Mohon tunggu...
F.X. Warindrayana
F.X. Warindrayana Mohon Tunggu... -

mari berbagi hal baik lewat tulisan, "nemo dat quod non habet"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Zhong Qiu Jie 2569 di Jogja, Kehangatan Relasi dalam Perbedaan

25 September 2018   15:55 Diperbarui: 26 September 2018   12:08 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Purnama tadi malam (24/9) masih menyisakan kehangatan. Saya mengajak anak dan istri datang dalam perayaan Zhong Qiu 2569 Imlek di halaman Kelenteng Zhen Ling Gong Poncowinatan, Yogyakarta. Disediakan makan malam untuk semua yang datang di tempat itu, minum teh, dan menikmati sepotong moon cake atau kue bulan. Diiringi purnama yang beranjak naik, acara dibuka dengan atraksi liong dupa.

Perayaan dalam keberbedaan

Mid-Autumn Festival, atau dikenal dengan nama "Zhong Qiu Jie", merupakan perayaan terbesar kedua setelah Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa.

Bukan hanya di negeri China, para overseas Chinese di berbagai belahan bumi juga merayakannya, termasuk di Jogjakarta. Diprakarsai oleh Jogja Chinese Art and Culture Centre, perayaan Zhong Qiu digelar dengan keunikan khas Jogjakarta.

Halaman Kelenteng dipadati tamu undangan dan masyarakat umum, bukan hanya etnis Tionghoa. Tak ada kecanggungan dari kami yang hadir dengan warna kulit berbeda.

Bukan hanya perbedaan etnis, perbedaan agama yang dinampakkan dengan pakaian penganutnya pun berbaur tanpa sekat di tempat itu. Para pemuka lintas agama berjajar membuka perayaan dengan doa-doa sesuai agama masing-masing.

Selebihnya, kegembiraan dan kehangatan yang kami rasakan. Makan malam bersama, ritual Liong Dupa, Liong Putra-Liong Putri, tarian klasik, dan tak ketinggalan fragmen Dewi Bulan sebagai acaranya.

Perayaan yang dinanti seluruh keluarga

Saya jadi ingat sekian tahun lalu ketika mengenal Zhong Qiu Jie untuk pertama kalinya di Hong Kong. Perayaan ini menjadi perayaan keluarga. Pada pertengahan musim gugur ini seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan malam bersama dan menikmati bulan purnama, yang juga menjadi simbol keberuntungan, kelimpahan rezeki, dan harmoni.

"Sesibuk apapun saya mesti pulang untuk makan malam bersama keluarga sesuai dengan tradisi. Kami biasanya bersantap dengan menu istimewa, lebih dari biasanya. Kami minum teh, dan menikmati moon cake.

Setelah itu kami bisa pergi ke Victoria Park, atau ke public space lainnya untuk menyalakan lampion dan melihat bulan. Kamu tahu, bulan tampak paling indah pada pertengahan musim gugur ini di mana langit juga sangat jernih," kata Sandy Mao di Kowloon yang saya wawancarai untuk sebuah majalah waktu itu.

Malam itu saya lihat sendiri di Victoria Park tiap keluarga menggelar tikar plastik di atas rerumputan, dan memasang lampion di dekat tempat duduk. Para orang tua saling berbincang sambil menikmati bekal dan memperhatikan anak-anak yang dengan riang bermain lilin.

Anak lainnya berlarian ke sana-kemari dengan membawa lampion yang bernyala terang bersama saudara atau temannya. Tampak juga beberapa bocah bermain lempar-lemparan benda elektrik berupa lingkaran bercahaya dengan ayahnya.

Benda melingkar itu, yang malam itu banyak di jual di sana, mengingatkan orang pada bulan yang seakan-akan telah mereka raih dalam pelukan.

Panggung seni tradisional dan pameran lampion

Para pengunjung bisa menikmati kesenian di beberapa panggung terbuka, yang menyajikan berbagai pertunjukan tari maupun musik tradisional. Di panggung utama yang berukuran sangat besar, tampak back ground cantik bergambar seorang penari China klasik. Pada ketiga sisi panggung ini didirikan menara untuk mengatur pencahayaan pentas.

Ada pula Photo Corner yang didesain khusus, dengan setting bangunan-bangunan kuno artifisial, yang menggambarkan taman kerajaan. Berdiri di sana seorang perempuan berpakaian tradisional dan berdandan bak putri kaisar.

Di sampingnya, berdiri seorang lelaki tampan berpakaian bak seorang pangeran di masa lalu. Mereka berdua ini mejeng di sana melayani para pengunjung yang ingin berfoto bersama mereka berdua, atau hanya dengan salah satu dari mereka. Banyak orang mesti antre panjang untuk berfoto.

Paling menarik adalah stand pameran lampion, yang digelar di sebuah bangunan khusus. Belum lengkap rasanya kalau orang belum melihat pameran ini. Tak heran, karena itu kami harus antre dalam jubelan orang yang diatur dalam alur berkelok-kelok seperti labirin.

Untungnya, budaya antre sudah tidak asing di sana, sehingga tidak tampak orang berdesak-desakan apalagi saling dorong. Pembatas alur tetap utuh tak tersentuh. Tampak hampir di setiap wajah keriangan dan antusiasme menyaksikan lampion berbagai bentuk, ukuran, dan warna.

Corak-corak tradisional berwarna merah, lengkap dengan kaligrafi dan gambar naga banyak dijumpai, selain bentuk-bentuk binatang seperti burung hong, kelinci, dan ikan.

Paling banyak mendapat perhatian pengunjung adalah lampion berbentuk pahlawan naik kuda dalam ukuran sebenarnya. Figur itu tampak gagah dan mengingatkan kepahlawanan masa lalu, saat bangsa Cina mengusir penguasa Mongol.

Moon cake dan legenda tentang bulan

Sejak kapan mereka merayakan Mid-Autumn Festival? Tidak ada yang tahu persis. Tetapi, ada catatan bahwa pada masa Dinasti Tang (618-906) orang sudah merayakan "Festival Bulan" pada hari ke-15 bulan ke-8 setiap tahunnya.

Masyarakat China adalah masyarakat agraris, yang menghitung waktu tanam dan panen berdasar peredaran bulan. Karena itu, mereka memberi perhatian istimewa pada bulan.

Menurut legenda, di bulan itu tinggallah seorang putri cantik bernama Chang Er (versi lain menyebut Chang E atau Chang O). Ia hidup selamanya karena meminum obat keabadian milik Hou Yi, suaminya, yang mendapatkannya karena berjasa memanah jatuh 9 dari 10 matahari yang membakar bumi.

Khawatir suaminya marah, Chang Er lalu melarikan diri ke bulan. Tidak begitu jelas alasannya bahwa selanjutnya memandang bulan menjadi bagian wajib dari Mid-Autumn Festival. Mungkin, awalnya itu menjadi bagian dari wujud kegembiraan atas suksesnya panenan.

Pada saat perayaan itu mereka juga membuat kue yang disebut moon cake. Tak seorang pun tahu kapan moon cake menjadi bagian tak terpisahkan. Diketahui, pada abad ke-14, orang sudah mengenal moon cake. Kisahnya diawali pada masa Dinasti Yuan, penguasa Mongol, yang menindas rakyat. 

Penindasan itu membangkitkan pemberontakan dipimpin oleh Zhu Yuan Zhang. Ia menulis pesan "pemberontakan pada malam purnama bulan ke-8" yang disembunyikan dalam moon cake dan disampaikan kepada para pemberontak. Orang-orang yang menerima pesannya lalu memasang lampion di atas pintu atau jendela sebagai tanda bersedia ikut berjuang.

Pesan kultural menjadi pesan universal

Larut malam itu saya meninggalkan Victoria Park dengan perasaan heran dan kagum sekaligus. Hong Kong, dengan masyarakat metropolisnya yang super sibuk, ternyata memiliki pesona tradisi untuk menciptakan kehangatan keluarga. "Masyarakat Hong Kong sangat disibukkan oleh pekerjaan. Kami sering makan di luar dengan relasi bisnis atau teman.

Karena itu, orang-orang sangat menghargai saat-saat bisa makan di rumah bersama anggota keluarga, khususnya pada perayaan ini," tutur Rowena Liu saat kami berbincang di trotoar Nathan Road.

"Pertama, itu menjadi kesempatan yang baik untuk mempererat tali kekeluargaan. Dengan berkumpul dan saling berbagi cerita, keutuhan keluarga akan semakin diteguhkan. Kedua, kesadaran kami akan budaya warisan leluhur makin dikuatkan. Karena Hong Kong merupakan metropolis internasional yang sangat banyak mendapat pengaruh budaya Barat, kami memerlukan festival tradisional seperti ini untuk mengingatkan kami akan pentingnya menyadari identitas kultural kami," imbuhnya.

Penguatan keluarga dan pewarisan budaya menjadi pesan universal, dan Jogjakarta telah menambahkan pentingnya kehangatan relasi keberbedaan dalam kehidupan bersama. ***

F.X. Warindrayana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun