Beberapa waktu lalu saya memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit swasta yang dikelola olah yayasan/lembaga Islam.Â
Belum pernah saya periksa kesehatan ke sana. Kedatangan hari itu tak lepas dari rekomendasi dokter umum yang sebelumnya memeriksa saya. Sang dokter umum menyarankan saya untuk mendatangi dokter spesialis sehingga akan diketahui apakah diperlukan pemeriksaan lanjutan atau tidak.
Disebutkan olehnya beberapa dokter spesialis yang dianggapnya mumpuni. Ada yang bertugas di rumah sakit yang sama. Namun, waktu pelayanan pasiennya hanya pagi hari. Sementara di rumah sakit lain membuka praktik pada sore hari.
Saya pun memilih opsi kedua karena dari segi waktu lebih memungkinkan. Meski demikian saya perlu mendaftar secara online pada pagi hari. Mendapat nomor antrean agak besar, saya memutuskan menghubungi layanan rumah sakit. Saya meminta saran pada jam berapa sebaiknya saya datang sambil menyebutkan nomor antrean. Petugas mengatakan saya bisa datang sekitar pukul 15.30 WIB.
Pada akhirnya saya sudah tiba di rumah sakit itu pukul 15.00 WIB. Saya datang lebih awal demi memahami beberapa seluk beluk alur pelayanan pemeriksaan karena saya belum pernah datang sebelumnya. Di mana lokasi pendaftaran pasien baru, ruang tunggu pemeriksaan dan tempat pembayaran. Saya merasa perlu mengetahui tempat-tempat itu terlebih dahulu.
Setelah mengkonfirmasi ulang pendaftaran yang saya lakukan secara online dan membuat kartu pasien, saya berpindah untuk menunggu di depan ruang pemeriksaan. Â
Mendekati pukul 15.30 nama saya dipanggil. Sang dokter spesialis itu ternyata usianya sudah lanjut, tapi masih jelas bicaranya. Sikapnya ramah dan agak humoris. Citra diri sebagai dokter yang bersahabat segera saya dapatkan.Â
Di ruangannya ia dibantu dua perawat. Satu orang perawat selalu standby membantu sepanjang saya berkonsultasi dan diperiksa. Sementara seorang perawat lainnya ulang-alik.Â
Singkat cerita semua proses berjalan lancar dan santai. Menjelang pukul 5 sore, saya sudah mengantre untuk mendapatkan obat. Dari loket penerimaan obat, saya perlu bergeser empat langkah untuk membayar semua biaya.
Kepada petugas penerima pembayaran segera saya sodorkan kartu debit bank syariah yang biasa saya gunakan untuk bertransaksi. Mengetahui saya akan membayar secara nontunai, petugas mengatakan bahwa ada biaya sebesar 2% jika saya membayar dengan kartu tersebut. Agak terkejut saya mendengarnya. Lalu saya bertanya bagaimana jika menggunakan dengan kartu debit BN*. Rupanya tetap ada biaya tambahan.
Akhirnya kartu saya ambil lagi. Sebagai gantinya, beberapa lembar uang saya keluarkan dari dompet. Meninggalkan loket pembayaran, sambil mengintip isi kantung obat, hati saya mengeluh. Obat cuma tiga macam dan sedikit jumlah tiap macamnya, tapi agak lumayan maharnya.
Dalam perjalanan pulang ada hal lain yang lebih saya timbang-timbang. Yakni, soal biaya tambahan jika membayar dengan kartu debit. Sepemahaman saya biaya itu dikenakan kepada merchant. Dalam hal ini ditanggung rumah sakit. Semestinya bukan pasien sebagai konsumen yang menanggung beban biaya tersebut. Setahu saya juga biayanya tak sampai 2%.
Memang dalam praktiknya, seperti sering dijumpai ketika bertransaksi secara nontunai, ada beberapa merchant yang tetap bandel membebankan biaya kepada konsumen. Akan tetapi saya tak mengira bahwa rumah sakit Islam atau yang dikelola oleh lembaga Islam pun ternyata masih belum patuh pada aturan tersebut.Â
Lebih mengherankan lagi, saya menggunakan kartu Bank Syariah Indonesia. Dalam pandangan awam saya, rumah sakit Islam akan lebih "ramah" dalam menerima produk bank syariah.
Mau tak mau saya membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman ketika berobat atau memeriksakan diri di rumah sakit lain. Beberapa kali saya datang ke sebuah rumah sakit di bawah naungan lembaga kristen atau katolik. Selain karena dekat, pelayanannya juga sat set. Ada kalanya saya antre di polikliniknya. Namun, pernah juga memeriksakan diri langsung ke layanan IGD.Â
Pada semua kedatangan tersebut saya membayar secara nontunai dengan kartu bank syariah. Selain tak ada diskriminasi jenis pembayaran nontunai, rumah sakit itu pun tak mengenakan biaya tambahan. Pembayaran saya dengan kartu bank syariah selalu diterima dan dilayani tanpa ada biaya transaksi lain-lain yang dibebankan kepada pasien atau pengguna kartu. Rumah sakit kristen ini ramah menerima pembayaran dengan kartu bank syariah.
Hal itu membuat saya berpikir lagi. Mana yang lebih Islami sebenarnya, yayasan Islam atau yayasan Kristen dan Katolik? Dalam pelayanan transaksi pembayaran yang saya jumpai di atas, mengapa rumah sakit kristen atau katolik justru lebih islami dibanding rumah sakit yang katanya dikelola lembaga Islam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H