****
“Sudah tiba saatnya sangkakala di tiupkan. Dan sudah tiba waktunya bahwa Bumi dan gunung-gunung akan di benturkan. Dan sudah di takdirkan hari ini langit terbelah menjadi dua bahagian. Telah tiba kematianmu di hari yang pernah di janjikan.”
Di antara debu-debu yang beterbangan dari puing-puing bekas reruntuhan bangunan, pandangan mata 1919 tertuju ke arah sosok pria yang baru saja berbicara sambil menatap tajam ke arahnya itu.
Di tempat 1919 berdiri, saat ini Bumi masih berguncang hebat di iringi tiupan angin yang baru saja menumbangkan pohon-pohon kehidupan.
“Mas, lariii!” Pekikan Bidadari kuning emas mengagetkan 1919, tatkala dia tengah menatap semburat cahaya hitam pekat dari lubang besar di atas langit yang terbelah.
Dari atas reruntuhan sisa-sisa gedung pencakar langit, di antara debu-debu yang masih beterbangan, 1919 kembali menatap sosok Pria Bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam di antara pekikan Bidadari kuning emas yang memintanya untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.
“Siapa dia?” Tanya 1919 kepada Bidadari kuning emas yang saat ini sedang berpegangan pada salah satu besi yang menyembul dari sisa-sisa reruntuhan gedung pencakar langit yang sudah tumbang akibat di terpa angin punting beliung itu.
“Dia adalah sang Pencabut Nyawa.” Pekik Bidadari kuning emas di antara suara gemuruh angin punting beliung di tempat ini.
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi di tempat ini?” Tanya 1919 pada sosok wanita cantik yang memakai kerudung dan pakaian berwarna kuning emas itu sambil melihat sisa-sisa bangunan yang sudah tidak lagi utuh itu.
“Dia telah menghancurkan tempat ini dengan syair-syair kematiannya.” Kata Bidadari kuning emas sambil menunjuk ke arah Pria Bertopeng yang memakai pakaian serba hitam yang masih terus berjalan mendekat ke arahnya.
“Siapa dia sebenarnya, kenapa dia ingin menghancurkan dunia Syair ini?” Tanya 1919 lagi di antara suara gemuruh angin yang masih bertiup kencang di tempat ini.