Tatap saya masih terpaku pada kata itu, yang terangkum dalam pedoman ke delapan, dalam lembar berbingkai yang tergantung di dinding rumah makan Pring Gading. "Kerja keras dan keuletan". Semangat itu rupanya menjadi pusaka yang telah diwariskan turun-temurun, dan terbukti membawa kesuksesan.
Pemilik Pring Gading tentu bukan lord apalagi emperor, tapi ia terbukti survive dari berbagai impitan, termasuk impitan politik Orde Baru. Ia sukses mengubah toko kecilnya yang semula bernama Seng Hwo, menjadi rumah makan yang berkembang. Tanpa sadar saya menoleh ke arah anak saya, yang belum berusia tiga tahun waktu itu.
Matanya bening sipit dan kulitnya kuning bersih seperti mamanya. Akankah ia juga bakal mendapatkan mantra gaib itu dari mamanya? Atau, ia bakal mendapat warisan budaya Jawa dari ayahnya? Kami belum tahu. Sebagai warga nonpribumi -maaf, kosa kata itu sebenarnya sudah dihapus- keturunan overseas chinese generasi keempat, mamanya tak lagi paham budaya leluhur
 Ia pun tak kenal utuh Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, ataupun Ji Cap Si Hau ajaran Konfusius yang biasa disampaikan orang tua kepada anaknya di masa lalu. Ia bahkan terheran-heran dan tertawa geli ketika saya bawakan oleh-oleh sejumput tanah leluhur dari Cina Daratan sepulang tugas jurnalistik dari sana. Kami tak tahu budaya setempat macam apa yang akan kami wariskan pada anak kami, ketika dunia makin rata dan banyak terjadi peleburan budaya.
Namun, kami sepakat. Mesti ada nilai utama yang disampaikan, yang mungkin itu termuat dalam kemasan budaya entah apa. Yang penting, ia memiliki kebudayaan pribadi yang baik. Tidak menjadi soal apa pun rangsang budayanya. Para overseas chinese itu pun belum tentu mengenal  forma Empat Belas Pedoman Hidup Manusia, tetapi mereka paham nilai utama kerja keras dan keuletan yang terbukti berguna bagi keturunannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H