Setiap orang makan hasil bumi dari tanahnya. Mengapa kare India lebih menusuk rasanya jika dibanding kare Indonesia. Itu karena bumbu yang digunakan. Dan bumbu itu tumbuh di sana. Di tanah yang berbeda dengan di sini. Mengapa nasi kuning Banjar lebih akas jika dibanding dengan nasi kuning Jawa. Itu karena berasnya. Jika menggunakan beras dari Jawa, apakah juga tetap akas? Silahkan mencoba sendiri.
Setiap daerah memiliki jajanan yang hampir mirip. Camilan, penutup hidangan, atau teman sembari minum kopi atau teh. Ada yang manis, ada yang asin. Ada yang pedas, ada yang asam. Tergantung hasil bumi yang dihasilkan oleh tanahnya.
Cerita yang sederhana adalah soto. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki soto. Kecuali Makasar. Mereka tidak memiliki soto, tetapi coto. Ini hanya guyonan saja yang hendak menegaskan betapa kayanya tanah kita. Juga betapa kreatifnya masyarakat kita.
Air Mata yang lain
Setelah selesai menyantap nasi kuning kami segera meluncur pulang. Di rumah rupanya sudah menunggu seorang tamu yang ingin bertemu denganku. Ibu ini tadi mengikuti misa di gereja. Beliau sudah menunggu cukup lama karena kami mampir untuk mencari makan, sedangkan ibu itu langsung pulang dan segera menuju tempat tinggal Pak Agus. Rupanya kediaman ibu itu juga berada dalam jalan yang sama hanya bebeda gang.
Ibu itu datang untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai sekolah yang saya promosikan. Rupanya beliau memiliki anak yang sedang duduk di kelas 3 SMP dan bekeinginan melanjutkan sekolah di tempat saya dulu mengajar. Setelah berbasa-basi sebentar cerita mengalir pada tema-tema yang sungguh serius. Pengalaman kesedihan mendalam yang ibu alami sejak kecil. Bagaimana ditinggal ibu kandung. Bagaimana mesti tinggal bersama ibu tiri. Hidup keras yang harus dihadapi membuatnya mampu menjalani hidup yang lebih baik.
Ternyata kesedihan itu tidak berhenti ketika mereka kecil. Setelah berumahtangga pun kesedihan terus mengalir. Anaknya kerap didera sakit yang sulit sembuh. Bahkan pernah hamper mati. Hidup berpindah-pindah juga menjadi kesedihan tersendiri. Situasi ini benar-benar menguras seluruh emosi dan mental keluarga.
Hidup beriman dan menggereja yang angin-anginan juga menjadi kesedihan tersendiri. Ibu itu bercerita bagaimana mereka jarang sekali pergi ke gereja. Bahkan ia sempat malu karena yang mengajak pergi ke gereja adalah anaknya.Kesedihannya semakin besar karena sang suami sama sekali tidak mau pergi ke gereja. Di tengah segala kesedihan itu, anak sulungnya yang rajin ke gereja. Rupanya anak sulung yang terus mengajak dia ke gereja sungguh alat yang dipakai Tuhan untuk menguatkannya.
Baru dua tahun mereka tinggal di Banjarmasin. Beruntung mereka bertemu dengan keluarga-keluarga yang bisa diajak berbagi, juga dalam. Keluarga Agus menjadi bukan lagi hanya sekadar teman tetapi menjadi saudara untuk berbagi dan saling menguatkan. Selama dua tahun ini pula imannya makin dikuatkan dan diteguhkan.
Meski demikian tidak berarti semuanya menjadi lebih mudah. Anak keduanya masih belum mau ke gereja. Selalu ada alasan untuk menolak pergi ke gereja. Belum lagi teguran-teguran dari sekolah mengenai prilaku anak keduanya. Sangat mengherankan bahwa perilaku anak pertama dan keduanya sangat bertolak belakang. Di sinilah air mata itu melelh lagi. Bahkan sangat deras. Jauh lebih deras dari air mata semalam.
Nama itu penting
Ketika suasana hati sudah mulai mereda dan air mata sudah berhenti mengalir, tuan rumah menghidangkan makanan ringan khas Banjar. Putri kaca dan sunduk lawang.
Putri kaca berarti putri yang dibungkus kaca. Makanan sejenis pudding. Setiap daerah memiliki varian yang mirip. Kalau di Jawa ditemukan penganan nagasari. Pisang yang dibalut tepung dan dibungkus daun pisang. Rasanya manis. Terkadang sebagai varian diganti buah nangka. Jika nagasari ‘putri’ yang ada di dalam tertutup kaca gelap. Alias tepung pekat. Sedangkan putrid kaca dipakai agar-agar bening dan di dalamnya ada pisang. Tidak harus pisang, bisa diganti roti, nangka, atau apa saja.
Cara membuatnya tidak berbeda jauh dengan membuat pudding. Hanya pudding pada umumnya ada cetakannya. Sedangkan ini tidak ada cetakannya. Atau mungkin ada cetakannya sedangkan saya tidak tahu. Ungkapan putrid kaca berasal dari ‘barang’ yang ditengah kue. Ia terlihat dari luar. Seseorang yang hendak memakan ‘putri’ tersebut mesti memecahkan kacanya
Sementara itu sunduk lawang itu berasal dari tepung tapioca dan gula kelapa. Bisa diganti gula pasir, tetapi lebih nendang jika dipakai gula kelapa. Saya menggambarkan seperti makanan di kampung saya namanya lemet. Lemet itu penganan dari tapioca, atau biasanya dari ubi diparut kemudian luaduk dengan gula merah, dan dibungkus daun pisang kemudian dikukus. Paduan manis ubi dan gula kelapa sungguh luar biasa. Beda sunduk lawang dengan lemet hanya terletak pada ukurannya. Lemet cenderung besar sedangkan sunduk lawang kecil memanjang. Hal itu menyerupai sengkala pada pintu-pintu kayu di rumah kuno. Maka namanya sunduk lawang memang seperti sengkala pintu.
Dua makanan ini rasanya manis, rasanya cocok untuk disantap hati yang sedang menangis. Kepedihan terasa diusir terbang. Diganti rasa manis putri di tengah kaca, dan sunduk lawang yang mendesak-desak di mulut. Tentu saja saya makannya bergantian. Saya hanya menyantap putri kaca dan sunduk lawangnya masing-masing satu buji. Saya tidak begitu menyukai makanan yang berasa manis. Bukan karena apa, tetapi karena saya merasa sudah manis, jadi tidak perlu manmbah dar luar untuk mempermanis diri.
Setelah menyantap kue tersebut saya masih tersenyum-senyum. Mereka heran kenapa saya tersenyum. Saya tersenyum karena nama yang dilekatkan pada kue tersebut. Mengapa namanya harus puteri kaca? Mengapa harus puteri?
Saya juga ingat ada penganan di desa bernama rondo royal. Sebuah makanan dari tape ubi yang digoreng. Kenapa harus rondo royal? Kenapa harus rondo? Apa hubungan tape goreng dengan rondo? Royal lagi? Ternyata nama itu penting. Agar seseorang teringat dan lekat. Jika seseorang ingin diingat namanya, ia harus membuat sesuatu yang akan melekat cekat. Jika baik, namanya dikenang baik. Jika buruk, buruklah yang tertancap.
(Bersambung)
Sebelumnya : Nasi kuning banjar
Sesudahnya : Sop Buntut
Sesudahnya lagi : Tergesa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H