Kemarin sore saya mampir mengisi perut di sebuah warung pinggir jalan. Belum bisa dikatakan tempat makan langganan karena baru 3 kali saya menyinggahinya.Â
Saya selalu memesan ayam goreng saat berkunjung ke warung ini. Meski ada bebek, lele, dan beberapa pilihan ikan, saya tidak melirik itu semua. Sebab ayamnya lumayan enak. Harganya masih bersahabat. Satu porsi Rp16.000 sudah termasuk nasi, serundeng, lalapan dan sambal.
Sambil bersantap, sesekali saya melempar pandangan ke arah meja dan kursi di sekitar. Ada empat orang lainnya yang juga sedang bersantap. Seorang pria berjaket hijau sempat datang. Sebentar kemudian ia meninggalkan warung menenteng kantong plastik hitam yang lumayan menggembung isinya.
Lahap makan saya sore itu. Saat membayar, ibu penjualnya yang ramah menyodorkan secarik kertas berisi apa-apa yang saya pesan berikut harga yang perlu saya bayar. "Nggak nambah apa-apa ya?"Â Ia bertanya untuk memastikan bahwa ia tak kurang atau salah menghitung dan saya juga membayar sesuai yang saya pesan. "Mboten, bu". Saya menjawab sambil menyerahkan selembar uang biru.
Saat menyodorkan kembalian, ibu penjual menuliskan sebaris nomor di secarik kertas tadi. "Kalau mau pesan, WA saja ini juga boleh". Barangkali ibu penjual telah memperhatikan kedatangan-kedatangan saya sebelumnya yang selalu memesan ayam goreng. Dianggapnya saya sudah termasuk langganan sehingga jika ingin menikmati ayam goreng lagi saya tak harus selalu datang ke warungnya.
"Tapi bisa online kan, bu?". Seolah menangkap maksud pertanyaan saya, ia meminta saya membuka G*Food di aplikasi G*jek. Disebutkan nama warungnya untuk saya cari di aplikasi. Saat nama yang dimaksud saya temukan, ibu penjual dengan gamblang mengatakan bahwa harga di aplikasi agak mahal.Â
Saya maklum karena memang begitu adanya. Sudah diketahui dan diterima luas sebagai kewajaran bahwa harga makanan atau minuman di aplikasi pesan antar telah dinaikkan. Benar rupanya saat saya lihat harga seporsi ayam gorengnya di aplikasi menjadi Rp20.500 atau Rp4500 lebih mahal dibanding harga pesan dan makan di tempat.
Akan tetapi penjelasan berikutnya dari ibu penjual menarik perhatian saya. "Mahal tho? Sekarang banyak nggak mau kaya gitu. Sukanya WA (whatsapp) mau pesen apa, nanti dianter pakai g*jek kaya tadi".
Sekarang lebih jelas bagi saya. Rupanya pria berjaket hijau tadi merupakan kurir g*send yang dipesan tersendiri lewat aplikasi untuk mengambil dan mengantar pesanan ke pembeli. Bukan kurir otomatis dari layanan pesan antar makanan secara online.
Berbeda jika memesan secara online lewat aplikasi yang harganya telah dinaikkan, harga di warung itu tetap sama jika dipesan lewat WA. Penjual hanya menambahkan ongkos kirim g*send yang tetap perlu dibayar pembeli atau pemesan.Â
Meski harus menanggung ongkos kurir, pembeli rupanya bisa menerima karena jumlah yang harus dibayar tetap "lebih murah" dibanding jika memesan lewat layanan pesan antar makanan di aplikasi. Sebab selain harga makanan/minuman yang dinaikkan, biaya tambahannya pun macam-macam. Ada ongkos kirim, biaya penanganan, jasa aplikasi atau apapun istilahnya.
Saya mencoba menghitung berapa yang perlu saya bayar jika memesan ayam goreng di warung itu lewat aplikasi G*Food. Harga ayam goreng Rp20.500, ditambah biaya pengiriman dan penanganan yang saat itu Rp15.000. Artinya saya perlu mengeluarkan Rp35.500.Â
Sementara jika saya akan memesan lewat WA, saya cukup mengeluarkan Rp16000 ditambah ongkos kurir Rp11.000.Â
Barangkali ada yang mempertimbangkan bahwa harga pesan antar makanan lewat aplikasi bisa jauh lebih murah juga karena ada promo atau diskon. Namun, perlu diperhatikan bahwa kecenderungan promo atau diskon berlaku jika pembelian dalam jumlah banyak. Ini memang menarik bagi beberapa orang di satu tempat yang akan memesan bersamaan sekaligus. Akan tetapi haruskah kita berharap terus bahwa rekan-rekan kerja, teman di tongkrongan dan orang-orang di rumah akan selalu berminat memesan makan bersamaan dengan kita?
Lagipula ada kecenderungan lain, Â yakni promo dan diskon hanya berlaku dengan pembayaran menggunakan metode tertentu yang belum tentu kita miliki. Akan nampak konyol jika kita harus mendaftar atau membuat akun pembayaran baru hanya demi mengejar diskon sesaat tersebut.
Oleh karenanya, cara yang ditawarkan oleh ibu penjual di atas bisa dianggap lebih rasional dan menguntungkan semua pihak. Itu semacam trik mudah dan murah untuk menyikapi semakin mahalnya biaya pesan antar makanan secara online melalui aplikasi.
Bagi penjual, pemesanan langsung lewat WA bisa memperkecil potensi kehilangan pembeli yang semula berminat memesan lewat aplikasi, tapi batal setelah mengetahui tambahan biaya macam-macam yang ditetapkan aplikasi.Â
Penjual juga tidak akan kehilangan marjin keuntungan sebab pemesanan dilakukan langsung lewat WA. Tidak ada potongan jasa aplikasi atau penanganan yang biasa terjadi di layanan pesan antar makanan secara online.
Di sisi lain, mitra ojek online tidak serta merta kehilangan peluang penghasilan. Sebab mereka tetap bisa mendapatkan order untuk menjemput dan mengantar makanan lewat aplikasi. Bedanya bukan melalui layanan pesan antar makanan, melainkan lewat layanan kurir barang.
Sedangkan pembeli mendapatkan pilihan cara yang sama mudahnya karena tetap bisa memesan makanan dari warung langganan secara online, tapi lewat "jalan pintas". Harga yang dibayarkan, meski perlu menanggung ongkos kurir, dirasakan lebih murah. Pembayarannya pun tetap mudah karena dilakukan langsung ke penjual dengan transfer antar bank atau dompet digital.
Setelah bertahun-tahun terbiasa memesan makanan secara online lewat aplikasi, mengapa terlewatkan oleh saya untuk menggunakan trik semacam itu? Cara yang sebenarnya agak konvensional dan sudah ada sejak sebelum aplikasi ojek online muncul. Namun, sekarang terasa cara demikian menjadi solusi yang menarik.
Nomor WA warung ayam goreng itu kini sudah tersimpan di kontak HP saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H