Ketiga, generasi muda etnis Tionghoa pada umumnya telah terputus dari akar budayanya. Pengetahuan mereka tentang budaya Tionghoa amat minim. Ini memprihatinkan, sebab mereka sedang tumbuh sebagai generasi yang tak mampu menyumbang apa-apa untuk pengembangan multikultur di Indonesia.
Keempat, untuk memenuhi kebutuhan umat Tri Dharma sendiri, sebagai pedoman untuk semua kegiatan yang diselenggarakan oleh TITD baik di Jawa Tengah, maupun di Indonesia pada umumnya.
Leluhur etnis Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari provinsi Fujian (Hok-kian). Karena itu, biasanya istilah-istilah dalam Tri Dharma disebut dengan lafal Fujian.
Dalam buku ini meskipun masih ada istilah berlafal Fujian yang dipertahankan, tetapi penulisan dalam lafal modern Hanyu Pinyin lebih diutamakan, dan kadang-kadang disertai aksara Mandarin (ini berguna bagi para pelajar bahasa Mandarin).
Harus ditegaskan bahwa buku ini bukan buku pelajaran agama. Agama Konghucu dan agama Buddha masing-masing telah memiliki lembaga yang menerbitkan buku-buku ajarannya. Karena itu, isi buku ini lebih berupa pengenalan umum mengenai falsafah dan tradisi Tionghoa.
Memang tak bisa dipungkiri, pengaruh China di bidang perekonomian semakin mendunia. Banyak orang semakin tertarik untuk mengenal kebudayaannya. Untuk masuk ke alam budaya suatu bangsa, orang perlu mengenal falsafah hidup dan tradisinya; ajaran, agama, dan adat istiadatnya.
Buku inilah jawabannya. Kehadirannya dalam khasanah pustaka bahasa Indonesia semoga menjadi kabar gembira. Buku ini wajib dibaca bukan hanya oleh para keturunan etnis Tionghoa dan pelajar bahasa Mandarin; tapi juga pemerhati budaya, falsafah, dan agama; kalangan wartawan, politikus, dan siapa pun yang tertarik pada kebudayaan Tionghoa untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.
angin bertiup lembut, hujan turun pada masanya
negeri makmur, dan rakyat sejahtera
demikian hendaknya
F.X. Warindrayana,Â