Menurutnya, kondisi itu berpengaruh bagi pengusaha, seperti produsen tahu dan tempe. Sejumlah tokoh nasional menganggap pernyataan-nya itu terlalu berlebihan untuk menggambarkan situasi ekonomi saat ini.
Salah seorang politikus dari Partai pengusung kubu petahana turut berkomentar mengenai pernyataan irisan tempe setipis kartu ATM yang diucapkan olehnya kala itu, ia bahkan mengaku sampai mengecek ke warung tegal (Warteg) untuk melihat apakah benar ukuran tempe menjadi setipis itu karena harga dolar naik.
"Katanya hari ini dolar Rp 15 ribu membuat tempe setipis kartu ATM. Saya cek di warteg Tempe masih gede-gede" ujar politikus dari Partai pengusung kubu petahana itu saat menghadiri deklarasi Aliansi kebangsaan Gotong Royong Indonesia (AKGI) di Gedung Joeang DHN 45, Menteng, Jakarta.
Saat ini persoalan tempe setipis kartu ATM sedang ramai menjadi pembicaraan miring, bukan hanya di kedai-kedai kopi saja. Di jagat maya sendiri berseliweran meme sindiran mengenai pernyataan tempe setipis kartu ATM itu.
Salah seorang pengguna media social bahkan mengunggah gambar keripik tempe yang memang berukuran tipis disertai dengan tulisan, "Tempe tipis, dari masa ke masa. Baik di bawah Bung Karno, Suharto, Gus Dur, Mega, SBY, maupun Jokowi,"
Berhenti sejenak, sambil menangkap sehelai daun yang jatuh dari sebatang pohon di pinggir jalanan akibat di terpa angin kencang barusan. dia kembali melanjutkan ucapannya sambil memainkan daun di jari tangannya.
Tempe dari masa ke masa
“ Ngomong-ngomong soal tempe. Dulu nama makanan itu pernah digunakan untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Pada saat itu, istilah 'mental tempe' atau 'kelas tempe' sering digunakan untuk merendahkan. Dengan arti bahwa hal yang dibicarakan itu bermutu rendah karena murah seperti harga tempe.
Bahkan saat itu Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan, "Jangan menjadi bangsa tempe."
Tapi faktanya. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia dulu, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe.
Menurut Onghokham, tempe yang kaya protein itu telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah pada saat itu.