Pada Bagian sebelumnya telah dikisahkan sosok begawan suci yang mengikhlaskan dirinya berhijrah ke tanah Jawa demi menghadirkan solusi bagi mengatasi berjangkitnya penyakit yang mewabah. Kesuksesannya berbuah Reward dari Prabu Brawijaya berupa tanah perdikan yang telah dijanjikan, Â diatas tanah itulah kemudian tegak berdiri pesantren Ampel Denta yang selanjutnya menjadi episentrum dakwah dan pergerakan di Nusantara.
Berselang sewindu wabah penyakit mematikan itu kembali melanda tanah Jawa tepatnya di ujung pesisir timur Blambangan, saat itu keadaan lebih gawat dan genting  dikisahkan peristiwa tersebut sebagai pageblug siapapun yang terserang dan terjangkit wabah ganas itu diperkirakan tidak akan mampu bertahan hidup lebih dari sehari, pagi kena sore mati ; sore kena malam mati dan malam kena pagi keesokan harinya mati.
Banyak orang pintar, berilmu tinggi dan sakti mandraguna yang diundang untuk meredakan pandemi tersebut namun berakhir sama, pandemi tak kunjung mereda.
Raja Blambangan Menak Sembuyu pada akhirnya menitahkan Patih Bajul Sengara untuk mengabarkan sayembara secara luas hingga ke negeri manca. Setiap kapal yang bersandar di pantai Blambangan ikut memberitakan sehingga tidak berselang lama sayembara itupun menyebar hingga ke bandar-bandar besar di Nusantara.
Berita itu sampai juga ke Ampel Denta, saat itu Sunan Ampel tengah kedatangan pamannya yang bernama Maulana Ishaq dari Samudera Pasai. Demi Mendengar bencana wabah itu Maulana Ishaq tergetar hatinya, bukan karena sayembara itu melainkan bayangan wabah yang begitu merasuki pikirannya. Kebimbangan meliputi jiwanya antara kembali ke pasai melanjutkan tugasnya atau memenuhi panggilan kemanusiaan.
Sunan Ampel dengan ketajaman mata batinnya segera bisa membaca situasi tersebut, dikuatkanlah hati pamannya yang gundah gulana betapa kemungkinan itulah jalan yang  dibukakan untuknya seraya menceritakan sepenggal kisah perjalanannya dari negeri champa hingga ke tanah Jawa.
Kiranya hanya Allah tempat paling tepat untuk menguatkan hati demikian yang disampaikan Syaikh Ali Rahmatullah kepada Maulana Ishaq dan  menyarankan pamannya agar senantiasa memperbanyak bermunajat terutama disepanjang perjalanannya menuju negeri Blambangan.
Dalam perjalanannya menyusuri pesisir pantai Utara Syaikh Maulana Ishaq konon disertai beberapa santri Ampel Denta. Â Beliau memutuskan singgah disebuah daerah bernama Pilang di Probolinggo, Di daerah yang sejuk dengan hembusan angin gendingnya itulah kemudian dibangun sebuah tempat untuk bermunajat berupa langgar sederhana dalam waktu sehari saja sehingga masyarakat sekitar menjulukinya sebagai langgar tiban.
Di samping langgar itu terdapat batu lempeng berukuran besar yang digunakan sebagai altar.
Setelah merasa cukup bermunajat dan bertafakur di tempat itu maka Maulana Ishaq meneruskan perjalanannya menuju Blambangan.
Sementara di negeri Blambangan korban wabah itu bertambah banyak berjatuhan, bahkan putri prabu menak Sembuyu dikabarkan juga terjangkit dan jatuh sakit, sebuah pertanda betapa wabah itu telah masuk ke jantung  ibukota.
Maulana Ishaq sudah sampai di Blambangan dan oleh sang Patih langsung dihadapkan kepada Prabu Menak Sembuyu.
Raja Blambangan itu ingin mendengar langsung apa yang hendak dilakukan setiap peserta sayembara termasuk Maulana Ishaq.
Dengan mengharap Rahmat dan Pertolongan Yang Maha Kuasa dipresentasikanlah bagaimana ikhtiar yang bisa dilakukan dengan mengambil Ibrah dari kejadian serupa yang pernah terjadi di tempat lain.
Benang merahnya adalah kembali kepada syari'at bersuci dan mensucikan diri. Menurut pengamatan Maulana Ishaq beberapa sumber Mata Air di Blambangan sudah tercemar oleh zat yang sangat beracun dan mengatasi wabah semestinya dilakukan dengan menyentuh akar permasalahannya.
Itulah yang berbeda dari yang dilakukan oleh peserta-peserta sayembara sebelumnya. Prabu Menak Sembuyu masih sangsi bagaimana permasalahan itu bisa dituntaskan secepatnya. Maulana Ishaq menuturkan dengan hujan yang tercurah air dalam tanah dapat dinetralkan kandungan asam basanya dan sumber mata air akan berangsur normal kembali.
Prabu Menak Sembuyu diam tertegun mendengar semua penuturan itu, sungguh sebuah hal yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Semula bayangannya musibah itu terjadi lantaran sihir dari orang yang berilmu tinggi dan sihir itu hanya bisa dilawan dengan sihir juga.
Setelah merasa yakin barulah Maulana Ishaq diperbolehkan mengobati Dewi Sekardadu. Dengan dibantu tabib istana segeralah dilakukan beberapa terapi untuk melancarkan peredaran darah dan memulihkan kesadaran Dewi sekardadu serta diraciknya ramuan herbal untuk menetralisir racun dalam tubuh.
Dengan Kuasa Ilahi sang putri berangsur pulih dan Maulana Ishaq mulai bisa berkonsentrasi mengatasi wabah di luar istana. Sholat Istisqa' dilakukan untuk meminta hujan, tidak berselang lama hujanpun turun dengan lebatnya mencari jalannya untuk dapat menetralkan racun di dalam tanah.
Demikianlah kisah Begawan Suci dari samudera pasai yang dengan Karomahnya telah dimudahkan untuk mengatasi wabah dan memenangkan sayembara.
Dan itulah kiranya jawaban atas do'a-do'a sang ayah 'syaikh Jumadil Kubro' agar anak keturunannya bisa menjadi pionir dakwah di tanah Jawa.
Dari pernikahan dengan Dewi Sekardadu itulah Maulana Ishaq mempunyai seorang putra  bernama Maulana Ainul Yaqin yang kelak tertulis dalam sejarah berhasil mendirikan kerajaan Islam di Giri Kedaton Gresik.
Wallahua'lam...Semoga Bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H