Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kau Harus Merobeknya!

24 Desember 2010   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini para pengikut Yesus akan merayakan malam pengenangan kelahiran Yesus ke dunia. Ada berbagai cara dipakai. Ada yang khusyuk berdoa, ada yang meriah berpesta. Semua atas nama kelahiran Putera Allah tersebut.

Suasana pengenangan kelahiran Isa Al-Masih itu telah menjadi sebuah peristiwa budaya. Begitu heboh karena dibawa para pengusaha. Pernak-pernik yang membungkus peristiwa religious itu jauh lebih banyak dari pada inti perayaannya. Harus ada kemauan untuk merobek segala aksesoris yang membalutnya untuk melihat kemurnian isinya.

Sebuah ilustrasi yang dimuat oleh surat kabar The Age mampu menggambarkan situasi tersebut. Sebuah kartu ucapan dengan gambar pernak-pernik aksesoris yang biasa digantungkan di pohon natal, dirobek sebagian untuk melihat peristiwa kelahiran Yesus dibaliknya. Judi Green yang mendesain gambar tersebut rupanya sangat jeli melihat kondisi masyarakat.

3D

Dalam iman Katolik, kelahiran Yesus bisa dilihat dari tiga sisi yang berbeda. Pertama kelahirannya sudah terjadi sejak awal mula, yaitu dalam kehendak Bapa di surga. Kenyataan kedua adalah ketika Yesus dilahirkan oleh Perawan Maria. Dan kenyataan ketiga adalah ketika Yesus lahir di dalam kehidupan orang beriman.

Tiga dimensi peristiwa kelahiran Yesus ini dengan jelas digambarkan dalam Kitab Suci. Injil Yohanes dengan jelas menggambarkan bahwa Sang Sabda ini sudah ada sejak awal mula. Sementara Injil Lukas menggambarkan dua peristiwa terpisah. Pertama Yesus yang lahir di kandang dari rahim seorang perawan. Dan kenyataan berikutnya ketika para gembala mendengar pewartaan itu dan bersuka cita.

Catatan singkat ini tidak hendak menggarisbawahi dogma atau iman. Melainkan lebih melihat pada sisi rohani dalam kehidupan. Sisi pertama dan kedua kelahiran Yesus tidak akan kami singgung di sini, hanya bagian ketiga di mana Yesus lahir di dalam hati manusia yang hendak kami dalami.

Ketika Yesus lahir di dalam kehidupan orang beriman, mestinya Ia lahir juga di dalam kehidupan kita. Hmmm, sebaiknya tidak saya pakai kata kita. Karena hal itu mengandaikan saya dan Anda. Karena saya tidak mau memaksa Anda ikut dalam alur catatan ini, maka sebaiknya saya ganti dengan saya. Maka baiklah kalau saya ulangi lagi paragraph ini.

Ketika Yesus lahir di dalam kehidupan orang beriman, mestinya Ia juga lahir di dalam kehidupan saya. Lahir di dalam hati saya. Satu pertanyaan yang kerap menggoda, kalau benar Yesus lahir di dalam hati yang penuh kotoran ini, apa ya kira-kira tandanya? Apakah Ia akan membuat sesuatu sehingga kotoran itu akan hilang, atau haruskah saya membersihkan kotoran itu?

Robeklah hatimu

Pertanyaan mengenai tanda, yang mengiringi kedatangan Yesus bisa kita telisik dari kehidupan umat beriman perdana. Mereka yang mendengar warta kelahiran Yesus untuk pertama kali, yaitu para gembala. Mereka diliputi kegembiraan besar. Kelahiran Yesus yang diwartakan oleh para malaikat mereka terima dan hati mereka bersuka cita.

Kabar mengenai kelahiran Yesus ini sudah terlalu sering saya dengar, hingga tidak terasa lagi getarannya. Atau hati saya memang sudah tertutup banyak hal sehingga tak mampu menangkap sinyal sukacita dari kelahiran Yesus. Pesta minum-minum sampai mabuk, makan-makan, belanja besar karena banyak diskon, berbagai hiburan yang kurang sehat; itu semua telah membungkus hati saya sehingga ia tidak peka lagi.

Saya harus merobek pembungkus hati ini agar ia berfungsi kembali. Kalau tidak, hati saya akan mati. Entah mati beku atau kehabisan nafas karena dibungkus rapat oleh segala yang jahat. Sayangnya, semua yang membungkus hati itu rasanya nikmat. Siapa sih yang tidak suka makan-makan? Atau belanja murah, atau nonton film-film agak panas, atau bermalas-malasan seharian. Semuanya terasa nikmat, hanya membuat hati jadi berkarat.

Maka saya mesti merobek pembungkus itu. Bukan hal yang mudah karena ia telah melekat erat. Telah sekian lama ia ikut di sana, dan bukan hanya ikut di sana tetapi aku pelihara dengan rapi. Terkadang ada pikiran eman untuk melepaskannya. Bahkan tak jarang saya merasa semua bungkus itu adalah bagian dari isi yang sebenarnya. Sekali lagi, dibutuhkan kemauan yang keras untuk merobek bungkus hati yang tidak baik itu.

Yang asali

Teman, pada catatan saya di atas saya banyak menyinggung soal pembungkus hati. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, seperti apakah keadaan asalinya? Seperti apakah yang seharusnya?

Yesus lahir bukan dari keluarga terpandang di rumah sakit bersalin yang mewah. Ia lahir dari pasangan suami istri yang sederhana. Karena satu alasan, mereka tidak mendapatkan tempat untuk melakukan proses persalinan. Karena berada jauh dari kampung halaman, mereka memakai tempat yang biasa digunakan oleh para pengembara berteduh.

Tempat persinggahan itu mudah didapati karena biasa dipakai. Ada tempat untuk menaruh makanan bagi binatang bawaan. Di tempat itulah Maria, ibu Yesus melakukan proses persalinan. Tanpa bidan atau dokter, hanya sang suami yang sabar dan baik hati yang setia menemani.

Tidak jauh dari tempat mereka ada serombongan para gembala. Mendengar ada peristiwa kelahiran, mereka segera bergegas menengoknya. Seperti halnya kelahiran pada umumnya, kelahiran Yesus juga membawa suka cita. Di tengah malam yang hening dan penuh kesederhanaan, lahirlah Sang Mesias. Jauh dari hiruk pikuk pesta.

Semangat yang mengalir dari peristiwa kelahiran Yesus adalah kesederhanaan, keheningan, dan kerelaan untuk mau berbagi. Di tempat persinggahan, di mana biasanya para pengembara berteduh di malam hari, bersama para gembala yang tidur menjaga binatang peliharaan, mereka berbagi keceriaan.

Mereka saling memberi apa yang mereka bisa beri. Datang dan menjenguk pun sudah menjadi pemberian yang besar, apalagi banyak yang tidak peduli. Menganggap kisah itu sebagai dongeng masa lalu. Sehingga pantas untuk tidak diikuti. Saya juga terkadang bersikap seperti itu. Harus berjuang untuk tidak menganggap segala hal itu seperti dongeng masa lalu yang tidak cocok dengan situasi zaman sekarang. Tapi itu sulit sekali.

Memberi

Saya melihat bahwa sulit sekali untuk merobek pembungkus hati. Yang membuat ia menajdi bebal dan tidak peduli akan sesama. Saya kerap merasa bahwa itu adalah hal biasa. Membebalkan hati agar bisa mengikuti trend dan terhindar dari keterasingan.

Kemudian saya dihadapkan pada satu kenyataan yang susah saya mengerti. Mengapa Ia yang adalah Tuhan harus menjadi manusia? Mengapa Ia mau repot-repot, bahkan sampai menderita dan dibunuh?

Jawaban yang saya dapatkan kurang lebih sebagai berikut. Ia mau melakukan itu semua karena Ia begitu mencintai saya, dan pasti juga Anda. Ia mau agar saya, juga Anda, mencintai-Nya dengan sepenuh hati dan kebebasan, bukan karena paksaan dan tidak ada pilihan. Ia menjadi manusia, agar manusia sungguh mampu mencintai-Nya yang berdiri sejajar.

Allah saja memberikan diri-Nya, bagaimana saya masih mengeluh hanya karena tidak mau merobek segala pembungkus hati. Allah saja memberikan yang terbaikd ari diri-Nya agar saya selamat, sebaliknya saya menyimpan segala yang buruh di dalam diri, sebagai pembungkus segala kemurnian. Sungguh saya harus merobeknya. Mungkin juga Anda.

Selamat mengenangkan kelahiran Yesus. Kiranya semangatnya Anda warisi, dan limpahan damai sejahtera mengalir dalam hidup Kalian. Berikut ini ilustrasi yang dibuat oleh The Age.

Ikan bawal dalam perahu,

Selamat Natal dan tahun baru.

Melbourne, 25/12/2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun