Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya dan Agama, Dua Hal yang tak Perlu Dipertentangkan

8 Desember 2018   01:43 Diperbarui: 10 Desember 2018   01:20 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
yogyakarta.kemenag.go.id

Sebagai Negara Majemuk, Indonesia Rawan Konflik SARA

Indonesia, adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi oleh garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Australia, serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Selain itu, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau di dalamnya. Negara yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis dengan populasi hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018 ini adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.

Lebih dari 230 juta jiwa mayoritas agamanya adalah agama Islam, atau sekitar 85,2% dari jumlah penduduk di Indonesia, menjadikan Indonesia saat ini adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Selain agama Islam ada agama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Selain agama-agama tersebut, pemerintah Indonesia juga secara resmi mengakui Konghucu.

Sebagai negara majemuk dengan sekitar 300 kelompok etnis dari Sabang di ujung Aceh sampai Merauke di tanah Papua serta terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama itu menjadikan negara ini paling rawan terhadap konflik  Suku, Ras dan Agama (SARA). Perbedaan pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu bentrok antar mereka. Tentu saja kita semua tidak ingin kasus-kasus SARA yang pernah terjadi sebelumnya terulang lagi di negara yang kita cintai ini.

Sejarah Membuktikan, Agama Masuk ke Nusantara Melalui Budaya

Menurut pemikir Islam yang juga penulis buku Islam Nusantara (2002) dan Islam Subtantif (2000), Azyumardi Azra, Doktor lulusan Columbia University, Amerika Serikat yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menyatakan. Berdasarkan sejarah, masuknya ajaran Islam ke wilayah Nusantara ini melalui proses vernakularisasi. Vernakularisasi itu sendiri adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia. Kemudian proses ini diikuti pribumisasi, sehingga Islam menjadi tertanam dalam budaya Indonesia. Jadi, tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Karena itu, dalam penampilan budayanya, Islam Indonesia jauh berbeda dengan Islam Arab.

Istilah Islam Nusantara sendiri merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang dilakukan melalui cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras.

Para Walisongo kala itu menyebarkan Islam di pulau Jawa melalui kesenian. Hal yang mudah dicerna dan di nikmati oleh kalangan masyarakat pada masa itu maupun hingga saat ini. Salah satunya adalah Tembang Lir Ilir yang digubah oleh Sunan Kalijaga pada jaman kerajaan Jawa Islam, sebagai sarana dakwah/syiar agama Islam di pulau Jawa pada masa itu.

Banyak versi musik yang pernah dibuat/diaransemen untuk tembang ini. Beberapa tahun yang lalu, kelompok kesenian Kyai Kanjeng yang dipimpin oleh seniman & budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) turut pula menyemarakkan blantika musik Indonesia dengan mengaransemen ulang tembang Lir Ilir, sehingga memiliki nuansa yang lebih religius dan sakral.


Islam Nusantara, Salah Satu Contoh Dakwah yang Merangkul Budaya

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU menyebutkan bahwa Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. “Yang paling berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," tambahnya.

"Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi," kata Presiden Jokowi pula saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal.

Presiden Jokowi menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara. Selain Presiden Jokowi, hal senada juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam Indonesia.

Tetapi secara hampir bersamaan lahir pula kritikan dan penolakan terhadap istilah Islam Nusantara yang diwarnai perdebatan keras terutama melalui media sosial atau dalam diskusi terbuka. Secara garis besar, penolakan pada istilah Islam Nusantara dikarenakan istilah itu seolah-olah mencerminkan bahwa ajaran Islam itu tidak tunggal.

Gelar Sarasehan, Kemenag Bahas Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya

Kementerian Agama diketahui telah menggelar Sarasehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Bantul, Yogyakarta pada hari Sabtu 03 November 2018 yang lalu. Sarasehan yang diikuti oleh Abdullah Muhaimin, Acep Zamzam Noor, Agus Sunyoto, Agus Noor, Alissa Wahid, Aloyisius Budi Purnomo, Bhante Sri Pannavaro, Fatin Hamama,  Jamhari, John Titaley, M Amin Abdullah, M Jadul Maula, Nasirun, Pandita Mpu Jaya Prema, Purwosantoso, Radhar Panca Dahana, Ridwan Saidi, Sudjiwo Agus Hadi (Sudjiwo Tedjo), Wahyu Muryadi, Wisnu Bawa Tenaya dan Zakiyuddin Baidlawi ini adalah sebagai salah satu upaya untuk memperkuat relasi agama dan budaya.

Langkah ini dianggap relevan di tengah semakin kuatnya infiltrasi budaya asing dan paham transnasional yang dalam kasus tertentu mempermasalahkan jalinan relasi agama dan budaya di Indonesia. Padahal agama dan budaya di Indonesia sudah terjalin apik sejak lama.

"Baru-baru ini kami mendapati satu dua kasus terjadinya perbedaan cara pandang terkait praktik budaya dan agama. Kami melihat perlu ada ruang untuk melakukan dialog antara agamawan, cendekiawan, dan budayawan. Kementerian Agama memfasilitasi hal itu," jelas Mastuki di Yogyakarta, pada Jumat 02 November 2018 yang lalu.

Pro dan Kontra terkait munculnya Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam Indonesia masih berlanjut hingga saat ini. Sebagian orang menilai Islam nusantara sebagai keyakinan yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’

"Dengan dialog, diharapkan ada titik temu yang dapat mencerahkan masyarakat. Kementerian Agama berperan sebagai fasilitator dialog tersebut," kata Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki.

Sarasehan yang dibuka dan ditutup oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlangsung pada tanggal 2-3 November 2018 ini menghasilkan enam point rumusan Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan.

Baca juga; Sarasehan Agamawan dan Budayawan Hasilkan 6 Point Permufakatan

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, budaya dan agama sejatinya merupakan dua hal yang tidak perlu dipertentangkan. "Pengembangan budaya di Indonesia sudah seharusnya menghargai nilai-nilai prinsipil dalam agama, dan sebaliknya pengembangan agama juga tidak semestinya mengakibatkan hancurnya keragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat di Indonesia," jelas Menag saat memberikan keterangan pers usai menutup Sarasehan di Bantul, pada hari Sabtu 03 November 2018 yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun