Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku dan Sang Waktu (Bagian Tiga)

11 September 2018   18:21 Diperbarui: 30 April 2022   13:10 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Tiga

Sang  Waktu

*


*

SUARA tembang Lir-ilir yang  digubah oleh Sunan Kalijaga pada zaman kerajaan Jawa Islam, sebagai sarana dakwah/syiar agama Islam di pulau Jawa pada masa itu, oleh kelompok kesenian Kyai Kanjeng yang dipimpin oleh seniman & budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun), di aransemen ulang dengan nuansa yang lebih religius dan sakral itu seperti ikut mengiringi langkah ku memasuki alam lain yang begitu tenang.

Saat ini, aku memasuki Alam Lain, alam ini begitu berbeda dari alam-alam yang pernah kudatangi sebelumnya, dimana alam ini mampu membuatku sejenak melupakan semua hiruk pikuk dua hashtag yang saat ini mulai menunjukkan adanya polarisasi pembagian kelompok masyarakat di luar sana.

Alam ini Juga berbeda dari dunia lain. Dunia yang telah begitu banyak mengajariku tentang banyak hal, dunia yang aku tahu semua penghuni di dalamnya bisa berkomunikasi dengan semua bahasa. Dunia yang telah mengajariku untuk bisa mengerti bahasa rasa.

**

BELUM berapa lama, aku dan Rasa kantuk pergi meninggalkan dua orang sahabat lama yang sepertinya sudah lama tidak pernah bertemu itu, tiba-tiba rasa kantuk menghentikan langkahnya di depan seseorang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih keperakan, wajahnya tidak begitu terlihat jelas diantara keremangan cahaya malam.

Kutatap lebih seksama, ternyata seraut wajah yang sudah tidak begitu asing lagi buatku, seraut wajah yang begitu dingin, datar dan tanpa rasa, tidak kutemukan ada rasa sedih maupun gembira di disitu.

Teringat pertemuanku dengan Sang Waktu beberapa waktu yang lalu. Di malam yang hening, angin bagaikan berhenti, air nyaris tak beriak. Ku pandang langit yang terlihat cerah. Bintang-bintang seakan tersenyum sambil mengucapkan selamat malam kepadaku.

Di bawah cahaya bulan yang bersinar terang, mataku menangkap sesosok wanita cantik di kejauhan. Sesosok wanita tinggi semampai yang mengenakan pakaian khas kerajaan dan mengenakan mahkota kecil dikepalanya itu, kulihat berdiri anggun di kejauhan, sambil tersenyum terus  menatap kearahku.

Kubalas senyuman wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben itu. Kain batik berwarna hijau daun yang membalut tubuh moleknya itu terlihat begitu pas sekali di padan dengan perhiasan dan selendang berwarna hijau daun di bahunya.

Sejenak aku terdiam, menatap wanita cantik yang kulihat sudah sangat dewasa, namun masih memancarkan aura kecantikan dan pesona yang luar biasa itu. Entah kenapa, tiba-tiba “rasa” ku tak terkendali melihat wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben di depan itu. Saat ini, aku bahkan sudah tidak perduli lagi dengan semua keadaan di sekelilingku, saat ini aku betul–betul menginginkan-nya.

Tanpa sadar, kakiku melangkah mendekat kearahnya, belum seberapa jauh aku melangkah. Nun jauh di atas sana. Kulihat, seberkas Cahaya putih keperakan turun ke Bumi, dimalam yang hening, angin bagaikan berhenti, air nyaris tak beriak.

Saat itu, aku melihat cahaya putih keperakan yang muncul dari balik bintang itu berubah wujud menjadi sesosok manusia yang tiba-tiba saja sudah berdiri menghadang langkahku. Kutatap seraut wajah dingin, datar dan tanpa rasa yang sedang menatap tajam ke arahku itu.

“Siapa engkau?“ tanyaku pada seseorang yang kulihat mengenakan jubah panjang berwarna putih keperakan di depanku ini.

“Aku adalah Sang Waktu.” jawabnya datar tanpa tanpa ekspresi.

Sambil melihat ke arah wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben berwarna hijau daun di depan itu. Tiba-tiba Sang Waktu berbisik di telingaku.

“Belum waktunya engkau bersama wanita itu “ kata Sang waktu , lalu kembali melanjutkan ucapannya.

“Lihat lah orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Tidakkah engkau mendengar? Suara serak, dan tangis saudaramu akibat ulah segelintir saudaramu yang lainnya, yang kini sedang mabuk kepayang, hingga memutuskan akal sehat mereka, karena begitu ingin memilikinya?”

Sang waktu menunjuk ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan kala itu, aku melihat beberapa orang diantara suara hingar bingar kehidupan malam. Sang Waktu kembali melanjutkan ucapannya.

“Lihatlah tampang angkuh dan pongah orang-orang yang telah gila karenanya. Lihatlah mereka-mereka yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak diatas penderitaan manusia lainnya. ”

Dan setelah diam sejenak, Sang Waktu kembali menunjuk ke arah belahan bumi lainnya. “Lihatlah mereka-mereka yang kini  sedang meratap dan menangis pilu, akibat ulah sebagian manusia yang merasa berkuasa, dan merasa lebih  pantas untuk menindas sesamanya demi untuk mendapatkan nya.”

Aku terdiam, saat ini melihat dua pemandangan yang berbeda di hadapanku itu. Dan aku berdiri di antara keduanya. Bagaikan berdiri diantara siang dan malam. Aku menatap wajah Sang Waktu, sekali lagi, tidak ku temukan ada rasa sedih maupun gembira di situ, begitu dingin, datar dan tanpa rasa.

Dari balik jubahnya, aku mencoba mencuri-curi pandang ke arah wanita cantik bertubuh molek yang mengenakan kemben, dengan perhiasan dan selendang berwarna hijau daun di bahunya itu.  Dia tersenyum kearahku. Dari balik jubah Sang Waktu aku bisa melihat dia tengah melambaikan tangannya. Sedang memanggilku.

Sang Waktu kembali menatap kedua mataku, seperti mengetahui isi kepalaku. Sambil melirik ke arah wanita cantik di belakangnya itu. Dia kembali berkata “Engkau ingin tau siapa wanita itu?“

***

SAYUP-SAYUP, telingaku masih mendengar suara tembang Lir-ilir  yang dibawakan oleh MH. Ainun Najib bersama kyai kanjengnya itu, dan saat ini, kedua telingaku itu sepertinya terlalu lemah untuk dapat menangkap suara halus pembicaraan antara Rasa kantuk dan Sang Waktu yang berada di depanku.

Entah apa yang mereka bicarakan berdua sedari tadi, yang jelas saat ini sang waktu mengajakku untuk ikut bersama nya. Kutatap rasa kantuk yang cuma mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata padaku “Terserah” karena keputusan untuk ikut dengannya atau mengikuti Sang Waktu saat ini ada ditanganku.

Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti Sang waktu, setengah berlari ku coba iringi langkah sang waktu yang terus berjalan cepat menyusuri lorong panjang yang ujungnya entah dimana itu.

Bersambung

Catatan : 

Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan, ini adalah rangkaian cerita bersambung Aku dan Sang Waktu yang sudah pernah tayang di kompasiana dan tayang kembali di diwa1919.com  adalah semata-mata untuk merawat cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun