Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku dan Sang Waktu

10 Desember 2018   22:22 Diperbarui: 11 Desember 2018   22:31 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Lima Belas

 Misteri Wanita di Puncak Monas

***


SAYUB-SAYUB,  telingaku mendengar suara seorang wanita yang sepertinya sedang melantunkan lagu dalam bahasa Aceh di tengah lautan, di antara tiang monumen peringatan setinggi 132 meter yang saat ini hanya terlihat "Api Nan Tak Kunjung Padam" di puncaknya itu, samar-samar aku melihat ada seseorang yang mengenakan pakaian berwarna hitam sedang duduk di atas sampan bergerak pelan mendekat ke arahku.

Kutatap wanita berjilbab hitam yang kulihat tengah duduk di atas sampan sambil memegang payung berwarna hitam yang perlahan mulai menjauh dari lidah api berlapis lembaran emas di tengah lautan yang menurut sejarah terbuat dari perunggu dengan ukuran tinggi 14 meter dan diameter 6 meter itu.

Di antara angin yang bertiup kencang, dari puncak salah satu bekas reruntuhan Gedung Istana Merdeka, aku memandang ke arah di mana dulunya tempat monumen itu berada, kutatap nyala api yang menurut sejarah terbuat dari perunggu yang dilapisi dengan lembaran emas seberat 35 kg itu.

Sekali lagi, kutatap wanita berjilbab hitam di atas sampan yang tadi kudengar melantunkan lagu dalam bahasa Aceh itu. Mendengar suara wanita berpayung hitam di atas sampan itu, entah kenapa aku jadi ingat, menurut lembar catatan sejarah yang pernah kubaca, dari lembaran emas seberat 35 kg di atas puncak Monas itu, 28 kg di antaranya adalah sumbangan dari Teuku Markam, salah seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya di Indonesia pada masa itu. 

Dan seingatku, pada perayaan 50 tahun kemerdekaan Indonesia 1995 yang lalu, lembaran emas itu kembali di lapisi ulang dengan lembaran emas baru, sehingga total lapisan emas nya saat ini menjadi 50 kg.

"Yang seharusnya menjadi tuntunan hanya di jadikan tontonan, agama yang seharusnya menjadi pegangan hidup malah di jadikan mainan. Aah..Dasar anak-anak nakal! Itulah jadinya. Jika agama dibahas dan di perdebatkan oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolahan." Kata wanita berjilbab hitam di atas sampan yang saat ini telah berada di depanku itu sambil menghela nafasnya.

Kutatap wanita berjilbab hitam yang memegang payung hitam di atas sampan dan kudengar tengah mengomel sendirian itu.

"Cepat naik.." katanya lagi. Sambil melihat ke arahku yang saat ini juga sedang melihat kearahnya itu. Jujur saja, walaupun sedikit asing dengan penampilannya, aku merasa senang melihat kehadirannya di tempat ini. Setidaknya, saat ini aku ada teman di tempat yang sejauh mataku memandang ini hanya ada Puncak Monumen dan deburan ombak di tengah lautan itu.

***

PERLAHAN, Sampan yang kunaiki mulai bergerak meninggalkan puing-puing bekas reruntuhan bangunan, yang menurut sejarah mulai di bangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal James Lindon pada 1873 dan baru selesai di bangun  pada 1879 masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsberge itu.

Pelan tapi pasti, sampan yang kunaiki mulai bergerak pelan menuju ke arah tempat di mana dulunya terdapat Taman Monumen Nasional yang menurut sejarah dulunya memiliki luas 80 hektare itu.

Kutatap air laut di sekitar Monas yang saat ini tengah bergelombang. Sambil menatap deburan ombak di depan, aku ingat, dulu di tempat ini pernah menjadi lautan manusia yang kala itu sempat menjadi perdebatan tentang berapa jumlah peserta aksinya. Saat itu, jumlah peserta aksi menjadi isu sensitive, berbagai pandangan yang berbeda diulas di dalam blog, maupun Facebook, hingga media massa dengan angka yang berbeda-beda. 

Kala itu, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang menjadi penyelenggara aksi mengklaim bahwa aksi itu di ikuti oleh 7,5 juta orang. Sementara sejumlah pakar menyampaikan analisanya. Mereka, menyebut jumlahnya hanya ada di kisaran 500.000 orang.

Lainnya berpendapat bahwa jumlah peserta aksi yang ikut berkumpul ditempat ini lebih dari 700.000 orang dengan berpegang pada ucapan polisi yang menyebut bahwa Monas bisa menampung sekitar 700.000 orang. Walau ada perdebatan bahwa jumlah itu adalah seluruh Monas (termasuk lapangan rumput) sedangkan dalam aksi yang terjadi kala itu, lapangan rumput tidak di gunakan.

Sambil sesekali memainkan air laut di pinggir sampan dengan tangan kananku, sekali lagi kutatap Tugu Peringatan yang di arsiteki oleh Frederich Silaban dan R. M. Soedarsono yang mulai dibangun pada 17 Agustus 1961 serta di buka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975 itu.

Sambil menatap deburan ombak di kiri kanan monumen Nasional yang saat ini tepat berada di sampingku, aku seperti kembali ke masa lalu, di mana saat ini aku seperti melihat pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sedang mengikuti acara Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 di tempat ini.

Dua pasangan peserta Pilpres 2019 itu kulihat tengah duduk berdampingan. Saat ini mataku melihat mereka mengenakan pakaian adat sesuai tema keberagaman dalam acara deklarasi kampanye damai itu. Di mana Jokowi kulihat tampak mengenakan ikat kepala yang menyerupai udeng khas Bali. Sementara Prabowo tampak mengenakan blangkon hitam khas Jawa.

Tanpa terasa, air mataku menitik dengan sendirinya, mengingat tempat yang pernah menjadi simbol pemersatu anak bangsa itu saat ini telah menjadi lautan lepas yang ujungnya entah dimana. Tuhan...seandainya waktu bisa di putar kembali, aku ingin melihat apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum tempat ini menjadi lautan seperti sekarang ini.

Angin bertiup kencang, bertanda sebentar lagi akan hujan, kulirik wanita yang mengenakan cadar  hitam di belakangku, kutatap Tugu Monas di sampingku. Setelah gejolak rasa yang tadi sempat bergemuruh di dalam hatiku kembali reda. Aku berpaling ke belakang, kutatap wanita bercadar hitam yang sedari tadi diam sambil terus memegang payung hitam di tangannya itu.

Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Niqab adalah istilah syar'i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian kaum perempuan Muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab (hijab). Niqab banyak dipakai wanita di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia seperti Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab. Ia juga biasa di Pakistan dan beberapa wanita Muslim di Barat.

Kak, kita mau kemana? Tanyaku pada wanita ber cadar di belakangku itu. Sambil melihat ke arahku, dia menggerakkan tangan kanannya, dan tiba-tiba saja, sampan yang kami naiki itu berhenti dengan sendirinya. Saat ini, di atas sampan yang tengah terombang-ambing, dipermainkan oleh deburan ombak di tempat ini. Untuk pertama kalinya, semenjak kami berdua duduk di atas sampan ini, wanita berjilbab hitam yang mengenakan cadar itu menatap ke arahku.

"Kembali kepada Sang Waktu." Katanya lagi, lalu kembali memalingkan wajahnya ketempat lain, lalu menutup payung hitam yang sedari tadi terkembang di tangannya.

Baca juga;  Sang Waktu

Kutatap lautan lepas yang saat ini tengah bergelombang, angin bertiup kencang bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ujung sana.

"Menurut kakek Kelana Senja, aku diminta untuk menjumpai seseorang di tempat ini, apakah orang itu adalah Kakak?" tanyaku pada wanita berpayung hitam yang mengenakan cadar di belakangku ini.

 "Bukan." Jawabnya.

Siapa dia? Tanyaku lagi, sambil menatap wanita ber jilbab hitam yang jika di lihat dari postur tubuhnya ini kuperkirakan berusia sekitar 45 tahun itu.

"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, saat ini, aku hanya diminta oleh orang yang memintamu datang ketempat ini agar secepatnya mengantarkanmu kembali kepada Sang Waktu."

Tapi aku masih ada janji pada seseorang untuk membebaskan anaknya yang saat ini masih terkurung di dalam dunia Politik. Kataku lagi, sambil terus melihat ke arahnya.

"Serahkan itu pada Kelana Senja, dulu dia yang memasukan anak itu kedalam keris luk tiga milik Sang Peramal, tentu dia juga bisa mengeluarkannya dari dalam keris itu."

Saat ini, di mana orang yang ingin bertemu denganku itu? Tanyaku pada wanita bercadar hitam yang lebih banyak diam di belakangku ini.

"Di sana." Katanya, sambil menunjuk kearah puncak Monas yang terlihat begitu samar diantara keremangan cahaya senja. Sambil menghela nafas, kutatap lidah api berlapiskan lembaran emas yang terlihat begitu indah di bawah keremangan cahaya senja itu.

Siapa dia? Tanyaku sedikit penasaran.

"Aku tidak berani menjawabnya, karena itu bukan wewenangku, saat ini, aku hanya di minta untuk mengantarkanmu kembali kepada Sang Waktu."

Kalau boleh tau, dia lelaki atau perempuan? Tanyaku makin penasaran pada wanita berjilbab hitam yang kulihat begitu "irit" dan sangat berhati-hati sekali dalam berbicara itu.

"Wanita." Jawabnya lagi sambil terus menatap kilauan warna emas di puncak Monas. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Perempuan berarti orang (Manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, bisa hamil, melahirkan anak dan bisa menyusui. Sedangkan kata wanita bermakna perempuan dewasa, kaum-kaum putri (dewasa). Dari pernyataan tersebut, kata Wanita jauh lebih enak didengar. Padahal, pengertian kata wanita dalam kamus Kuno Jawa-Inggris dahulu bermakna "Yang diinginkan"  Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai obyek, yaitu sesuatu yang dinginkan seorang laki-laki. 

***

MALAM datang, di bawah langit yang mulai menghitam. Di antara keremangan cahaya bulan yang berwarna merah, sekali lagi kutatap cahaya kuning keemasan yang terlihat begitu indah di puncak Monas.

Setelah cukup lama berdiam di tempat ini, wanita berjilbab hitam yang wajahnya tertutup cadar itu mengangkat tangannya, setelah payung hitam di tangannya itu kembali terkembang, perlahan tapi pasti, aku dan wanita bercadar hitam yang sorot matanya mengingatkanku pada seorang wanita yang saat ini entah sedang berada di mana itu pergi meninggalkan kawasan Monas yang saat ini air lautnya terlihat kembali tenang.


Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun