Zaman semakin maju dan waktu terus melaju. Namun, kehidupan selalu memberi ruang untuk yang lama. Tetap ada tempat bagi sesuatu dari masa lalu untuk hadir menyertai masa kini. Menemani generasi-generasi baru dan menyapa lagi generasi lama yang merindu.
Awal Januari lalu saya melalui masa nostalgia ini ketika menjumpai sepeda penjual susu "Nasional" berhenti di tepi jalan. Dikerumuni beberapa orang dewasa, padahal susu itu dulu dikenal sebagai jajanan anak-anak yang sering dijumpai di depan gerbang sekolah.
Dulu susu tersebut termasuk jajanan mewah untuk saya. Meski harganya tidak semahal susu lainnya, tapi uang harian saya tidak pernah tersisa banyak untuk membeli lebih dari satu jajanan. Apalagi jatah uang jajan harian itu sudah termasuk ongkos naik angkutan umum menuju dan pulang sekolah. Sedikit yang tersisa biasanya habis untuk membeli gorengan atau minuman lain di kantin. Jika ingin membeli susu itu berarti saya tidak bisa lagi membeli makanan atau minuman lain sepanjang hari yang tersisa. Kecuali pada hari ketika saya memilih naik sepeda untuk berangkat dan pulang sekolah. Maka uang yang tersisa bisa untuk membeli susu.
Dulu susu sebenarnya bukan minuman kesukaan saya. Beberapa kali secara diam-diam saya bahkan membuang susu hangat yang sudah dibuatkan ibu sebagai tambahan sarapan.
Namun, susu Nasional sering berhasil menggoda saya untuk meminum susu. Salah satu sebabnya karena disajikan dingin dan segar seperti es. Rasanya pun enak dan saya sangat menyukai rasa vanilla dibanding varian rasa lainnya yang dimiliki susu Nasional.
Kenangan dari sekitar tahun 2000-an tersebut bangkit lagi pagi itu. Menggerakkan saya untuk menghampiri sepeda biru yang rasanya masih sama wujudnya seperti sepeda dari penjual susu yang dulu kerap muncul di muka sekolah.Â
Pak Warto (62) sedang melayani orang-orang yang memilih susu dari kotak di atas sepedanya. Beberapa orang membeli dalam jumlah agak banyak. Kemungkinan untuk persediaan atau mereka sedang ingin memuaskan kerinduan pada rasa susu legendaris ini.
Tiba giliran saya memilih. Susu dalam gelas-gelas plastik berukuran kecil aneka warna amat menyenangkan pandangan. Melihatnya bukan hanya bibir yang tersenyum, tapi juga perasaan saya ikut berseri. Rasa vanila, stroberi, coklat dan moka, masih lengkap. Pak Warto juga membuka satu kotak lagi yang berisi susu dalam kemasan berbeda, yakni bungkusan plastik seperti bantal. Selain susu, ada pula yoghurt aneka rasa.
"Yang ini sepuluh ribu tiga", Pak Warto menyebutkan harga untuk susu dalam kemasan gelas plastik. Sedangkan susu dalam kemasan plastik bantal harganya lebih murah, yakni Rp2000.
Ternyata meski waktu telah bergerak maju puluhan tahun, susu ini tetap lebih murah dibandingkan produk-produk susu dalam kemasan lainnya yang memenuhi rak-rak minimarket, supermarket, maupin warung-warung rakyat. Padahal kalau ditinjau kualitasnya, susu legendaris ini tergolong unggul. Sebab kandungan susunya lebih dari 70%. Sementara beberapa produk minuman susu lain kandungan susunya justru di bawah itu.Â
Mungkin keunggulan kualitas itulah yang membuat susu Nasional tetap memiliki penggemarnya tersendiri dan bertahan melintasi waktu meski digempur puluhan mereka minuman susu yang lain. Kesetiaan selama puluhan tahun itu dibalas dengan kesetiaan banyak orang yang tetap memilihnya dan tak mengubah seleranya. Setiap kali terdengar bunyi khas  dari pengeras suara sepeda gerobak penjual susu Nasional, telinga seperti mendapat pesan berisi kegembiraan dan mulut tanpa sadar ikut melagukan "susu murni nasional".
Kesetiaan pula yang membuat Pak Warto bertahan selama lebih dari 20 tahun berjualan susu Nasional. Sejak tahun 2000 ia tak berganti profesi. Bermula dari Tangerang, ia merantau ke beberapa kota. Perjalanan panjang tersebut membuatnya bisa mengerti preferensi pembeli di setiap kota mulai dari Tangerang, Lampung, Surabaya, dan Yogyakarta. Misalnya, di Surabaya dan Yogyakarta menurutnya banyak pembeli lebih berminat pada susu dengan kemasan yang lebih besar.Â
Saat ditanya mengapa ia betah dan setia menjadi penjual susu Nasional, Pak Warto dengan yakin menyebutkan alasannya. Selain tidak dibebani target penjualan yang berlebihan, ia pun bisa mendapat bonus dua kali dalam setahun, termasuk tunjangan hari raya. Hal itu membuatnya merasa cukup.
Dalam sehari ia pun bisa berjualan satu kali atau dua kali tergantung kondisi. Ia mencontohkan pada malam akhir tahun lalu ia berjualan dua kali. Usai berkeliling dari pagi, ia kembali mengambil stok susu dan berjualan lagi hingga tengah malam. "Itu saya bisa dapat untung empat ratus ribu", katanya.
Meski demikian, Pak Warto kadang tidak bisa memastikan kapan dan di mana ia bisa ditemui secara tetap. Hal itu karena ia selalu berkeliling setiap hari. Jika di satu tempat sedang ramai atau banyak pembelinya, ia akan bertahan lebih lama di tempat tersebut sehingga di tempat selanjutnya ia akan tiba lebih lambat.
Selama puluhan tahun berjualan susu, Pak Warto sudah tiga kali berganti sepeda. Agar lebih awet ia membersihkannya setiap hari. "Kalau sepedanya bersih, pembeli kan jadi suka dan mau beli lagi, iya nggak?", tambahnya.
Sepeda warna biru memang menjadi ikon susu Nasional selain bunyi pengeras suaranya yang khas. Dulu sepeda dan pengeras suara tersebut dipandang istimewa karena jarang dijumpai penjual yang menggunakan perlengkapan, termasuk topi dan seragam sebagus itu.
Menariknya, saat zaman bergerak maju dan cara berjualan seperti demikian sempat dianggap sudah ketinggalan zaman, ternyata sepeda dan pengeras suara susu Nasional belum diistirahatkan. Bahkan, diakui atau tidak telah menginspirasi banyak penjual pada zaman sekarang untuk mengadopsi caranya. Penjual sayur, penjual daging, penjual tahu, penjual buah, penjual jajanan, hingga penjual kopi kini semakin lumrah berkeliling menggunakan sepeda yang dimodifikasi dengan gerobak dan pengeras suara.Â
Ternyata benar bahwa sesuatu yang lama tidak selalu akan mudah ditinggalkan dan dilupakan. Tetap ada ruang di ingatan dan tempat di hati bagi apa saja yang telah setia melintasi zaman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H