Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Tentang "Anak Semua Bangsa", Buku yang Dibenci dan Ditakuti Penguasa

4 November 2024   08:38 Diperbarui: 4 November 2024   08:52 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai golongan terpelajar, Minke akhirnya menyadari bahwa pengajaran yang diterimanya telah diarahkan untuk mendukung kepentingan kolonial. Hanya sedikit pribumi yang bisa mencicipi sekolah seperti dirinya. Sebab penguasa kolonial tidak menginginkan terlalu banyak muncul golongan terpelajar di tanah jajahannya. Banyaknya golongan terpelajar akan membangkitkan kesadaran suatu bangsa tentang masa depan. Rakyat yang terpelajar merupakan ancaman bagi kepentingan kolonial. 

Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh seorang kawan kepada Minke: "Gubermen di sini sangat pelit memberikan pendidikan dan pengajaran pada pribumi. Ilmu dan pengetahuan dijual semahal-mahalnya"

Begitulah cara menaklukan suatu bangsa. Yakni dengan membatasi pendidikan dan pengajaran agar rakyat tetap bodoh. Kebodohan membuat rakyat rendah diri dan takut. Ketidaktahuan membuat rakyat patuh membungkuk pada kehendak penguasa.

Adakah cara-cara demikian kita jumpai pada era sekarang? Masyarakat di negara yang sudah merdeka masih dipersulit mengakses pendidikan yang berkualitas. Bahkan, seorang pejabat dengan penuh keyakinan berkata bahwa pendidikan tinggi hanya kebutuhan tersier. 

Biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau. Kualitas dan aksesnya tidak merata. Sistem pendidikan dan pengajaran dibuat tidak mantap. Guru dan pengajar pun diperlakukan sebagai golongan yang kurang dihargai.Kondisi demikian terus dibiarkan. Seperti tidak ada kehendak dan langkah nyata untuk memperbaiki. Barangkali benar dari dulu hingga sekarang rakyat yang terpelajar adalah ancaman bagi orang-orang yang ingin berkuasa. 

Bicara dan menulis, dua hal yang tidak disukai oleh orang-orang yang ingin selalu berkuasa (dok. pribadi).
Bicara dan menulis, dua hal yang tidak disukai oleh orang-orang yang ingin selalu berkuasa (dok. pribadi).

Lalu bagaimana agar rakyat bisa bangkit? Ketika persengkokolan penguasa, pengusaha, hukum dan aparat terlalu kuat, masihkah ada cara rakyat melawan?

Nyai Ontosoroh dan Minke menunjukkan bahwa saat rakyat merasa sudah tidak punya kekuatan untuk melawan, masih ada satu yang dimiliki, yakni mulut untuk bicara. Maksudnya "bicara" tidak hanya ucapan lisan, tapi juga tulisan. Itu sebabnya sahabat-sahabat Minke juga mendorong Minke untuk terus menulis. Bicara dengan lisan dan tulisan adalah upaya  membela hak-hak. 

Seorang yang bicara dan menulis mungkin dianggap terlalu sedikit. Tapi ucapan dan tulisan dari seorang bisa didengar dan dibaca oleh seorang lainnya, lalu diikuti oleh seorang berikutnya, dan seterusnya hingga satu bangsa ikut mendengar dan membaca. Sekali suatu bangsa bangkit bicara dan menulis, kekuatannya tidak akan bisa dilawan lagi. 

Anak Semua Bangsa ditutup dengan kekuatan "bicara". Sesuatu yang ditakuti dan tidak disukai oleh orang-orang yang berkuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun