Malam menjelang "Chinese/Lunar New Year" atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Tahun Baru Imlek, banyak warga etnis Tionghoa berdatangan di Kelenteng untuk menjalani upacara adat.
Sebagai awam, saya melihatnya mereka berdoa dengan hio di sana. Sebagai jurnalis yang kebetulan ada di situ, saya bertanya apa agama mereka. Ternyata, yang berdatangan itu bermacam-macam agamanya. Kalau begitu, yang mereka lakukan ini lebih upacara adat, bukan ritual agama.
Judul buku    : Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa
Ketebalan     : 289 hlm
Penulis        : Tjan K. & Kwa Tong Hay
Penerbit       : Kanisius
Kelenteng, tempat ini tak asing lagi bagi kita. Tetapi, apakah Anda pernah memasukinya dan mengenali isinya? Hampir di setiap kota yang memiliki komunitas Tionghoa dijumpai juga rumah ibadatnya. Di Jawa rumah ibadat ini dikenal sebagai kelenteng, atau kini bernama resmi Tempat Ibadat Tri Dharma. Tri Dharma menunjuk pada 3 ajaran: Dao, Buddha, dan Ru (Konghucu).
Buku Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa ini mencoba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana kelenteng sebagai rumah ibadat Daoisme, Buddhisme, dan Ruisme. Dijelaskan dalam buku ini falsafah 3 ajaran tersebut. Di samping itu dibahas pula tradisi Tionghoa yang masih lestari di Indonesia.
Buku ini mulanya merupakan hasil karya gotong-royong bidang Litbang PTITD/Martrisia (Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma/Majelis Rohaniwan Tri Dharma Indonesia) Komda Jawa Tengah. Fotokopian dan cetakan percobaannya pernah beberapa kali dibagi-bagikan kepada para umat Tri Dharma. Karena banyak yang membutuhkan, buku ini kini diterbitkan untuk umum.
Menurut penulisnya, ada 4 alasan untuk menerbitkan buku ini. Pertama, mengenalkan budaya Tionghoa kepada masyarakat tanah air sebagai bagian dari Indonesia yang multikultur.
Kedua, sering ada anggota masyarakat, umat agama lain, pelajar, dan mahasiswa, yang dalam rangka menulis laporan, atau sekadar ingin tahu, datang berkunjung ke kelenteng untuk bertanya tentang budaya dan falsafah Tionghoa.