Sebuah lagu madura terdengar diputar melalui salah satu platform digital, syairnya sederhana namun cukup mengena lantaran menceritakan sebuah sosok yang dalam lagu tersebut dijuluki sebagai kembangga negara (bunga negara) yang berasal dari barat lautnya Bangkalan, ksatria gagah berani yang suci membela negara dan menjadi suri teladan bagi generasi selanjutnya.
Ksatria Madura Memenangkan Sayembara
Suatu ketika puteri raja pamecutan menderita penyakit yang susah disembuhkan, sejumlah tabib dan orang pintar didatangkan namun belum berhasil juga hingga kabar sakitnya puteri Bali akhirnya terdengar oleh ksatria madura tersebut, rasa kemanusiaannya terpanggil dan meninggalkan ritual tafakkurnya kepada sang penguasa semesta. Tekadnya membulat berbekal ilmu pengobatan yang dikuasainya serta tarikh perjuangan serupa yang telah diketahuinya tentang keberhasilan seorang pendekar dari samudera pasai bernama maulana Ishaq dalam mengikuti sayambera mengatasi wabah dan mengobati puteri prabu menak sembuyu yang bernama Dewi Sekardadu.
Sejarahpun berulang, ksatria madura akhirnya berhasil memenangkan sayembara, sebagaimana yang dijanjikan ia pun kemudian dapat mempersunting Gusti Ayu Made Rai yang bernama muslimah Raden Ayu Siti Khotijah dan sepakat untuk tidak memboyong putri raja pamecutan itu ke Bangkalan Madura.Â
Sepulangnya kembali ke Madura sang ksatria menunaikan janji dan bukti cintanya dengan mengirimkan beberapa prajurit pilihan dari Madura untuk mengawal dan menjaga istri tercintanya di lingkungan Puri pamecutan.
Raden Ayu Pamecutan yang telah menjadi muslimah bersama dengan Para Prajurit Madura merupakan cikal bakal komunitas muslim di pamecutan yang hingga saat ini bisa hidup damai berdampingan dengan penduduk pribumi yang beragama Hindu.
Ksatria Madura perjuangannya menginspirasi Nelson Mandela
Keras dan gigihnya perlawanan kepada penjajah Belanda menjadikan ksatria Madura terus menjadi target untuk dihabisi dan dilucuti kedudukannya.
Membunuh sang ksatria justru akan mengobarkan perlawanan yang lebih besar dari rakyat madura sehingga opsi yang diambil penjajah adalah mengasingkan sang ksatria Madura ke Batavia kemudian dengan kapal besar mendaratkannya sebagai tahanan politik di Tanjung Harapan (Kaap de Goede Hoop), sebuah pulau di ujung barat semenanjung Afrika.
Di Pulau Robben itulah ksatria Madura memulai lembaran barunya, dimanapun bumi dipijak disitulah perjuangan harus dilanjutkan. Di pengasingan ia tidaklah sendiri melainkan bersama kawan-kawan senasib yang dijauhkan dan negara, rakyat dan keluarganya.
Dikalangan para tahanan politik ksatria madura dipandang sebagai orang alim berilmu tinggi, beliau bisa menjadi tabib mengobati sesama yang tengah terganggu kesehatannya juga menjadi pemimpin spiritual yang tak kenal lelah mengajarkan agama bagi siapapun yang merindu damai dalam jiwa.
Hari harinya  tetap dipenuhi dengan api perjuangan yang tak pernah padam dan diliputi keyakinan bahwa kelak akan tiba masanya ia bisa kembali pulang untuk melanjutkan perjuangan ditengah-tengah keluarga dan rakyat yang dicintainya.
Ksatria Madura ditakdirkan syahid dalam perjuangannya di pengasingan  selama (1746-1754) dan dikebumikan di pulau itu yang berjarak sekitar 50 mil dari cape town Afrika Selatan. Pada salah satu dinding makamnya tertera tulisan 'the grave of shaikh Mathura, the first man who reading holy Qur'an in south africa'
Nelson Mandela yang dipenjarakan selama 29 tahun oleh rezim apartheid di pulau itu masih menyimpan tanda tanya besar mengenai sosok misterius bernama Shaikh Mathura yang makamnya dikeramatkan dan hampir tidak pernah sepi diziarahi.
Ia mengakui sangat terinspirasi oleh sosok pejuang yang dalam pandangannya begitu tabah dengan jalan perjuangan yang menjadi pilihannya serta tetap tegar dalam memikul beratnya konsekuensi perjuangan yakni dibuang, dipenjara dan gerak geriknya senantiasa berada dalam pengawasan.Â
Nelson Mandela menyadari betapa hukumannya selama 29 tahun di Pulau Robben belumlah sebanding dengan sosok misterius di makam keramat itu yang dipenjarakan oleh penjajah, meninggal di pulau itu dan tak pernah kembali ke negerinya.
Panembahan Cakraningrat IV Kembangnga Nagara
Ksatria Madura tersebut bernama Raden Djoerit atau Pangeran Sosrodiningrat yang setelah berkuasa bergelar Sultan Abdurrahman Panembahan Cakraningrat IV, keratonnya di Sambilangan  sisi barat lautnya Bangkalan. Seorang ksatria sejati yang gugur sebagai Bunga Negara atau kembangnga Nagara dalam bahasa madura.Â
Merujuk beberapa sumber dan literatur ksatria madura ternyata memiliki beberapa nama atau sebutan antara lain Shaikh Mathura, Sayed Abduraghman Motura dan Panembahan Siding Kaap. Julukan yang terakhir dikarenakan ia wafat pada tahun 1754 di Kaap atau Cape Town, jenazah beliau kemudian dipindahkan oleh puteranya Cakraningrat V ke Madura untuk dikebumikan di Kompeks Pemakaman Aermata Ebhu.
Ksatria Madura telah tiada namun jejak perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi anak bangsa di seantero Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H