Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Enam Belas Dua Puluh

5 Juli 2019   00:38 Diperbarui: 5 Juli 2019   07:46 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1620

Deretan angka terasa biasa bagi mereka, deretan angka yang biasa di temukan di mana saja,

bisa di tulis sembarang.

Tapi tidak bagi engkau dan aku, itu angka keramat

Tak berani mengutak-atiknya, biarlah tetap deretan angka seperti itu, jangan bertambah atau berkurang

Tersimpan cerita Indah di deretan angka itu.  Antara engkau dan aku.

Enam belas dua puluh tak lekang oleh waktu, terpatri dalam jiwa selamanya.


*****

Di atas bangku trotoar jalanan kota kelahiranmu, di mana aku dan engkau dulu pernah duduk berdua di tempat ini. Di bangku trotoar jalanan kota kembang, di antara desiran suara angin yang menggugurkan dedaunan, saat itu sambil menggengam jemari tanganku, engkau kembali berbisik di telingaku, "Mas, aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku, karena tanpamu di sampingku, aku begitu rapuh."

Dan bangku trotoar kala itu menjadi saksi bersama senja, saat aku berbisik pelan di telingamu,"Aku menitipkanmu pada Tuhanku, untukmu aku pasti kembali."

Di antara keramaian kota yang pernah menjadi tempat kelahiranmu, di antara tatapan mata orang-orang yang lalu lalang di depanku, saat ini pun aku masih seperti sedang duduk berdua denganmu di bangku  ini. Semua kenanganku bersamamu masih terlihat jelas di mataku. Tubuhku berada di tempat ini, tapi hati dan pikiranku saat ini terbang bersama semua kenanganku bersamamu di enam belas dua puluh yang telah lalu.

"Berjanjilah," pintamu pelan, setengah berbisik di telingaku.

"Berjanji untuk apa?" tanyaku sambil menatap paras cantik wajahmu.

"Berjanjilah padaku, bahwa apapun yang akan terjadi, Mas tidak akan pernah meninggalkanku."

"Iya, Aku berjanji." jawabku pelan, sambil tersenyum menatap mata indahmu.


Di enam belas dua puluh, sebelum berpisah denganku, engkau kembali menangis sesegukan di bahuku.

"Kenapa engkau menangis? Apa engkau menyesal, telah bertemu denganku di tempat ini?" tanyaku sambil mengusap air matamu.

"Tidak! Aku bahagia, bahkan, saat ini aku masih seperti bermimpi. Hingga detik ini pun aku masih seperti tidak percaya, bahwa engkau dan aku telah menyatu di tempat ini." Jawabmu, sambil berusaha menahan tangismu.

"Begitupun aku," bisikku pelan, sambil kembali mengecup lembut bibirmu.

"Jika ini adalah mimpi, aku tidak ingin terjaga saat ini." katamu pelan, sambil menatap sendu ke arahku.

"Tidak! Ini nyata. Rasakan debar jantungku, rasakan hangat tubuhku, rasakan hembusan nafasku di wajahmu." kataku berusaha meyakinkanmu, sambil meletakan jemari tanganmu di dadaku.

"Apakah setelah ini kita akan kembali bertemu?" tanyamu masih bimbang, sambil menatap wajahku.

"Aku tidak tahu," jawabku sambil menatap kedua bola matamu, tiba-tiba matamu kulihat kembali berkaca-kaca saat mendengarkan jawabanku itu.

"Mas, jangan tinggalkan aku." Katamu lirih, sambil kembali memeluk erat tubuhku.

"Tubuhku dan tubuhmu boleh saja terpisah oleh jarak dan waktu, tapi tidak dengan hati dan rasa ini. Karena saat ini, rasaku dan rasamu telah menyatu. Engkau ada karena aku, dahulu aku pernah meminta hadirmu untuk menjadi pendamping hidupku. Begitupun dengan keberadaanku saat ini di sisimu, aku ada di sini karena engkau meminta pada Tuhan-mu untuk menghadirkan aku di tempat ini." kataku pelan, sambil kembali mengecup lembut keningmu.

Engkau tumpahkan semua rasamu padaku, dan di enam belas dua puluh, akhirnya aku tahu, ternyata engkaupun memiliki perasaan yang sama denganku. 

Di hadapan Tuhanku dan Tuhanmu, ketika cinta kita kembali menyatu. Di antara tangismu yang pecah di bahuku, aku kembali berkata padamu; "Aku mencintaimu karena Tuhanku."

Di antara derasnya air hujan yang mengguyur kota kelahiranmu, di saat suara tangisanmu kembali pecah di bahuku. Sambil menatap mata sendumu, saat itu aku kembali berkata padamu; "Aku tidak perduli dengan semua masa lalumu. Dan mulai saat ini aku ingin memiliki lahir batin-mu, hilangkanlah semua keraguanmu tentangku."

Dan di enam belas dua puluh, aku dan engkau akhirnya tahu, ternyata engkau adalah Hawa-ku dan aku adalah Adam-mu. 

Saat kita kembali menyatu. Tidak ada lagi rahasia di antara kita. Rahasiamu adalah rahasiaku, sakitmu adalah sakitku dan kenikmatan-mu adalah kenikmatan-ku.

"Walaupun tubuh ini tidak sepenuhnya menjadi milikmu, tapi rasa dan hatiku adalah milikmu seutuhnya. Begitupun hati dan rasamu. Saat ini engkau milikku dan selamanya akan tetap menjadi milikku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Walaupun kelak tubuh ini tidak lagi ada di sisimu, tapi hati dan rasaku akan selalu bersamamu. Dan jika suatu saat engkau merindukanku, ingatlah; bahwa di enam belas dua puluh ini engkau dan aku pernah menyatu." kataku sambil mengusap air mata di pipimu.

Enam belas dua puluh adalah saksi bisu ketika Adam dan Hawa kembali bertemu. Aku adalah Adam-mu dan engkau adalah Hawa-ku.

Wahai Hawa-ku, lihat aku. Lihatlah wajahku, wajah yang akan selalu tersenyum  mengiringi setiap langkahmu. Engkau adalah bidadari kuning ke-emasanku. Sembilan puluh sembilan hari, sembilan belas jam sembilan belas detik adalah waktu yang aku butuhkan untuk meluluhkan hatimu.

"Apakah Mas mencintaiku seperti aku mencintai Mas saat ini?" Tanyamu saat itu sambil meneguk kopi susu yang sengaja kuseduhkan kusus buatmu.

Sang Waktu melihatmu, saat engkau kembali meneguk kopi susu buatanku itu secara perlahan-lahan sambil menatap kedua mataku. 

Dan saat itu sambil menatap Sang Waktu, kembali ku cium pelan keningmu seraya berbisik pelan di telingamu; "Aku adalah cermin mu, dan engkau adalah cermin ku. Di masa lalu, aku adalah Adam-mu dan engkau adalah Hawa-ku, di Surga dahulu kita pernah menyatu. Dan saat ini, kita kembali di pertemukan Tuhan di tempat ini. Terimalah aku sebagaimana aku menerimamu. Di masa lalu aku tahu bahwa aku bukanlah yang pertama bagimu, tapi saat ini, aku ingin menjadi yang terakhir di masa kini dan menjadi bagian hidupmu di masa depan nanti."

*****

"Tuhan.., maafkanlah aku. Di dalam kesendirianku, saat inipun aku kembali mengingatnya. Maafkanlah aku yang belum bisa menjaga hati dan pikiranku ini hanya untukmu.

Tuhan.., aku takut engkau akan mengambil  dan kembali menjauhkan-nya dariku, karena aku tahu engkau Maha Pencemburu.

Tuhan.., aku yang hina ini hanya mampu memohon padamu, izinkanlah aku untuk belajar mencintainya karena engkau. Di enam belas dua puluh aku sadar, dahulu kami engkau pisahkan karena kami telah lalai terhadapmu.

Tuhan.., dia ciptaanmu, begitupun aku. Di dalam ke-esaanmu, izinkanlah aku yang hina ini belajar mencintaimu melalui perantara mahkluk ciptaanmu itu.

Tuhan..., dahulu di dalam Surga-mu kami adalah satu, sebelum engkau pisahkan kami dengan jarak dan waktu. Dan di masa kini, di enam belas dua puluh, atas izin-Mu kami kembali bertemu.

Tuhan.., aku mencintainya karena engkau, maka satukanlah dua hati yang terpisah oleh jarak dan waktu di masa lalu itu, di masa kini dan di masa depan nanti. Dan di tempat ini, di malam terakhirku di kota kembang ini, dengan nama-Mu, izinkan aku membawanya masuk ke alam keabadian cintaku pada-Mu."

-Sekian-

Kota Kembang, 26 Juni 2019

Catatan : Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni di enam belas dua puluh, pada detik-detik terakhir diskusi peluncuran buku puisi .....oleh Apriani Dinni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun