Kualihkan pandanganku sambil berjalan menuju salah satu sudut bangunan yang sepertinya adalah bekas jendela. Aku berdiri di depan sisa-sisa daun jendela yang sepotong kacanya masih utuh melekat di bingkainya.
Pantulan bayangan Sang Waktu dan tubuhku tampak di situ. Tanpa sadar air mataku menitik. Negara besar itu kini sudah tidak ada lagi.
Seketika mataku melihat bayangan sosok pria tua berusia sekitar 79 tahun mengenakan kemeja lengan panjang berwarna coklat muda tengah berdiri. Ada seorang anak kecil di sampingnya. Anak itu kira-kira berusia 10 tahun!!
Terkejut, aku membalikan badanku menatap Sang Waktu yang tersenyum tanpa rasa ke arahku. Kembali aku menatap ke kaca. Bayangan wajah kecil itu memantul di pecahan kaca bekas jendela itu. Matanya menatapku!
Namun, "Kek, awas!!!".
"Booomm!!!"
Sedetik aku berpaling ke arah suara jeritan anak muda, yang barusan aku tahu, ia bernama Doni.
"Kek, lari! Selamatkan diri Kakek! Mereka sudah berhasil menguasai tempat ini!" dan suara itu terputus. Aku berlari memeluk tubuh yang tak lagi utuh.
Bersama perginya nyawa itu, aku meraung keras, "Tuhan, bukankah Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Mengapa engkau membiarkan anak-anak manusia ini saling membunuh antara satu dengan yang lainnya? Bukankah mereka adalah sama-sama ciptaan-Mu? Kenapa perang SARA ini harus terjadi?"
Sang Waktu bergeming menatapku. Sekali lagi, kutatap wajah Sang Waktu yang tanpa rasa memandang ke arahku dan ke arah jasad anak muda dalam pelukanku.
Ia memintaku berdiri dan mengajakku pergi. Aku pun berdiri mengikuti langkah Sang Waktu yang terus berjalan meninggalkan tempat ini.Â