Warga Melbourne tidak akan pernah melupakan peristiwa Sabtu kelabu setahun yang lalu. Suhu udara yang mencapai 46-47 ditambah satu percikan api tak ayal membakar satu suburb dan menewaskan 2 orang, kebetulan mereka warga Indonesia.
Peristiwa tersebut sungguh menyisakan banyak kenangan. Bahkan mengubah cara pandang masyarakat terhadap semak-semak/hutan dan bagaimana menjaganya. Tanda peringatan bahaya sekarang diperbanyak jumlahnya dan ditempatkan di banyak tempat. Setiap hari koran menuliskan prakiraan cuaca dan potensi kebakaran.
Adanya keluarga yang tidak mendapat peringatan bencana setahun yang lalu sungguh memilukan. Adalah keluarga Bron dan Shane Sparkes yang terjebak dalam api di dalam rumahnya. Mereka mendengar berita adanya kebakaran ketika semuanya sudah terlambat. Angin kencang menghantar api semakin kencang merambat. Mereka dan anak-anaknya terjebak di sana.
Kepanikan dan ketakutan akan kematian sudah sangat menguasai. Mereka melihat api yang datang, asap hitam memenuhi angkasa, membuatnya hitam melebihi malam. Mereka makin panik ketika api mencapai rumah mereka, membakar dapur dan akhirnya rumah. Dengan berlindung di balik selimut, dengan terus waspada, mereka selamat, sebuah mukjizat.
Toh tetap ada korban. Satu korban sudah cukup, apalagi dua, itu terlalu banyak. Penjagaan ketat terhadap kemungkinan adanya kebakaran ulang semakin diperketat. Mereka yang merencanakan kemping/perkemahan mesti mendapat ijin, dan semua prosedur mesti diikuti. Itu semua demi menjaga agar bencana tidak terulang lagi.
Cuaca kota Melbourne memang sangat ekstrem, ketika cuaca panas, rasanya seperti di dalam oven. Bahkan saat udara begitu panas, tram dan kereta tidak berangkat, karena sangat berpotensi memunculkan percikan api yang akan segera memicu kebakaran.
Setiap kejadian menambah satu pengalaman untuk bersiap lebih baik. Pengalaman sekali itu sudah cukup, janganlah terulang lagi. Apalagi jika hal itu bisa diprediksi dan diantisipasi. Sabtu kelabu setahun yang lalu bukan hanya meninggalkan kenangan hitam, namun juga telah mengubah cara pandang seluruh masyarakat. Cara pandang untuk peduli, untuk ikut berpartisipasi menjaga alam, agar bencana tidak berulang.
Saya tidak mengalami peristiwa itu. Saya hanya melihat bekasnya dan membaca kisahnya. Rasanya itu sudah cukup. Saya tidak perlu mengalaminya untuk memercayai betapa mengerikan bencana itu.
Sumber: the age
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H