidak akan berguna sama sekali di tempat ini.
Dan saat ini tidak ada yang mampu mengalahkan kekuatan bait-bait syair kematian di dunia syair ini.”
“Demi engkau aku rela mati di tangan Pria Bertopeng di tempat ini.” Kata 1919 sambil menatap Pria Bertopeng yang masih terus berjalan mendekat ke arahnya.
Di ujung sana lubang besar berwarna hitam di tengah-tengah langit yang sudah terbelah itu terus menyedot benda apa saja yang berada di bawahnya.
“Sudah tiba saatnya sangkakala di tiupkan. Dan sudah tiba waktunya bahwa Bumi dan gunung-gunung akan di benturkan. Dan sudah di takdirkan hari ini langit terbelah menjadi dua bahagian. Telah tiba kematianmu di hari yang pernah di janjikan.”
Pria Bertopeng kembali membacakan bait-bait syair kematian.
Lubang besar yang mengeluarkan cahaya hitam itu terus bergerak mengikuti langkah kakinya.
“Siapa dia sebenarnya, kenapa dia ingin membunuh semua penyair di tempat ini?” Tanya 1919 setengah berbisik pada Bidadari kuning emas yang saat ini tengah memeluk erat tubuhnya itu.
“Dahulu dia hanyalah penyair biasa, tetapi semenjak syair-syair-nya itu di rasuki roh Dewi kematian pada saat gerhana bulan di atas bukit cinta. Saat ini bait-bait syair miliknya itu berubah menjadi bait-bait yang begitu menakutkan.