Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Vakansi ke Sydney : 4/ di Darling Harbour menguji perut

13 Januari 2011   22:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_83032" align="alignleft" width="300" caption="foto dok.pri"][/caption] Selepas dari kawasan The Rocks, saya membelokkan langkah menuju Darling Harbour. Di sana saya telah membuatjanji untuk bertemu kawan lama sembari makan siang. Kawasan ini, salah satu yang saya ingat kalau berbicara mengenai Sydney.

Nama Darling Harbour, bukanlah nama asli dari awal mula. Nama yang diambil dari nama Gubernur Sydney, Ralph Darling, baru tersemat mulai tahun 1826. Sebelumnya kawasan tersebut dikenal sebagai Tumbalong, atau daerah untuk menikmati makanan laut.

Di ujung yang lain ada pertunjukan ‘binatang buas’ yang di musim liburan banyak diserbu pengunjung. Sembari menunggu antrian, mereka bisa juga menikmati parorama kota dari atas monorel. Atau menumpang ‘kereta kelinci’ yang menyusuri pinggiran pantai seputaran Darling Harbour. Saya, memilih duduk dan memandang sekeliling. Menikmati mereka yang lalu lalang dengan sedikit terkagum-kagum. Untunglah saya masih bisa menjaga mulut agar tidak nganga terbuka.

Kalau saya suka ke Darling Harbour, sejatinya bukan karena makanan lautnya, bukan karena monorel, bukan menikmati tampilan binatang buas, atau sekadar memandang wajah segar lalu lalang; tetapi karena ada satu restaurant yang berdiri tepat menghadap jembatan. Rumah makan yang menyajikan aneka panggangan panggang itu, talah menarik minat saya sejak pertama kali berjumpa. Harganya mahal, tetapi satu porsi bisa dimakan berdua, dan itu sangat cukup sekali, sehingga harganya menjadi tidak mahal lagi.

Ada banyak jenis daging yang ditawarkan. Jika pengunjung ingin menikmati menu selain panggang, juga bisa. Namun saya tidak beralih dari menu panggang, iga-panggang. Ada teman yang berkomentar, mengapa sih suka iga, itu khan hanya tulang-tulang saja. Saya tidak perlu menjawab pertanyaan teman tadi, saya hanya mengajak dia ke sana dan mulai menikmati.

Lupakan tata cara makan yang bersih, memakai sendok dan garpu, juga pisau. Pakailah tangan. Setelah memisahkan masing-masing iga, pegang saja dengan tangan dan mulailah menggigit. Sedikit usaha melepaskan daging yang dihiasi sedikit lemak dari tulang, akan mengahdirkan sensasi makan yang luar biasa. Nikmat sekali.

Sembari makan, kami sempat diskusi soal tata cara makan. Ada yang pakai sendok, garpu, pisau, sumpit, atau pakai tangan saja. Sejatinya makan itu hanya memindahkan makanan dari piring ke perut. Cara hanyalah variasi. Menemukan cara yang menambah rasa nikmat tentu mantap sekali. Memang kemudian ada nilai-nilai lain yang dihadirkan. Tatakrama, tatacara makan, etiket, dll; itu semua hadir karena kita hidup bersama orang lain. Tetapi sesekali mencoba sesuatu yang berbeda tentulah tidak menjadi soal. Apalagi ketika berada di rumah makan yang tak seorangpun mengenal kita, adalah saat mencoba cara yang berbeda. Makan seperti ketika kita masih di kampung terasa nyaman sekali.

Mungkin orang-orang di sekitar meja saya akan membatin, ‘orang itu udik sekali’. Atau, ‘hmmm, orang itu tidak tahu caranya makan.’ Saya tidak peduli. Toh saya tidak menggangu mereka. Saya hanya berkonsentrasi dengan makanan di depan saya, yang sudah dibayar dengan mahal.

Teman saya yang tadi bertanya mengapa saya memilih iga, akhirnya meralat pertanyaannya menjadi pernyataan. Iga ini memang enak sekali. Demikian katanya. Kalau saya menuliskan ini sekarang, saya tidak mendapat upah dari rumah makan, saya hanya berbagi cerita, karena memang saya mendapatkan kepuasan makan di sana. Dagingnya lembut, di dalam mulut dia tidak melakukan perlawanan. Porsi yang luar biasa besar itu membuat perut tetap kenyang, meski banyak tulangnya.

Hampir satu jam kami waktu kami butuhkan untuk menghabiskan makanan. Teman saya tidak mampu menghabiskan, karena dia menyantap satu porsi penuh. Sedangkan kami bisa menghabiskan karena berbagi porsi, itupun sudah merasa kenyang. Saya tidak terbayang kalau menghabiskan satu porsi penuh, pasti sangat-sangat kenyang sekali.

Di Darling Harbour kami menguji kekuatan perut. Agak keterlaluan memang. Toh tidak setiap hari. Apalagi dalam masa liburan, sekali menikmati makan kenyang sekali pastilah bisa dipahami. Kolesterol, lemak, asam urat, sejenak kami lupakan. Yang ada, terimakasih Tuhan untuk makanan ini. Bahwa sekali-kali kami boleh menikmati rejeki yang luar biasa ini. Semoga, banyak saudara-saudari kami juga menerima rejeki yang mereka upayakan. Kemudian kami melangkah pergi, melanjutkan perjalanan menyusuri Sydney dari dekat sekali. (bersambung)

salam hangat,

Melbourne, 14/01/11

[caption id="attachment_83033" align="alignnone" width="683" caption="menikmati sajian iga panggang di hurricane"]

12949587241329493383
12949587241329493383
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun