WARISAN BUDAYA INDONESIA – “Bulet besak panjang mak lengen. Kejel-kejel rasonyo marem. Masuk ke mulut matonyo mejem. Mertuo lewat masih ditelen.” Begitulah bait pembuka lagu daerah asal Palembang yang menyoal kelezatan makanan pempek. Bait berikutnya dari lagu bertajuk Pempek Lenjer itu berbunyi, “Kejel keras sudah biaso. Asak bae iwaknyo teraso. Digoreng pake minyak kelapo. Jadi nambah lemak rasonyo.”
Pasti banyak yang setuju, rasa kekayaan kuliner khas Palembang ini memang enak. Dan bukan cuma lenjer yang bisa membangkitkan air liur. Soalnya makanan berbahan dasar tepung tapioka dan ikan ini jenisnya bermacam-macam. Ada pempek kapal selam, adaan, kulit, telor, atau lenggang. Tinggal dipilih saja sesuai selera. Dijamin, mengutip Pempek Lenjer lagi, “Siapo nyingok pastilah ngiler…Makan sikok pacak kelenger.”
Menurut cerita, pempek bermula dari sayembara seorang raja yang gundah gulana sejak mangkatnya juru masak istana. Ia berjanji, barangsiapa bisa membuat makanan dari ikan dengan perpaduan rasa asam, manis, pedas dan segar, akan diangkat menjadi koki kerajaan. Konon, peserta yang berkompetisi tak cuma dari dalam negeri, tetapi juga dari manca negara. Setelah melewati seleksi amat ketat, akhirnya tersisa empat menu andalan.
Sang Raja rupanya jatuh hati pada kreasi seorang koki bernama Apek, yang menyajikan makanan campuran tepung dan ikan disertai kuah kental yang terbuat dari gula merah dan asam Jawa. Makanan ini sekaligus menyingkirkan menu finalis lainnya yang bernuansa Jepang, Padang, dan Jawa. Karena belum bernama, Sang Raja lalu menyebut makanan baru kesukaannya itu sebagai pempek, yang diambil dari nama juru masak baru di kerajaan.
Serupa tapi tak sama, cerita itu mirip dengan folklor lainnya yang mengisahkan, bahwa pempek mulai dikenal di Palembang bersamaan dengan masuknya imigran China. Kira-kira terjadi pada sekitar abad ke-16 pada saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Makanan itu adalah karya cipta seorang China tua yang kerap dipanggil “apek”, dan menjajakannya di seputar kota. Sesuai julukan pedagangnya, makanan itu dinamai pempek.
Menurut Yudhy Syarofie, boleh jadi pempek memang dipengaruhi tradisi kuliner China. Tetapi kata budayawan Palembang ini, jauh sebelumnya orang Palembang sebetulnya sudah mengenal sebuah makanan berbahan dasar ikan yang dicampur dengan sagu. Namanya, kata Yudhy, adalah kelesan atau pirikan, yang merujuk pada nama alat dari bahan kuningan yang digunakan untuk menghaluskan daging ikan.
Seiring perjalanan jaman, penggunaan kelesan mulai ditinggalkan. Tepung sagu yang dahulu banyak diproduksi di kampung Pasaguan, juga diganti dengan tapioka. Awalnya pempek dibuat dari ikan belida (Notopterus chitala) atau putak (Notopterus notopterus). Karena makin langka, lalu diganti dengan ikan tenggiri (Cybium commersoni), gabus (Channa striata), bujuk (Channa lucius), bilis (Chela oxygastroides), parang-parang (Chirocentrus dorab), atau kakap (Lutjanus argentimaculatus).
Meskipun demikian, dari dahulu sampai sekarang, makanan pempek yang sudah diakui sebagai warisan budaya takbenda asal Palembang ini tetap lemak rasonyo. Mengutip lagu Pempek Lenjer, “Siapo nyingok pastilah ngiler…Makan sikok pacak kelenger.” (naskah dari berbagai sumber; foto dari salingjingak.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H