Bagian Dua Puluh Tiga
Seribu Nama Satu Makna
*
"Hai manusia, Sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya ALLAH Maha mengetahui lagi Maha mengenal." (SURAT :  AL  HUJURAAT  Ayat 13).
"Engkau percaya Tuhan[i] itu Esa?" tanyanya lagi padaku.
"Iya," jawabku yakin, walaupun sebenarnya aku sedikit bingung dengan ucapannya barusan. "Apa hubungannya sosok yang kulihat sedang duduk bersimpuh di puncak monas itu dengan Tuhan Yang Maha Esa?" pikirku sambil menatap wajah dingin, datar, dan tanpa rasa di sampingku ini.
"Apakah engkau percaya bahwa Tuhan yang dipanggil oleh umat lain selain dari Agama[ii] yang engkau yakini itu berbeda dengan Tuhan yang biasa engkau sebut ketika engkau sedang berdoa?" tanya Sang Waktu lagi.
"Tidak," jawabku yakin.
"Kenapa?" tanya Sang Waktu serius seraya menatap mataku dalam-dalam.
"Karena kalau aku memercayai Tuhan mereka berbeda dengan Tuhanku, maka sama saja artinya aku mempercayai bahwa Tuhan itu ada banyak. Lebih dari satu!" jawabku sambil kembali menatap wajah dingin, datar, dan tanpa rasa di sampingku itu.
Sang Waktu tersenyum mendengar jawabanku barusan. Ajaib sekali! Sekian lama aku berjalan melakukan petualangan ke banyak tempat dan waktu yang berbeda dengannya tidak sekali pun dia pernah tersenyum seperti itu padaku.
"Aku percaya, bahwa Tuhan, Sang Pencipta alam semesta ini, satu. Tidak ada Tuhan selain DIA. Dan, aku juga percaya, bahwasanya Dia memiliki banyak nama. Di setiap ajaran agama yang DIA turunkan melalui para utusannya ke muka bumi ini, para pemeluk dari masing-masing agama memiliki nama dan cara sendiri-sendiri untuk menyembahnya.
Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya. Atenisme pada zaman Mesir Kuno kemungkinan besar merupakan agama monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta alam semesta yang disebut Aten.
Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab Ibrani, dan "Tetragrammaton"Â YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan Yahweh atau Yehuwa kadangkala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil vokalisasi dari YHVH.
Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam.
Umat muslim mengenal 99 nama suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa Mesir Kuno, Aten).
Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan monoistis. Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam agama Baha'i, Waheguru dalam Sikhisme, dan Ahura Mazda dalam Zoroastrianisme.
Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal sifat, maksud, dan tindakan Tuhan telah mengarah pada munculnya pemikiran-pemikiran seperti omniteisme, pandeisme, atau filsafat Perennial, yang menganggap adanya satu kebenaran teologis yang mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda. Dengan demikian, sesungguhnya agama-agama di dunia ini menyembah satu Tuhan yang sama, tetapi melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya.
Begitupun dia!" kata Sang Waktu mengakhiri ucapannya sambil melihat ke arah sosok perempuan yang tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu.
"Akan tetapi, dia bukan Tuhan," katanya lagi buru-buru meneruskan ucapannya. Mungkin dia kuatir kalau-kalau aku akan menyangka, bahwa sosok  itu adalah Tuhan.
"Dia hanya sebentuk kekuatan yang diciptakan oleh Tuhan, yang memiliki banyak bentuk dan banyak nama di setiap kelompok atau orang-orang yang mempercayai akan keberadaannya," katanya lagi sambil kembali menatap mataku dalam-dalam.
"Menurutmu dia siapa?" tanyanya lagi padaku.
"Dia ciptaan Tuhan, dan juga hamba Tuhan sama sepertiku," kataku sambil menatapnya.
"Panggil dia kemari," katanya lagi padaku sambil menunjuk ke arah sosok  yang tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu.
"Aku harus memanggil apa padanya? Engkau tadi mengatakan dia memiliki banyak nama," kataku lagi pada Sang Waktu, karena aku ingat Sang Waktu mengatakan, bahwa sosok  yang tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu memiliki banyak nama.
"Panggilah dia dengan nama yang engkau yakini selama ini bahwa itu adalah namanya," kata Sang Waktu lagi tanpa menoleh ke arahku.
"Bagaimana cara aku memanggilnya dari sini?" tanyaku balik. "Puncak monas itu begitu jauh dari sini. "
Sang Waktu tersenyum menatapku, "Kalau engkau memanggilnya dengan mulutmu, mungkin tidak akan terdengar olehnya dari sana."
"Lantas aku harus memanggilnya pakai apa?" tanyaku lagi masih sedikit bingung. Karena kalau memakai handphone, aku tidak yakin  yang kulihat tengah duduk bersimpuh di puncak monas itu sedang memegang handphone. Lagipula, aku tidak memiliki nomor handphone-nya saat ini.
"Panggil dia dengan hati dan rasamu," kata Sang Waktu.
"Bagaimana caranya?" tanyaku bingung.
"Aku tidak tahu," jawabnya enteng seperti tanpa beban dan tidak merasa bersalah sedikit pun. Dia yang menyuruh aku memanggil perempuan itu malah bilang tidak tahu bagaimana cara memanggil dari tempat ini.
**
Tiba-tiba, sosok perempuan yang kulihat sedang duduk bersimpuh di puncak monas itu bangkit dari tempat duduknya, lalu perlahan turun dan berjalan di atas permukaan air laut laksana sedang berjalan di atas karpet merah. Begitu tenang dan anggun. Tidak terlihat basah apalagi tenggelam saat ujung kakinya menyentuh permukaan air laut yang tengah pasang dan sedikit bergelombang di sekitar tugu monas itu. Perempuan itu terus berjalan mendekat ke arah di mana aku dan Sang Waktu berada saat ini.
Sosok perempuan cantik yang awalnya terlihat berwarna kuning keemasan itu perlahan-lahan tampak berkebaya pengantin berwarna hijau daun dengan mahkota kecil di kepalanya.
Baca juga:Â Pernikahan Ghaib
***
Ia tersenyum simpul sambil menatapku yang saat ini seperti orang salah tingkah berdiri di hadapannya, dan di samping Sang Waktu yang menatap kami berdua tanpa ekspresi.
"Terimakasih telah membawanya kemari," katanya kepada Sang Waktu. Sang Waktu hanya menganggukan kepalanya.
Sebelum aku sempat berbicara sepatah kata pun, tiba-tiba saja perempuan itu menggenggam erat tangan kananku, lalu membawaku beranjak pergi dari hadapan Sang Waktu.
Dia tersenyum simpul melihat keraguanku memijak air laut di depanku yang tengah beriak di bekas reruntuhan Istana Negara itu.
Ajaib! Kakiku tidak basah apalagi tenggelam. Kedua kakiku seperti sedang memijak jelly yang terasa begitu kenyal.
Masih menggenggam tangan kananku, perempuan cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu berkata kepada Sang Waktu, "Tunggu kami 19 tahun lagi di sini."
Perlahan-lahan kami mulai meninggalkan Sang Waktu yang kulihat masih berdiri di atas salah satu puncak dari puing-puing reruntuhan Istana Negara.
Dari kejauhan Sang Waktu menganggukan kepalanya melihat kami berdua naik ke atas kereta kencana yang memiliki ukiran naga berwarna kuning keemasan dengan sepasang kuda berwarna putih penarik kereta kencananya.
Ajaib sekali! Kereta kencana bersama kudanya kulihat tidak basah apalagi tenggelam walau berdiri di atas air laut yang saat ini tengah bergelombang. Setelah aku dan Sang Ratu naik ke dalam kereta kencana, tiba-tiba saja air laut itu menyibak dengan sendirinya, dan kereta kencana itu terus berjalan melewati jalanan di antara air laut yang terbelah di bekas Taman Monumen Nasional yang menurut sejarah memiliki luas 80 hektare itu.
Dari dalam kereta kencana ini aku bisa melihat ikan dan penghuni laut lainnya. Laksana berjalan di dalam terowongan kaca. Masih terkagum-kagum dengan pemandangan di luar kereta kencana, aku berpaling ke arah perempuan cantik yang mengenakan kebaya pengantin berwarna hijau daun serta mengenakan mahkota kecil di kepalanya itu. Dia tampak berusia sekitar 27 tahun.
Kutatap wajahnya. Cantik sekali. Dia begitu mirip dengan perempuan berkulit sawo matang yang mengenakan kerudung bergo panjang warna merah marun.
"Kita mau kemana?" tanyaku pada wanita cantik yang saat ini tengah tersenyum menatapku itu.
- Bersambung -
Referensi
[i] Tuhan dipahami sebagai Roh Maha kuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Sumber :Â https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
[ii] Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Sumber :Â https://id.wikipedia.org/wiki/Agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H