Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Raja Jawa dan Tanah Kuburan

23 Agustus 2024   19:01 Diperbarui: 23 Agustus 2024   19:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi mengenakan pakaian Ageman yang serupa dengan busana Rasa Keraton Surakarta (dok. Sekretariat Presiden via kompas.com).

Membaca beberapa karya sastra dan mengingat lagi sejumlah novel sejarah yang pernah dibaca, membuat saya tidak terlalu terkejut dengan geger politik dan demokrasi di Indonesia hari ini. Memang dinamika politik melaju dengan cara dan kecepatan yang mengejutkan. Namun, mengikuti pola atau intrik penyalahgunaan kekuasaan dan penghancuran demokrasi, rasanya seperti sedang membaca ulang tulisan-tulisan para pujangga dan sastrawan. 

Para pujangga sastra dan penulis sejarah telah sejak lama menaruh perhatian. Seolah sedang memperingatkan, karya-karya mereka mengungkap wawasan seputar pola dan perilaku kekuasaan. 

Para pujangga, penulis novel, maupun kritikus sejarah itu tidak membual. Meski karya mereka berupa fiksi sejarah, isinya bukan khayalan. Mereka berpikir dan menulis berdasarkan perenungan, pengamatan, pengalaman, serta penelitian. Itu sebabnya karya-karya mereka abadi. Buah pemikiran mereka kembali relevan dengan kondisi saat ini. Bahkan selalu relevan meski karya-karya itu lahir puluhan tahun lampau. 

Menariknya, beberapa buah karya pujangga dan sastrawan yang berbeda seringkali menampilkan benang merah dan wawasan serupa. Wawasannya sejalin dengan kondisi negara saat ini. Karya dan pemikiran mereka seolah melampaui prediksi awam dan akurat untuk membantu memahami kekacauan yang sedang ditimbulkan oleh para pembesar negeri saat ini.

Misalnya, tentang pohon beringin dan kekuasaan. Pada beberapa karya novel yang bertema fiksi sejarah, terutama latar kehidupan masa kerajaan jawa, sering muncul penggambaran lingkungan istana, halaman kerajaan, tempat tinggal raja, dan tempat-tempat penanda kekuasaan dengan pohon beringin tumbuh di sana.

Ya, raja-raja Jawa suka menandai wilayah atau pusat kekuasaannya dengan pohon beringin. Jejak dan warisan ini terus bisa kita saksikan sampai sekarang. Di banyak tempat di Jawa, hampir bisa dipastikan keberadaan pohon beringin di landmark pusat pemerintahan. Lazimnya ada di alun-alun, rumah dinas kepala daerah, kantor camat, atau rumah bekas wedana. Bahkan, di keraton-keraton yang masih eksis saat ini, keberadaan beringin sangat penting hingga terus dirawat.

Mengapa demikian? Salah satunya karena keyakinan mistisme yang dimiliki raja-raja atau penguasa zaman dulu menganggap beringin sebagai lambang tegaknya wibawa dan kuasa. Beringin adalah simbol perlindungan dari gangguan-gangguan. Raja-raja Jawa juga menjadikan naungan beringin sebagai tempat untuk mendapat ketenangan. 

Hal itu nampaknya menjadi semacam keyakinan yang diwariskan dan terus dianut oleh para pembesar, politisi dan penguasa sekarang. Bahwa jika ingin berlindung dari gangguan-gangguan, milikilah beringin yang terbesar.  Di bawah lindungan beringin, "ketenangan" dan "kemenangan" bisa diraih. Maka dari itu jika ingin meneguhkan kekuasaan, gapailah (partai) beringin.

Tak hanya beringin yang lekat dengan kuasa raja-raja Jawa. Mistisme lain yang sering muncul dalam cerita tentang orang-orang sakti atau pendekar jawa zaman dulu ialah tentang kekuatan tanah kuburan. 

Beberapa karya berlatar zaman dahulu atau pedesaan memunculkan kisah orang-orang yang menjadikan tanah kuburan sebagai jimat sumber kekuatan. Orang-orang yang ingin berkuasa, menaklukan musuh-musuh, dan menjinakkan rakyat, pada zaman dulu dikisahkan menggunakan tanah kuburan sebagai senjata mistis. Bahkan, maling pada zaman dahulu pun mencuri tanah kuburan dari makam keramat untuk dijadikan jimat.

Misalnya "Segenggam Tanah Kuburan" karya Kuntowijoyo. Sastrawan dan ahli sejarah yang termahsyur itu menggambarkan bagaimana seorang yang rakus mencuri tanah kuburan, lalu menebarkannya ke rumah-rumah penduduk. Dengan tanah kuburan tersebut penduduk bisa dibuat terlena dan hilang waspada. 

Namun, suatu hari ia mendapatkan seorang penghalang. Maka ia pun menebarkan tanah kuburan di atap dan sekeliling rumah orang yang dianggap bisa menghalangi keinginannya itu. Kekuatan tanah kuburan akan membuat musuh penghalangnya tertidur. Berharap saat semua penduduk dan penghalang bisa ditaklukkan, orang itu akan leluasa menguasai desa, mengambil semua yang diinginkan dan esok harinya muncul di antara penduduk tanpa rasa bersalah.

Masihkah mitos atau takhayul itu dianut oleh orang-orang zaman modern. Nampaknya itu masih eksis hingga sekarang. Paling tidak dari omongan-omongan bernada miring dalam pemilihan kepala desa atau pilkada. 

Konon salah satu maksud mengapa rumah-rumah calon kepala desa, anggota legislatif, dan kepala daerah harus ramai dan ditunggui sepanjang malam hingga saat pencoblosan ialah untuk mencegah datangnya penyusup atau orang suruhan musuh yang ingin menaburkan tanah kuburan di sekitar rumah. Sebab diyakini tanah kuburan bisa membuat kekuatan, keunggulan, atau kharisma seseorang lenyap seketika sehingga kalah dalam kontestasi. 

Upaya-upaya penaklukan rakyat dan para penghalang juga masih terjadi hingga kini. Berulang kali kita saksikan masyarakat dibuat seolah tidak berdaya. Rakyat seperti tertidur atau ditidurkan saat kedaulatan serta hak-haknya dimanipulasi oleh segelintir pembesar dan penguasa.  Pada saat yang sama secara ajaib orang-orang yang semula dianggap membela rakyat, tiba-tiba lemah dan lumpuh keberaniannya. Mereka secara cepat takluk dan tunduk.

Kekuatan tanah kuburan yang muncul pada kisah zaman kerajaan atau pada masyarakat  zaman dahulu ternyata masih ada. Meski  yang ditaburkan ke atas genteng rumah-rumah warga bukan dalam bentuk tanah dari lapukan batuan. Mungkin yang disebarkan ke rumah-rumah para lawan dan penghalang bukan lagi butiran-butiran dari timbunan makam.

Jimat tanah kuburan yang ditebar oleh raja zaman sekarang telah berganti rupa dalam bentuk bansos, jabatan, dan akses kekuasaan. Terbukti, rakyat dibuat terlena dan tertidur saat ditebari bansos. Lawan-lawan politik dan penghalang takluk dengan tebaran tawaran jabatan.

Dan, ada satu lagi bentuknya yang paling mutakhir. Bentuk yang ampuh membuat orang-orang besar takluk, tunduk, dan menurut. Jimat tanah kuburan itu berbentuk konsesi tambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun