Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulau Seberang

11 Juni 2018   02:14 Diperbarui: 21 Juni 2018   11:45 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa terasa, setahun sudah kita jalani cerita, waktu kelulusan telah tiba, kita berpisah. Engkau melanjutkan pendidikan di luar kota, sementara aku memutuskan untuk mencari pekerjaan. 

Ayahku yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Saat  itu  kontrak kerjanya sudah tidak di perpanjang lagi. Perusahaan tempatnya bekerja mengalami masa--masa sulit,  hingga pihak perusahaan memutuskan untuk merumahkan sebagian karyawan nya.

Pergantian Rezim kekuasaan baru saja berlalu, tapi sepertinya juga tak jauh berbeda dari Rezim sebelumnya. Peraturan ketenaga kerjaan yang ada saat ini hanya memihak dan  menguntungkan pihak perusahaan semata. Sementara, bagi rakyat kecil seperti kami, terkadang hanya menjadi korban yang tidak tahu hendak mengadu  kemana.

Sebagai anak tertua dari lima orang bersaudara, aku turut merasa bertanggung jawab untuk membantu meringakan beban ekonomi kedua orang tuaku. Aku tahu saat itu mereka  tengah gundah memikirkan  nasib pendidikan  adik-adik ku.

Dengan berbekal Ijazah yang baru kuterima, kucoba datangi beberapa perusahaan untuk melamar kerja, namun dari beberapa  pintu yang ku datangi, hanya jawaban  tiada lowongan yang ada.

Aku terus berjalan, mendatangi beberapa perusahaan lainnya, dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan disana. Kemeja putih yang kukenakan sudah mulai terlihat kumal.

Di pinggir jalan, siang itu mataku nanar dan berkaca-kaca menatap beberapa kendaraan mewah  yang lalu lalang di depanku, sambil menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi, kuseka keringat bercampur debu jalanan yang menempel di wajahku.

Perlahan awan hitam bergerak, menutupi teriknya sinar matahari siang itu, hari mulai mendung, hembusan angin yang menerpa wajahku, sepertinya  mampu meniup api kemarahan yang sejak tadi  mulai membakar hati dan fikiranku, hingga  akhirnya, aku hanya mampu menghela nafas akan ketiadaanku.

**

Temanku yang saat itu sedang menjadi aktivis dadakan, mengajak-ku ikut demo bayaran bersama mereka. Orderannya cukup lumayan, hampir setiap hari kami turun ke jalan, membawa poster sambil meneriakan yel-yel sesuai pesanan pihak yang membiayai demo.

Walau terkadang cuma mendapatkan  bayaran sebungkus nasi padang, tapi sepertinya ini cukup menolong bagi orang--orang sepertiku. Dimana angka pengangguran semakin meningkat, sementara lowongan pekerjaan semakin sulit di dapat.

Ilmu pengetahuan yang kudapatkan di bangku sekolahan, dengan mata pelajaran tambahan berupa tawuran setiap minggunya, ternyata tidak mampu membuatku dapat pekerjaan yang layak untuk membantu meringankan beban ekonomi keluargaku. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merantau ke pulau seberang.

***

Sebelas tahun kutingggalkan kota kelahiranku, namun sepertinya belum juga mampu menghapus semua ingatan-ku tentangmu. Pertemuan kita di ujung jalan sore itu, sempat membuatmu syok dan  menangis, hingga seorang anak kecil yang saat itu sedang bersamamu sempat bertanya,

"Mama kenapa..?" 

Lalu ku dengar engkau menjawab; "Mama, nggak apa-apa sayang.."

Engkau perkenalkan seorang gadis kecil padaku, ternyata dia adalah anakmu yang paling bungsu, kuambil anak itu, sambil ku gendong kutatap matanya. Ternyata mata kecil itu, begitu mirip dengan matamu, sorot mata sendu dan keibuan, sepasang mata yang telah  menawan hatiku selama bertahun-tahun lamanya, tapi hari itu, sepasang mata kecil itu telah  membuka mata dan juga hatiku, bahwa engkau bukan lagi  gadisku yang lucu dan manja dulu, saat ini engkau telah menjadi seorang ibu.

Sebelas tahun, bukanlah waktu yang sebentar, apalagi  untuk suatu  penantian yang hampir tiada kabar, walau jujur saja, saat inipun, aku masih belum mampu untuk melupakanmu, tapi ini semua bukan salahmu.

Ketika engkau pulang dari luar kota tempatmu menimba ilmu, mencari kabar berita tentangku, kau tidak  mendapatkan  jawaban yang pasti  dimana aku saat itu.

Sekian tahun engkau coba jalani hidup seorang diri, namun tak kunjung ada kabar berita dariku, hingga akhirnya engkau memutuskan untuk membuka hatimu pada seorang pria yang  saat ini telah memberimu buah hati.

 "Selamat berbahagia sayang, semoga kebahagian selalu menyertai dimanapun engkau berada.."

****

"Permisi.."

Suara itu mengagetkanku, hingga  membuyarkan semua ingatan-ku  tentangmu. Seorang wanita paruh baya berdiri menyapaku, lalu duduk di sampingku, kami berkenalan dan ternyata dia cukup ramah, hingga kami terlibat dalam obrolan yang cukup  akrab.

"Setiap cerita pasti ada akhirnya, namun dalam cerita hidupku. Akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun