Mohon tunggu...
F.X. Warindrayana
F.X. Warindrayana Mohon Tunggu... -

mari berbagi hal baik lewat tulisan, "nemo dat quod non habet"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pentingnya Menyampaikan Dongeng pada Anak

10 November 2017   09:50 Diperbarui: 12 November 2017   10:36 2073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah bertahun-tahun, sejak sebagai seorang pemuda kecil di Baghdad hingga kini, aku mendengarkan kisah-kisah Seribu Satu Malam. Kadang-kadang rasanya seperti baru kemarin, kadang-kadang seperti berabad-abad yang lalu.... Pada malam-malam yang panjang di musim dingin, nenekku didatangi Um Fatmah atau Um Ali. Kami berkerumun di seputar tungku arang. Aku menunggu dengan sabar, sementara dia dan nenek saling bertukar berita, tenggelam dalam gosip, berbisik satu sama lain. Ketika perbincangan terhenti, wanita itu tersenyum kepadaku. Pada saat itulah aku minta didongengi - sebuah dongeng yang panjang...."

Dokpri
Dokpri

Husain Haddawy, pemuda Arab kecil itu, kini adalah profesor bahasa Inggris di University of Nevada di Reno. Ia menerjemahkan naskah-naskah Kisah Seribu Satu Malam dari naskah Syria abad ke-14 yang dianggapnya paling otentik, dan menerbitkannya dengan judul The Arabian Nights. Kisah legendaris yang banyak versinya ini dikenal pula dengan judul A Thousand Nights and A Night. Dalam bahasa Arab, Alf Laylah wa Laylah.

Tak seorang pun tahu secara tepat kapan cerita itu dilahirkan. Selama berabad-abad kisah itu dituturkan dalam pertemuan-pertemuan keluarga, perkumpulan masyarakat, dan kedai-kedai kopi di Baghdad, Damaskus, atau Kairo. Bahkan, Haddawy sendiri dalam perjalanan ke Marrakech belum lama ini melihat seorang pendongeng di alun-alun sedang dikelilingi para pendengarnya.

Sedemikan hebat dampak dongeng sampai Kisah Seribu Satu Malam dikatakannya mampu mengobati dan menyelamatkan banyak jiwa. Syahrazad, versi lain Scheherazade, menyembuhkan Raja Syahriar dari kebenciannya terhadap perempuan, mengajarinya untuk mencintai, dan sekaligus Syahrazad menyelamatkan dirinya sendiri dan para perempuan senegeri. 

Ia mampu menyampaikan cerita menarik bermakna dan mengakhiri sebelum puncak cerita, sehingga mengusik rasa ingin tahu raja akan kelanjutannya. Juga, Khalifah Harun Al-Rasyid dikatakan merasa lebih puas kalau dapat memenuhi rasa kagumnya dengan mendengarkan dongeng, daripada memenuhi kehausannya akan balas dendam dan perang. Bahkan, jin-jin yang sedang marah pun konon dapat dimanusiakan dan dijinakkan oleh sepenggal kisah yang baik.

Kisah yang baik, mungkin itu kuncinya. Barangkali, pernyataan ini juga mengandung peringatan bahwa tidak semua dongeng dikategorikan baik. Kenyataan bahwa dongeng disukai oleh banyak orang dari berbagai usia, utamanya anak-anak, menjadikan peringatan tersebut patut mendapat perhatian. Apalagi, banyak pendidik mewacanakan pentingnya menyampaikan dongeng pada anak. 

Dikatakan bahwa mendongeng di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar amat penting dalam pengajaran bahasa. Di samping dapat mengembangkan kemampuan bahasa, daya imajinasi, daya pikir, pengetahuan sosial, emosi, dan nilai moral anak, juga berfungsi untuk melatih kreativitas dan daya kritis anak. Sementara itu, dikatakan juga bahwa kegiatan mendongeng dapat mendekatkan relasi orang tua dengan anak. 

"Dongeng yang dibawakan oleh ayah atau ibu jauh lebih lengkap dalam memperkaya perkembangan anak, sebab di dalamnya ada sentuhan afektif yang tidak terdapat di dalam buku, atau di dalam film-film animasi di televisi dan video," kata Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto.

Dongeng, kendati dikatakan mempunyai banyak manfaat, tetaplah hanya forma kendaraan komunikasi yang bisa dimuati nilai apa pun sebagai materialnya. Keliru, kata Jaya Suprana, kalau secara membabi buta menganggap semua materi dongeng pasti bagus bagi pendidikan mental anak-anak. 

Menurutnya, cukup banyak dongeng mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Ia mencontohkan dongeng negeri sendiri, Sangkuriang, sambil memerinci sisi rawannya. Dongeng dari negeri seberang, seperti karya-karya Grimm yang terkenal pun dikatakannya tak semua mendidik. Dicontohkan, tekanan pada sosok ibu tiri yang digambarkan kejam. Anak-anak dari keluarga-keluarga yang terpaksa memiliki ibu tiri, sering dihantui prasangka bahwa ibu tiri pasti jahat seperti digambarkan dongeng yang potensial membentuk suasana self fulfilling prophecy tersebut. Atau "Hansel dan Gretel", yang justru dikhawatirkan bisa menyebabkan anak-anak susah tidur karena ketakutan.

 Atau, sebenarnya dongeng sebagai forma saja sudah memuat kebaikannya, tanpa harus memerhatikan materinya? Dan, kisah-kisah yang dianggap "buruk" pun tetap memperkaya imajinasi anak? "Aku pun jadi berada dalam perasaan bernostalgia, puas, dan sekaligus kehilangan. Lalu aku pergi tidur, bersama burung-burung ajaib dan jin-jin yang mengejar-ngejar sepasang kekasih yang tak bersalah, dan menghantui mimpi-mimpiku...," tulis Haddawy mengenang masa kecilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun