Tanpa kriteria yang jelas dan tegas, kurasi oleh Kompasiana akan menimbulkan ketidakdilan. Tanpa ketelitian dan ketelatenan, moderasi akan berubah menjadi pengekangan berkreativitas dan berekspresi.
Kemarin (5/12/2024) saya menayangkan sebuah artikel di Kompasiana berjudul “Indonesia Akan Punya Duta Anti-Goblok Nasional?”. Tayang pagi hari, artikel itu muncul wajar pada kelompok artikel pilihan. Adanya kompasianer yang memberikan reaksi nilai menandakan artikel tersebut telah dibaca oleh beberapa mata.
Namun, sebuah notifikasi menyertai penayangannya. Artikel itu dinyatakan melanggar ketentuan dan tidak bisa dipublikasikan. Sesaat hilang, tak lama kemudian muncul lagi dengan penyesuaian, yakni label Pilihan dicabut.
Saya mencari tahu apa yang terjadi. Memeriksa notifikasi untuk mendapatkan informasi pada bagian mana artikel tersebut telah menyalahi ketentuan. Sayangnya tidak ada informasi yang saya temui di sana.
Melanjutkan ke formulir banding agar artikel ditinjau ulang pun hanya membawa saya ke kebingungan yang baru. Apa yang hendak saya tulis sebagai pembelaan? Tautan dan dokumen apa yang perlu saya unggah? Sementara saya tidak diberitahu letak masalahnya.
Pencabutan label Pilihan saya pahami sebagai bentuk sanksi bahwa artikel tersebut telah diperiksa oleh tim moderasi Kompasiana dan dinyatakan melanggar. Belakangan saya mendapat informasi bahwa “kemungkinan” artikel itu terdeteksi provokatif karena ada kata “Goblok”.
Sejujurnya saya heran bahwa artikel itu divonis dengan pertimbangan “kemungkinan”. Lebih mengherankan lagi Kompasiana menyimpulkan adanya unsur provokasi hanya berdasarkan deteksi terhadap satu kata, yakni “Goblok”.
Padahal jika dibaca lengkap artikel tersebut merupakan tinjauan dari kebiasaan pengangkatan-pengangkatan duta di Indonesia. Seperti Duta Anti Judi Online, Duta Pancasila dan sebagainya. Bahwa para duta diangkat bisa melalui jalur prestasi maupun kontroversi. Lantas saya menyinggung kemungkinan pengangkatan Miftah Maulana sebagai duta mengingat kontroversi yang baru saja dibuatnya saat berceramah.
Apakah Kompasiana menghendaki istilah yang lebih halus selain “Goblok”? Entahlah karena sekali lagi pemberitahuan pelanggaran tidak disertai alasan rinci. Apakah jika saya menayangkan ulang dengan mengganti kata “Goblok” menggunakan “Bodoh” akan mengubah penilaian?
Lagipula sanksi kepada artikel itu berupa “kemungkinan” adanya provokasi. Jadi Kompasiana pun belum yakin betul sehingga informasinya berupa “kemungkinan” dan bukan “kepastian”.