Bagian Empat Belas
 Dengan Matamu, Aku Melihat
*
" Bulan sembilan tanggal sembilan, sesuai pesanmu pada ibu ini, katanya engkau ingin bertemu denganku di tempat ini. Apa yang yang bisa kubantu? " Tanya lelaki tua dihadapanku itu, sambil tersenyum menatapku.
Kubalas senyuman lelaki tua dihadapanku itu, kutatap senyuman tulus dari wajah tua yang begitu teduh dan tenang di depanku ini. Jujur saja, aku sedikit bingung mau memulai ceritanya dari mana. Tapi demi janjiku yang sudah terlanjur terucapkan pada wanita cantik berkulit hitam manis itu, akan kubuang semua rasa ego ke-aku-an ku saat ini.
Aku adalah binatang jalang, yang berprinsip. Â Aku adalah aku, jalanku bukan jalanmu, dan jalanmu bukan jalanku.
" Saat ini Dunia sudah  hilang keseimbangan-nya. Anak manusia sudah tidak  lagi mempercayai  Hukum dan Pemerintahan  yang berlaku saat ini. Karena yang mereka tahu, Hukum dan Keadilan baru akan berpihak  pada mereka  jika mereka memiliki sejumlah harta.
Keadaan kini, Seperti perumpamaan beberapa anak manusia yang sudah tidak lagi mampu membedakan antara siang dengan malam. Sungguh membingungkan, Bulan kembar telah muncul, dan nyaris menutupi  cahaya kebenaran.
Fitnah Dajjal telah berhasil masuk kedalam semua sendi-sendi kehidupan. Dimana, uang adalah Tuhan yang nyata bagi sebagian anak manusia saat ini, tiada hal yang paling di takuti, dan juga paling di senangi saat ini, selain dari pada uang.
Uang berhasil  mengatur roda kehidupan anak manusia, dan menguasai  dunia. Dengan uang pula, anak manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang mereka inginkan, mulai dari harga diri hingga nyawa anak manusia lainnya. Dan saat ini, uang nyaris menjadi Tuhan yang paling sempurna bagi para penyembah berhala."Akhir Zaman
Tiba-tiba saja, lelaki tua yang barusan bertanya dan belum sempat kujawab itu berbicara sendiri, sambil terus menggoyang-goyangkan kepalanya, dia terus meracau seperti orang yang sedang membaca Puisi.
Kutatap ibu tua berkerudung putih yang duduk disebelahku, sambil tersenyum simpul, kulihat dia mendekatkan cangkir kopi susu kehadapanku. Lalu berpaling, menatap kearah pas photo di pojok warung, matanya menerawang jauh, seolah kembali ingat masa lalunya
Sruupp...
Ku teguk perlahan kopi susu yang di suguhkannya barusan. Ku tatap pas photo yang di lihat ibu tua ini barusan, kulihat photo seorang anak kecil, sedang di pangku oleh seorang wanita muda.
Jujur saja aku belum pernah menjumpai wanita secantik itu sebelumnya, kuperhatikan wanita di dalam photo itu, ternyata dia begitu mirip sekali dengan ibu tua disampingku ini. Mataku beralih ke arah cermin besar disebelah pas photo itu. Di dalam cermin besar itu. Aku hanya melihat bayangan lelaki tua di depanku ini, kulihat, dia sedang duduk menghadap ke arah secangkir kopi di depan seorang wanita tua yang masih menyimpan sisa- sisa kecantikan masa mudanya itu.
" Apa yang engkau tunggu? " Tanya ibu tua berkerudung putih disampingku ini. Sepertinya dia mampu membaca semua keraguanku saat ini.
Ku tatap seraut wajah keibuan disampingku ini. Entah kenapa, begitu selesai menatap wajah itu, aku seperti mendapatkan ketenangan  dan kekuatan baru. Â
" Apa yang bisa kubantu? " Lelaki tua yang tadi kulihat sedang asik membaca puisi sambil menggoyang-goyangkan kepalanya sendiri itu, tiba-tiba bertanya kembali.
**
 " Itu Siapa? " Tanyaku, sambil menunjuk kearah pria berpakaian serba hitam yang kulihat tengah duduk bersila seperti orang yang sedang melakukan semedi itu.
" Dialah Sang Peramal yang ingin bertemu dengan abang. " Katanya lagi. Wajahnya kulihat sedikit tegang, ketika menyebut julukan pria berpakaian serba hitam di tengah ruangan itu.
Kutatap wajah dingin pria berkumis tebal yang mengenakan blangkon, dan setelan baju berwarna hitam didepanku itu. Sambil tersenyum pada wanita cantik yang memiliki wajah sedikit pucat tanpa riasan makeup disampingku ini, aku kembali bertanya.
" Kenapa kakak seperti orang ketakutan melihat pria didepan itu? " Tanyaku lagi pada wanita berkulit hitam manis disampingku ini.
Sambil menggigit bibir tebalnya yang berwarna merah basah alami itu. Dia berkata lirih sambil menatap kedua mataku.
" Tolong selamatkan anak kakak dari cengkraman lelaki di depan itu bang.." Katanya lirih, sambil menunjuk kearah sebilah keris luk tiga yang kulihat tengah berdiri di depan lelaki yang sedang duduk bersemedi di tengah ruangan itu.
Sambil meng-akhiri ceritaku, kutatap wajah tua didepanku itu. Melihatnya  diam, dan tidak bereaksi sedikitpun,  kuambil cangkir kopi yang tadi di sodorkan oleh ibu tua berkerudung putih disampingku ini.
Tiba-tiba saja, sahabat tuaku itu kudengar  bernyanyi, masih sedikit bingung, aku diam, sambil minum kopi, aku terus mendengarkan kata-demi kata dari lagu yang sedang dinyanyikannya  itu. Setelah selesai. Tiba-tiba dia berkata;
"Sebelum aku memberikan anak kunci, untuk membebaskan anak dari temanmu yang saat ini masih terkurung di tempat itu, terlebih dulu, aku ingin menyampaikan pesan dari seseorang untukmu."
Katanya lagi, sambil menyodorkan selembar kain yang sudah terlihat begitu kumal. Sedikit bingung, ku ulurkan tanganku. Setelah lembaran kain kumal itu kubuka, ternyata di dalamnya hanya terdapat tulisan ini.
" Kutunggu 27 tahun lagi di tempat ini. "
Sambil membolak balik kain kumal ditanganku, aku berusaha mencari nama pengirim pesan itu, begitupun, lokasi yang dimaksudkan di dalam pesan itu. Sambil melihat ke arah sahabat tuaku, aku bertanya;
" Aku tidak tau ini dari siapa, dan harus menjumpainya dimana. Dan akupun tidak tahu, apakah 27 tahun lagi, aku masih hidup dan sempat menjumpai pengirim pesan ini. " Tanyaku sedikit ragu.
" Aku percaya, apapun yang sudah terjadi, dan apa yang akan terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti itu semua atas kehendaknya. Bahkan sehelai daun yang gugur, lalu jatuh keatas muka bumi ini pun sudah pasti atas izinnya. Tuhan Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.." Katanya setengah bergumam, selanjutnya dia berkata.
" Sekarang tutup kedua matamu." Dia menyuruh aku menutup kedua mataku, masih sedikit bingung, kuturuti ucapannya, perlahan kututup kedua mataku.
" Apa yang engkau lihat? " Kudengar suaranya, bertanya dari kegelapan.
" Gelap.." Jawabku jujur.
" Sekarang, di dalam kegelapan, coba engkau lihat dirimu." Masih terdengar suaranya menyuruhku.
***
Sayub-sayub, telingaku masih mendengar suara sahabat tuaku itu meminta agar aku membaca tulisan di dalam lembaran kain yang masih kugenggam ini, namun, saat ini. Suaranya itu terdengar begitu pelan, dan terasa jauh sekali.
Penasaran dengan tiupan angin yang saat ini sepertinya tengah menerpa tubuhku, perlahan, kubuka kedua mataku. Ternyata, saat ini aku sedang berdiri diatas puncak salah satu bekas reruntuhan gedung Istana Merdeka yang dulunya menghadap ke Taman Monumen Nasional yang terletak di Jalan Medan Merdeka utara  yang saat ini telah terendam oleh air laut.
Diujung sana, mataku menatap Lidah api yang melambangkan semangat juang yang menyala-nyala. Â Di kejauhan, mataku melihat Monumen peringatan setinggi 132 meter yang didirikan untuk mengenang perlawanan, dan perjuangan rakyat Indonesia itu. Â Saat ini, yang terlihat, hanyalah, "Api Nan Tak Kunjung Padam" di puncaknya saja. Sedangkan di bagian bawahnya, kulihat sudah terendam oleh air laut yang juga telah merendam kota Jakarta dan seisinya.
Sekali lagi, kutatap Monumen yang mulai di bangun pada tanggal 17 Agustus 1961 yang lalu itu. Menurut sejarah, Monumen itu di bangun atas perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975 oleh presiden Soeharto.
Sejauh mata memandang, selain puncak monumen dari sisa-sisa kejayaan bekas Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Saat ini, yang kulihat hanyalah hamparan air laut yang terlihat berwarna biru dan sesekali berombak di depanku.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H